Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Muhammad Fathan

Islamofobia di Indonesia

Agama | Monday, 06 Dec 2021, 21:30 WIB

Fobia diartikan sebagai bentuk khusus dari sebuah ketakutan ataupun kecemasan akan suatu hal, seseorang merasa cemas ataupun takut apabila seseorang tengah menghadapi sebuah situasi atau objek yang mereka takuti atau merasa harus berantisipasi saat mereka akan menghadapi kondisi tersebut. Respon seseorang ketika dihadapkan dengan phobia yang dimilikinya adalah dengan menunjukkan tingkah laku penghindaran (Moordiningsih, 2004).

“Islamofobia”. Istilah ini merujuk pada prasangka, diskriminasi, ketakutan dan kebencian terhadap Islam dan Muslim. Islamofobia dapat diartikan sebagai sinisme, prasangka buruk, salah paham, ketidaksukaan, dan kebencian terhadap Islam dan umat Islam. Islamofobia tidak dapat dipisahkan dari problema prasangka terhadap orang muslim dan orang yang dipersepsi sebagai muslim. Prasangka anti muslim didasarkan pada sebuah klaim bahwa Islam adalah agama “inferior” dan merupakan ancaman terhadap nilai-nilai yang dominan pada sebuah masyarakat (Abdel-Hady, 2004).

Islamofobia pertama kali di publikasikan pada tahun 1997 dalam laporan "Islamophobia: A Challange for Us All" oleh Runnymede Trust dari Inggris, Ia mendefinisikan islamofobia sebagai "rasa takut dan kebencian terhadap Islam dan oleh karena itu juga pada semua Muslim," dinyatakan bahwa hal tersebut juga merujuk pada praktik diskriminasi terhadap Muslim dengan memisahkan mereka dari kehidupan ekonomi, sosial, dan masyarakat serta kebangsaan.

Islamofobia menjadi lebih menguat setelah terjadinya peristiwa tragedi WTC 11 September 2001 di New York (peristiwa 9/11) dan seruan peperangan terhadap terorisme, umat Islam seolah-olah menjadi bagian isu penting untuk selalu dibicarakan. Umat Islam dipandang sebagai penyebab segala permasalahan dan secara stereotip mereka menjadi sasaran tuduhan tersebut. Pasca peristiwa tersebut, Amerika sampai mengeluarkan daftar pendatang yang dicurigai berpotensi sebagai teroris yang berlaku mulai tanggal 1 Oktober 2002.

Lalu bagaimana dengan Indonesia? Apakah negara kita juga terkena dampak isu “Islamofobia” ini? Ataukah justru kita sebagai negeri dengan mayoritas Muslim telah terlebih dulu terkena Islamofobia? Di Indonesia, kecemasan yang menyebar di masyarakat terutama tuduhan di kalangan muslim bermula pasca terjadinya ledakan bom Bali, 12 Oktober 2002 yang pelakunya merupakan orang Islam, yaitu Amrozi, Ali Imron, Imam Samudra, bahkan Abu Bakar Baasyir pun dicurigai sebagai dalang terjadinya kekacauan di negeri ini sebagai pemimpin dari Jamaah Islamiyah (JII).

Aksi kekerasan berbasis terorisme menjadi momok yang menakutkan bagi masyarakat, terlebih lagi stereotype yang timbul bahwa Islam berkaitan dengan peristiwa terorisme menghasilkan prasangka dan penilaian-penilaian yang keliru terhadap agama Islam. Contohnya kekhawatiran terhadap cara berpakaian dan penampilan seseorang dengan beratribut Islam seperti jenggot pada laki-laki, penggunaan gamis, dan cadar. Pria yang memelihara jenggot dan keluarganya kerap kali menjadi kecemasan karena ada kemungkinan menjadi sasaran penangkapan dari fihak kepolisian. Para pemilik kontrakan juga mengalami kecemasan ketika kontrakannya ditinggali oleh pria berjenggot. Bahkan, saat ini masyarakat kita juga terlihat sangat membenci dan ngeri terhadap para ulama dan orang-orang Islam yang sangat menerapkan syariat agama. Akibatnya banyak orang Islam yang merasa malu untuk mulai belajar Islam dan menunjukkan keIslamannya di depan umum terutama tempatnya bergaul, karena takut dikucilkan.

Dari pernyataan di atas, apakah itu dapat dijadikan bukti bahwa Indonesia telah terdampak Islamofobia? Jika kita mengambil pendapat Runnymede Trust di awal, maka dapat kita katakan saat ini tidak ada Islamofobia di Indonesia. Pada saat ini tidak ada diskriminasi terhadap umat Islam baik dalam kehidupan ekonomi, sosial, budaya, masyarakat, dan kebangsaan. Di Indonesia saat ini baik dari pusat hingga pelosok daerah, banyak sekali orang muslim yang menjadi pejabat dan pegawai pemerintah baik negeri maupun swasta.

Lantas apa maksud dari sikap masyarakat sebelumya? Bukankah itu sudah dapat membuktikan kalau Islamophobia telah ada di Indonesia? Itu bukanlah “Islamofobia”, melainkan hanya stereotype masyarakat. Mereka berfikir bahwa orang-orang berjanggut, bercadar, para ulama dan para Aswaja adalah orang-orang yang telah terhasut dengan ideologi teroris. Meskipun begitu, masalah ini tidak bisa dibiarkan begitu saja. Karena jika jika dibiarkan, bukan tidak mungkin Islamofobia akan lahir di Indonesia. Oleh karena itu, sudah seharusnya pemerintah bertindak tegas. Dan ini juga menjadi tantangan bagi umat Islam saat ini untuk membangkitkan kembali Islam, yang mana dalam sejarah pernah menjadi peradaban yang paling unggul.

Dalam mencegah lahirnya Islamofobia di Indonesia, pemerintah harus menindak siapapun yang melanggar hukum dan yang berpotensi menyebabkan kekacauan tanpa pandang bulu. Selain itu, pemerintah dan para ulama juga harus lebih mengenalkan nilai-nilai Islam yang sebenarnya kepada masyarakat. Membangun persepsi tentang nilai-nilai Islam sejalan dengan ideologi negara kita, yaitu Pancasila. Membangun pandangan tentang Islam sebagai agama yang terbuka dan pandangan yang tertutup diminimalisir. Menjadikan atribut Islam yang digunakan tidak melambangkan suatu kelompok yang eksklusif dan “keras”. Merumuskan makna jihad baru yang tidak keluar dari ajaran Islam; jihad dalam teknologi informasi, politik, ekonomi, pendidikan dan sosial budaya. (Buletin Psikologi, Tahun XII, No. 2, Desember 2004). Selanjutnya, kita sebagai kita sebagai generasi muda Islam harus membagikan ilmu agama yang kita miliki kepada orang-orang disekitar kita. Tidak harus memberikan penjelasan tentang syariat-syariat Islam, benar dan salah dalam Islam, dan hal-hal berbau materi lainnya. Cukup kita tunjukkan dalam kelakuan dan sikap kita sehari-hari sesuai dengan nilai-nilai Islam. Karena bagi non-Muslim, sikap kita, cara berpakaian, dan berinteraksi merupakan cerminan dari Islam itu sendiri. Seperti yang kita tahu, Islam merupakan Rahmatan lil ‘alamin, yang mana ini juga telah disebutkan dalam Al-Qur’an QS. Al-Anbiya: 107

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ

“Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam.”

Fenomena Islamofobia dapat dimaknai sebagai tanda alami dari proses prasangka di masyarakat, namun agar prasangka antar kelompok tersebut tidak menjadi lebih serius dan menimbulkan konflik dan kerugian sosial yang berkepanjangan bagi masyarakat, diperlukannya pemberian pemahaman yang tepat dan positif, keterbukaan visi dan kejelasan pandangan hidup, serta keterbukaan dalam menerima keberadaan kelompok lain dan menunjukkan bahwa Islam datang dengan membawa kedamaian, keadilan dan penegakan aturan yang diharapkan akan membawa ke dalam tatanan masyarakat yang lebih baik. Buktikan bahwa umat Islam merupakan pribadi yang uswah hasanah dalam segala aspek kehidupan.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image