Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Nur'aina Ibrahim

Mengapa Bullying Masih Marak Terjadi?

Agama | 2025-11-19 18:49:12

Fenomena bullying kembali menjadi sorotan setelah beberapa kasus muncul di berbagai daerah. Dilansir dari BeritaSatu.com (8/11/2025), seorang santri di Aceh Besar ditetapkan sebagai tersangka karena membakar asrama. Diduga tindakan tersebut dilakukan karena pelaku merasa sakit hati setelah menjadi korban bullying. Kasus lain terjadi di SMAN 72 Jakarta, seorang siswa melakukan ledakan diduga karena menjadi korban bullying (AntaraNews.com, 7/11/2025).

Kasus-kasus ini menunjukkan bahwa bullying masih marak terjadi di berbagai sekolah. Fenomena ini seharusnya dipahami bukan hanya sebagai tindakan individu, tetapi juga sebagai kegagalan sistem pendidikan dalam mengawasi dan menanamkan nilai moral kepada siswa. Oleh karena itu, sekolah tidak boleh hanya menjadi pabrik pencetak pekerja, tetapi harus benar-benar menjadi tempat membentuk manusia yang berakhlak.

Pengaruh media sosial semakin memperparah aksi bullying karena perilaku tersebut sering dijadikan candaan dan dianggap wajar oleh banyak orang. Para pelaku meniru perilaku negatif yang mereka lihat di media sosial. Misalkan video prank yang mempermalukan orang lain, meme atau komentar lucu yang menjelekkan orang lain, dan influencer yang mengolok-olok orang lain sebagai hiburan.

Kondisi ini menyebabkan berkurangnya rasa empati terhadap korban sehingga menandakan krisis adab yang melanda lingkungan, terutama dalam pendidikan. Fenomena ini sekaligus membuktikan bahwa fungsi pendidikan dalam menanamkan nilai moral kepada siswa belum berjalan dengan efektif.

Media sosial dapat menjadi rujukan bagi korban bullying untuk melakukan tindakan ekstrem karena platform ini memfasilitasi ekspresi frustrasi, komunikasi dengan kelompok yang mendukung kekerasan, dan akses ke konten yang memicu balas dendam. Dengan kondisi seperti ini, korban sering merasa bahwa melakukan tindakan ekstrem merupakan satu-satunya cara untuk melampiaskan kemarahan atau dendam.

Pendidikan sekuler yang berorientasi pada kapitalisme cenderung menekankan materi akademik dan prestasi ekonomi sehingga akhlak dan spiritual siswa sering terabaikan. Akibatnya, banyak siswa lebih mementingkan prestasi akademik atau karir, sementara nilai moral dan keimanan tidak mendapat perhatian yang cukup. Dengan kondisi ini, pendidikan harus menyeimbangkan penguasaan ilmu dunia dengan pembentukan karakter agar generasi muda tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga matang secara moral dan spiritual.

Berbeda dengan pendidikan sekuler yang menekankan prestasi akademik dan materi dunia, pendidikan Islam memandang bahwa akhlak, iman, dan ilmu tidak bisa dipisahkan. Sistem sekuler sering kali menilai keberhasilan seseorang hanya dari nilai rapor atau kemampuan bersaing di dunia kerja, sementara pendidikan Islam menilai keberhasilan dari kematangan moral, kedewasaan spiritual, dan tanggung jawab sosial. Guru dalam sistem sekuler lebih banyak berperan sebagai penyampai ilmu, sedangkan dalam pendidikan Islam guru berfungsi sebagai pembimbing dan pembina, membentuk pola pikir, sikap, dan karakter siswa. Kontras ini menunjukkan bahwa pendidikan Islam tidak hanya mencetak generasi yang cerdas secara intelektual, tetapi juga mampu membangun akhlak yang kokoh dan kepribadian yang matang sehingga risiko lahirnya perilaku negatif seperti bullying dapat ditekan.

Pendidikan dalam Islam sangat penting karena berperan dalam pembentukan kepribadian islami. Hal ini sesuai dengan Q.S Ali Imran: 110:

“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.”

Kepribadian terbentuk melalui keselarasan pola pikir dan sikap yang diperkuat melalui pembelajaran dan pengamalan agama Islam. Proses pendidikan dilakukan dengan pembinaan intensif, membentuk pola pikir dan pola sikap islami sehingga siswa tidak hanya memahami nilai materi, tetapi juga nilai maknawi dan ruhiyah.

Kurikulum pendidikan islam dibangun atas asas aqidah Islam dan menjadikan adab sebagai dasar pendidikan. Tujuannya adalah menanamkan pemahaman tentang keimanan kepada Allah serta kesadaran akan tujuan hidup. Sebagai dasar pendidikan, adab mencakup pembentukan perilaku, sopan santun, etika, dan tata krama dalam proses belajar mengajar. Dengan metode ini, sebelum penyampaian ilmu, siswa diajarkan bagaimana cara bersikap, menghormati guru, menjaga lisan, dan berinteraksi dengan sesama.

Dalam negara dengan sistem islam, negara wajib menjadi penjamin pendidikan, pembinaan moral umat, dan perlindungan generasi dari kezaliman sosial. Untuk menjalankan kewajiban ini, negara harus memastikan pendidikan tersedia bagi semua warga sebagai kebutuhan kolektif. Selain itu, negara menegakkan nilai-nilai etika, keadilan, dan ketaatan sosial melalui sistem hukum, pendidikan, dan teladan pemimpin. Dengan demikian, generasi muda dapat terlindung dari kondisi yang merusak potensi mereka dan masyarakat secara keseluruhan memperoleh kesejahteraan dan keadilan.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image