Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ade Sudaryat

Inilah tiga kelompok sikap orang terhadap ilmu

Agama | 2022-10-14 09:24:11

Imam Malik berpendapat, sebenarnya kebutuhan kita terhadap ilmu jauh lebih banyak daripada kebutuhan kita terhadap papan, sandang, dan pangan. Setiap aktivitas kita, baik urusan dunyawiyah maupun ukhrawiyah memerlukan ilmu. Tak ada satu aktivitas pun yang tidak memerlukan ilmu.

Imam Syafi’i memperkuat pendapat Imam Malik dengan mengatakan, “Barangsiapa yang ingin menguasai kehidupan dunia, maka ia harus memiliki ilmu. Barangsiapa yang ingin menguasai kehidupan akhirat, ia harus memiliki ilmu, dan barangsiapa yang ingin menguasai kehidupan dunia dan akhirat, ia pun harus memiliki ilmu.”

Dengan menguasai ilmu, seseorang atau suatu negara yang miskin akan menjadi mulia, menjadi orang atau bangsa yang maju. Dalam urusan duniawi banyak negara yang miskin sumber daya alam menjadi negara maju, mengalahkan negara-negara yang kaya dengan sumber alam. Singapura salah satu contohnya.

Dari sudut pandang sumber daya alam, Singapura terbilang miskin. Sadar akan kekurangannya tersebut para pemimpin bangsa tersebut berupaya mengajak penduduknya untuk menggali ilmu pengetahuan dan teknologi.

Pembangunan sumber daya manusia menjadi salah satu tagetnya. Hasilnya sumber daya manusia yang mumpuni dalam segala bidang dapat menjadikan negara tersebut maju, bahkan melebihi negara-negara yang kaya dengan sumber daya alam, namun miskin dengan sumber daya manusia yang mumpuni.

Demikian pula halnya dalam penguasaan dan pengamalan ilmu agama. Banyak orang yang menjadi mulia karena ia memiliki kelebihan dalam memahami dan mengamalkan ilmu agama.

Dalam hal sikap orang terhadap ilmu, Abu Ishaq Ibrahim bin Musa al Lakhmiy al Gharanathi yang lebih terkenal dengan sebutan Imam Asy-Syathibi, dalam salah satu karyanya Al-Muwafaqat fi Ushulu al Ahkam, halaman 36-37 membagi sikap manusia terhadap ilmu, khususnya ilmu agama, kepada tiga golongan.

Pertama, ath-thalibuuna lahu. Orang-orang yang masuk ke dalam kelompok ini adalah mereka yang mencari ilmu sekedar memenuhi kualifikasi, bisa juga mereka yang mencari ilmu sekedar memenuhi gaya hidup.

Diakui atau tidak, pada saat ini banyak orang yang mencari ilmu sekedar untuk memenuhi kualifikasi. Bagi mereka yang penting pernah mencari ilmu. Sementara pemahaman, kompetensi, perubahan sikap hidup, dan dampak dari ilmu yang pernah digelutinya tidak nampak pada diri mereka.

Demikian pula halnya dengan majelis ta’lim atau kajian keagamaan. Pada saat ini majelis ta’lim sudah menjadi bagian dari gaya hidup. Kata santri yang dahulu milik pondok pesantren dan dianggap “kampungan” kini menjadi kata-kata yang menjadi trend di kalangan kelompok orang-orang yang senang menghadiri majelis ta’lim dan kajian keagamaan.

Namun demikian, kelompok pertama ini hanya sekedar memenuhi kualifikasi saja. Ia hanya sekedar ingin disebut pencari ilmu. Jika meminjam istilah ilmu pendidikan, sisi kognitif, afektif, maupun psikomotorik tak nampak dalam diri dan kehidupan mereka. Kegiatan mencari ilmu yang mereka lakukan tak berdampak terhadap peningkatan pengetahuan, akhlak, dan taqarrub mereka kepada Allah.

Kedua, al waafiquuna minhu. Orang-orang yang termasuk dalam kelompok ini adalah mereka yang mencari ilmu karena tuntutan untuk memenuhi kualifikasi keilmuan dan kompetensi. Mereka yang termasuk dalam kelompok ini adalah mereka yang mencari ilmu untuk memenuhi kualifikasi keilmuan dan benar-benar untuk meningkatkan kompetensinya.

Orang-orang yang berada dalam kelompok ini pada umumnya hanya mengejar segi kognitif demi peningkatan kompetensi dalam melaksanakan profesi mereka. Jika dalam profesi keduniawian bertujuan agar mereka benar-benar professional dalam melaksanakan tugasnya. Jika bergelut di bidang agama, mereka ingin benar-benar memahami dali-dalil dan sumber-sumber ilmu keagamaan yang selalu mereka sampaikan kepada umat.

Sayangnya, mereka yang termasuk dalam kelompok kedua ini hanya menjadi kolektor ilmu dan kompetensi. Mereka menjadikan dirinya sebagai “ensiklopedia” berjalan yang dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan orang, namun ilmu yang mereka pelajari dan mereka fahami tak berpengaruh terhadap sikap hidup dan akhlak mereka.

Ilmu agama yang mereka pahami hanya dijadikan sebagai pengetahuan belaka, bukan pedoman hidup. Sementara akhlak dan taqarrub mereka kepada Allah tak jauh berbeda dengan kelompok pertama.

Ketiga, alladziina shaara lahumu al ilmu wasfan mina al aushaafu ats-atsabitah. Orang-orang yang termasuk dalam kelompok ini adalah mereka yang benar-benar mencari ilmu demi merubah sikap hidup, menjadikannya sebagai pedoman hidup.

Bagi kelompok ini, mencari ilmu bukan hanya sebagai gaya hidup, memenuhi kualifikasi dan kompetensi belaka, namun ilmu yang telah mereka dapatkan dan mereka fahami harus benar-benar menjadi wasilah untuk mendekatkan diri kepada Allah swt. Ilmu yang mereka dapatkan dijadikan wasilah untuk menafakuri keagungan Allah, sehingga mereka menyadari akan kekerdilan diri, dan tak layak bersikap sombong atas ilmu yang telah dimilikinya.

Orang yang berada pada kelompok ini berakhlak seperti para malaikat yang merasa tak mengetahui apa-apa ketika mereka disuruh menyebutkan beragam ilmu di hadapan Nabi Adam a.s. dan jiwa mereka tunduk terhadap perintah Allah ketika harus memberi hormat kepada Nabi Adam a.s.

Mereka menjawab, “Mahasuci Engkau. Tidak ada pengetahuan bagi kami, selain yang telah Engkau ajarkan kepada kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana.” (Q. S. Al Baqarah : 32).

Kelompok yang ketiga ini termasuk pula ke dalam golongan ulul albab, yakni orang-orang berakal cerdas yang kecerdasannya dipakai menafakuri ciptaan Allah dan mendekatkan diri kepada Allah.

Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi serta pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang berakal (ulul albab), yaitu orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk, atau dalam keadaan berbaring, dan memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), “Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia. Mahasuci Engkau. Lindungilah kami dari azab neraka.” (Q. S. Ali Imran : 190 - 191).

Semoga kita menjadi orang-orang yang mencari, mencintai, dan memahami ilmu seraya menjadikannya sebagai wasilah untuk memperbaiki kehidupan kita di dunia, memperbaiki akhlak dan keimanan kita yang bermuara kepada semakin dekatnya diri kita kepada Allah swt.

Ilustrasi : santri sedang mengkaji kitab kuning

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Terpopuler di

 

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image