Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Joko Susanto

Buya Hamka, Manusia Langka, Milik Bangsa

Agama | Thursday, 20 Oct 2022, 11:12 WIB

Buya Hamka. Terlahir di sebuah kampung, tak jauh dari tepian danau, dipagari bebukitan terjal dan curam, dan jauh dari sentral hiruk-pikuk keramaian. Rangkaian kesulitan, kesempitan, dan kekurangan, seperti tidak pernah menjadi penghalang. Bahkan sebaliknya, semua itu justeru menjadi cambuk untuk terus bangkit dan bergerak menjadi pribadi hebat dan bermartabat.

Petuah Buya Hamka, "Kita harus bersedia membiasakan jiwa kita menjadi besar, kepala terangkat, dan harga diri terhormat." Untaian pesan penuh makna itu tidak hanya terlontar begitu saja menjadi retorika semata. Buya telah menorehkan kalimat indah menjadi deretan kenyataan yang tidak terbantahkan.

Menurut Irfan Hamka, putra kelima Buya Hamka, dalam buku Ayah (Republika Penerbit, 2013), ayahnya memiliki jiwa yang besar dan berlapang dada. Menilik dari peristiwa demi peristiwa faktual yang menerpanya, makin menegaskan hal itu. Sehingga, bukan subjektif semata. Dari sekian banyak peristiwa, sementara kita becermin pada beberapa momen sepanjang hayat ketua MUI pertama ini.

Pertama, Buya Hamka ditangkap karena dituduh terlibat dalam sebuah komplotan atau makar yang berencana membunuh Presiden Soekarno dan menteri agama. Dia dituduh melanggar undang-undang Anti Subversif Pempres No.11. Buya akhirnya ditahan selama 28 bulan (2 tahun 4 bulan) tanpa melalui proses pengadilan. Buku-buku karyanya yang menjadi salah satu sumber penghasilan keluarga pun dilarang terbit dan beredar. Undangan ceramah pun tidak dapat dipenuhi. Praktis, ekonomi keluarga menjadi sulit. Setelah orde lama tumbang, Buya Hamka dibebaskan. Berikutnya, ketika datang dua utusan Presiden Soeharto yang bermaksud memenuhi pesan terakhir Presiden Soekarno yaitu meminta kesediaan Hamka untuk menjadi imam sholat jenazahnya. Tanpa ragu sedikit pun, permintaan itu ditunaikannya dengan baik.

Kedua, Mr.Moh Yamin pernah bersitegang dengan Hamka ketika di konstituante. Ketidaksenangan Yamin berlanjut hingga bertahun-tahun, baik acara resmi maupun tidak. Pada sisi lain, Yamin sudah lama tidak mengunjungi kampung halamannya karena ada masalah sehingga khawatir masyarakat di sana tidak berkenan menerima jenazahnya. Ketika sakit, Yamin berpesan agar Buya Hamka mendampingi dan membantu pemakamannya nanti. Tidak hanya hadir ke RSPAD, Hamka bahkan membimbingnya membaca kalimat tauhid saat sakaratul maut menjemput. Dengan lemah, Moh Yamin mengikuti bacaan yang dibisikkan sambil menggenggam tangan Buya. Pun, Buya Hamka mengantar jenazah Moh. Yamin dimakamkan di kampung sesuai harapannya yaitu Desa Talawi, Sawahlunto, Sumatera Barat. Masyarakat di sana pun akhirnya berkenan menerimanya.

Ketiga, koran berbau komunis Harian Bintang Timur yang memiliki sisipan ruang seni-budaya yang dipimpin Pramoedya Ananta Toer menyerang dengan bahasa yang tidak pantas. Bahkan menuduh Hamka mencuri karangan asli dari pengarang Perancis. Tetapi, ketika calon menantu Pram bernama Daniel Setiawan akan masuk Islam dan belajar agama Islam kepada Buya Hamka, tanpa sedikit keraguan, Hamka memenuhi permohonan tamu tersebut dengan membimbing kalimat syahadat. Bahkan, menganjurkan Daniel untuk berkhitan dan menjadwalkan belajar agama dengannya.

Sewaktu berada di Malaysia, untuk menerima gelar doktor, Tun Abdul Razak sebagai presiden universitas membacakan pidato yang mengelu-elukan Buya Hamka sebagai seorang pujangga Islam yang menjadi kebanggaan semua rumpun Melayu. Tun Abdul Razak mengatakan bahwa Hamka bukan hanya milik bangsa Indonesia tetapi juga kebanggaan bangsa-bangsa Asia Tenggara.

Resep berpikir dari Buya Hamka, "Apabila manusia memiliki jiwa yang besar, pekerjaan yang besar akan dianggap kecil. Apabila manusia memiliki jiwa yang kecil, pekerjaan yang kecil dianggap besar."

Dr.Taufiq Ismail dalam pengantar buku 'Ayah' karya Irfan Hamka menulis bahwa Buya Hamka dijadikan sasaran serangan strategis. Namun, setelah semuanya selesai, apakah Buya Hamka menyimpan dendam? Dalam sebuah acara di Taman Ismail Marzuki Jakarta, ketika ditanya terkait hal itu, Buya menjawab bahwa dia telah memaafkannya, termasuk semua yang terlibat dalam penangkapan dan penahanan tanpa proses pengadilan.

Mendengar penuturan dan keikhlasan ulama besar itu, hadirin hening. Banyak yang menitikkan air mata, termasuk novelis Iwan Simatupang. Meminjam istilah Irfan Hamka, Buya menyikapi perlakuan-perlakuan kelewatan itu seperti tidak pernah terjadi apa-apa. Berjiwa besar dan lapang dada. Sesosok manusia Indonesia yang terbilang langka.

Namun demikian, kiranya kita menyepakati bahwa kedzaliman, ketidakadilan, dan kesewenang-wenangan tetap bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila, di negeri yang kita cintai bersama.

(Disadur dari buku Ayah, karya Irfan Hamka, putra kelima Buya Hamka, Republika Penerbit, 2013)

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image