Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Balkis Abidah

Kekerasan Seksual dan Sistem Penanggulangannya

Eduaksi | Sunday, 16 Oct 2022, 17:51 WIB

Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia Retno Listyarti mencatat sepanjang Januari-Juli 2022, ada 12 kasus kekerasan seksual yang terjadi. Hal ini berdasarkan hasil pemantauannya di media massa dari kasus yang keluarga korban sudah melaporkannya ke pihak kepolisian. Jakarta. TEMPO.CO.

Termasuk di tahun-tahun sebelumnya kekerasan seksual masih menjadi pergulatan bangsa Indonesia hingga kini. Saat ini, menurut siaran pers Komnas Perempuan tentang Catatan Tahunan (CATAHU) 2022, tercatat sebanyak 338.496 kasus kekerasan seksual yang sudah diadukan pada tahun 2021. Menurut data CATAHU 2021 Komnas Perempuan, dalam kurun 10 tahun terakhir (2010-2020), angka kekerasan seksual terhadap perempuan banyak mengalami peningkatan, mulai dari 105.103 kasus pada tahun 2010 hingga mencapai 299.911 kasus pada tahun 2020 atau rata-rata kenaikan 19,6% per tahunnya. Hanya pada tahun 2015 dan 2019, angka tersebut mengalami sedikit penurunan, yaitu masing-masing sebanyak 10,7% dan 22,5% kasus.

Kekerasan seksual dapat terjadi di mana saja, termasuk dalam lingkup pendidikan. Di antara berbagai jenjang pendidikan, perguruan tinggi menempati urutan pertama dalam hal terjadinya kasus kekerasan seksual terbanyak antara tahun 2015-2021 (Komnas Perempuan, 2021). miris, kampus yang dasar gunanya sebagai tempat belajar, jalan menuju kesuksesan yang ingin diraih oleh para mahasiswa, yang mana seharusnya terjamin aman, tidak ada was-was saat berada disana, justru berbalik menjadi tempat yang harus berhati-hati juga saat di dalamnya. jelas hal ini menunjukkan adanya kesalahan pengaturan juga bukti bahwa sekarang tidak ada tempat yang benar-benar aman terutama bagi perempuan yang dianggap sebagai kaum yang lemah.

Dengan adanya fakta semakin maraknya kekerasan terhadap perempuan membuat berbagai pihak khususnya pegiat gender menuntut pengesahan RUU P-KS yang sudah diusulkan oleh Komnas Perempuan sejak 2012 sebagai payung hukum baru untuk melindungi korban. Para pegiat gender menganggap regulasi yang ada, seperti KUHP dan UU 23/2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT) tidak cukup berpihak pada korban. Alhasil, pengesahan RUU P-KS yang berubah nama menjadi RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TP-KS) mereka anggap sebagai jalan untuk menyelamatkan korban kekerasan seksual yang terus bertambah jumlahnya dan dipandang sangat merugikan pihak perempuan.

Di tengah perdebatan pengesahan RUU TP-KS, juga muncul Permendikbudristek 30/2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi. Untuk menindaklanjuti adanya Permendikbud No.30 Tahun 2021 dan upaya untuk menciptakan lingkungan kampus yang bebas dari kasus kekerasan seksual. Universitas Negeri Malang (UM) juga mengambil langkah. Pada bulan juni-juli 2022 melalui Panitia Seleksi Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual Universitas Negeri Malang (Pansel Satgas PPKS UM) membuka pendaftaran untuk seluruh dosen, tenaga pendidik, dan mahasiswa UM untuk menjadi bagian dari Satgas PPKS UM. Dimana dengan adanya Satgas PPKS UM dapat mendukung terciptanya kampus Universitas Negeri Malang yang bebas dari kasus kekerasan seksual.

Adapun beberapa kemungkinan penyebab terjadinya kekerasan seksual di lingkup kampus yang dianalisis dan diyakini pegiat gender, mulai dari budaya patriarki yang mana perempuan dianggap sebagai properti yang bisa dengan bebas dijadikan hak milik dan dapat diatur sebagaimana rupa, juga adanya timpang relasi yang menganggap derajat perempuan lebih rendah dibanding laki-laki. Adanya budaya victim-blaming, dimana pembicaraan terkait isu kekerasan seksual adalah hal yang tabuh ditambah banyak mahasiswa yang masih kurang memahami konsep kekerasan seksual. Didukung minimnya laporan atas kekerasan seksual, padahal fenomena kekerasan seksual itu semacam gunung es, lebih banyak yang tidak diketahui dibanding dengan apa yang dapat dilihat, dan dapat diperparah dengan bungkam nya pihak kampus terkait kasus kekerasan seksual yang terjadi di lingkup kampus, dengan sebab kuat menjaga reputasi kampus.

Akar permasalahan yang dapat dilihat bukan dari kesetaraan yang digaungkan, tapi lebih dari itu, adanya kekerasan seksual adalah hasil dari sistem yang menjunjung tinggi kebebasan tanpa batas jelas juga aturan yang bersumber dari akal yang terbatas, tidak jarang dijumpai adanya aturan setelah kejadian atau ada setelah masalah menimpa. Maka tidak mengherankan jika masalah kekerasan seksual ini tetap dan terus ada jika penyelesaian yang pasti tidak dijalankan. Benang yang kusut dan tak layak pakai, pasti akan mudah saat benang itu dibuang dan pakai benang yang baru. Masalah kekerasan seksual secara umum sampai takaran lingkup kampus dimulai dari individu selain kurang mengerti terkait apapun yang menyangkut kekerasan seksual, juga tidak paham terkait agama nya sendiri, yang mana suatu yang diharamkan dianggap sebagai hal biasa. Dari segi masyarakat, akan lebih mudah dijumpai orang yang apatis saat melihat hal yang tidak sewajarnya, karena menganggap hal itu bukan urusannya, sampai membiarkan kemaksiatan yang ada di depan matanya, memilih tidak peduli bahkan pada korban kekerasan. Didukung dengan keberadaan negara yang tidak mengkondisikan secara sistem bagaimana agar kekerasan seksual ini terminimalisir, dari segi media pornografi dan pornoaksi mudah untuk diakses dimanapun, yang menyebabkan orang lebih mudah terangsang untuk melakukan hal tersebut, ditambah tidak adanya hukuman tegas bagi pelaku. Tidak ada tempat antara laki-laki dan perempuan untuk saling menyalahkan, di sistem sekuler ini pergaulan antara laki-laki dan perempuan yang tidak terpisah sangat mendukung kekerasan seksual mudah terjadi dan ada di setiap lini kehidupan.

Adanya pensolusian lewat RUU TP-KS, Permendikbudristek 30/2021 juga dengan digaungkannya solusi penyetaraan gender, tidak akhirnya menyelesaikan kasus kekerasan seksual yang ada. Dimana dengan dijunjung tinggi nya kebebasan, tanpa batasan yang jelas, aturan hanya sekedar formalitas yang bisa dengan bebas dilanggar. Perjuangan kesetaraan agar perempuan tidak lagi ditindas pun seperti menemui jalan buntu, dari sel yang dimiliki antara perempuan dan laki-laki berbeda, antara perasaan dan logika yang dihasilkan juga tidak sama, kekuatan yang dipunya, maka konsep kesetaraan jika diartikan dalam segala hal sama tidak akan pernah tercapai. Dalam islam kedudukan antara laki-laki dan perempuan adalah sama, sebagai hamba Allah yang memiliki kewajiban untuk taat pada perintah dan meninggalkan larangan-Nya. Dan islam menempatkan laki-laki dan perempuan pas dengan fitrahnya, kewajiban mencari nafkah adalah bagi laki-laki, dan perempuan didalam rumah sebagai ibu membentuk generasi, bukan berarti diskriminasi, seorang ratu tidak bisa dengan sembarangan keluar dari istananya, berhubungan dengan orang yang tidak memiliki kepentingan dengannya sampai berkeliaran di tempat umum tanpa maksud tujuan yang jelas, maka begitulah bagaimana islam sangat menghormati dan menjaga perempuan, dimana dalam konteks kekerasan seksual ini perempuan merupakan korban terbanyak dan upaya utama untuk menyelamatkannya. Berbeda ketika kesetaraan yang dibahas adalah terkait fitrah mereka sebagai manusia, sebagai hamba dimana yang membedakan adalah ketaqwaan. Keadilan bukan berarti menuntut kesamaan, tapi kembali pada kesesuaian penempatan segala hal. Dengan adanya upaya pensolusian lewat RUU TP-KS, Permendikbudristek 30/2021 juga solusi penyetaraan gender, jelas hal tersebut merupakan upaya yang kuratif dan diperparah dengan undang-undang yang hanya bersifat administratif, padahal yang dibutuhkan adalah solusi secara preventif yang jelas pasti dan berdampak dari 3 lini, mulai individu yang paham terkait agamanya, apa yang harus dijauhi dan dilaksanakan, masyarakat yang bukan hanya kumpulan individu, tapi juga terikat pada pemikiran, peraturan dan perasaan yang sama, memiliki kepedulian atau tidak lagi apatis. sampai negara yang juga turut mengkondisikan berbagai sistem agar kekerasan seksual ini tidak lagi terjadi. Maka yang dapat merubahnya adalah sistem, tidak akan selesai jika tetap menggunakan selan pada islam. tidak akan cukup dengan menjadi baik sendirian, sebagaimana ban yang bocor lalu ditambal dan kembali melewati jalan yang banyak paku maka akan tetap dan terus bocor, bahkan setelah ban itu diganti dengan yang baru, dan jalan itu adalah sistem. Yang pantas membuat buku panduan HP adalah yang menciptakan Hp, maka aturan yang harus diterapkan di alam semesta ini yang diciptakan oleh Allah, adalah sesuai dengan apa yang sudah diturunkan dan perintahkan.

Sebagai mahasiswa, agent of change maka wajib untuk mengambil peran. Dimulai dari paham akar masalah yang dihadapi, sampai pada dapat mensolusikan hingga tuntas. Agar kekerasan seksual tidak lagi, terutama kampus yang mana tempat para intelektual. Jadi tidak cukup untuk mengandalkan satu peran saja, pun dengan adanya Satgas PPKS di lingkup kampus bukan berarti kekerasan seksual pasti terselesaikan dan tidak ada. Gunung es akan mencair dan usai dengan adanya berbagai peran, dari individu, masyarakat, terutama negara sebagai penerap sistem.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image