Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Neneng Ratnika

Membangun Studio Lukis Dengan Menjual 12 Lukisan

Wisata | Sunday, 05 Dec 2021, 21:59 WIB
Bincang santai bersama Kang Rosid
Rumah Budaya Rosid
Lukisan Wanita Baduy
Selalu mensyukuri setiap butir padi meskipun belum masak
Kang Rosid bersama lukisannya " Raray Rama"
Lukisan tengkuk ayah Kang Rosid
Lukisan Diri

Membangun Studio Lukis

Dengan Menjual 12 Lukisan

Oleh Neneng Ratnika

Membangun studio melukis dengan hanya menjual 12 lukisan, mungkinkah? Bukan mungkin, tapi pasti, karena harga sebuah lukisannya saja sekitar 45 jutaan rupiah. Wow! Ini dilakukan oleh seorang pelukis bernama Rosid (52 tahun). Sudah lama ia bercita-cita memiliki studio lukis sendiri dan alhamdulilah terwujud setelah ia berhasil menjual 12 lukisannya pada pemeran “Membingkai Potret” di Selasar Sunaryo, Bandung, tahun 2002. Ini adalah sepenggal kisah berdirinya Studio Rosid, cikal bakal berdirinya “ Rumah Budaya Rosid” tahun 2015.

Setelah mendirikan studio, lelaki kelahiran 15 Februari 1969 ini membeli sebuah lumbung padi khas Jawa Timur dari seorang pedagang barang bekas di Dago Pakar, Bandung, tahun 2006. Maka dibuatlah sebuah saung yang terdiri dari lumbung padi tersebut. Semula lumbung padi itu diisi buku-buku dan diberi nama Lumbung Buku. Sejak membeli lumbung itu, Rosid giat mengumpulkan peralatan pertanian dan rumah tangga tradisional seperti alat bajak yang biasa ditarik kerbau, garu, lesung-lesung dari kayu gelondongan, cobek, cangkul dan peralatan dapur tradisional yang kini tak lagi dipakai oleh masyarakat modern. Seiring dengan minatnya yang tinggi mengumpulkan barang-barang dari masa lalu, Lumbung Buku itu pun berubah isinya dengan berbagai peralatan lama terbuat dari tembikar, seperti teko, cerek, kendi, dan lain-lain. Seperti halnya studio, lumbung ini pun kemudian menjadi bagian dari keseluruhan “Rumah Budaya Rosid”.

“ Rumah Budaya Rosid” seluas 1.200 meter persegi terdiri dari tiga bangunan utama, yakni studio, saung atau lumbung padi, dan galeri. Nama “ Rumah Budaya Rosid” terukir di sebuah gong yang digantungkan di antara dua bilah kayu dan ditancapkan pada sebatang pohon depan sebuah rumah unik. Bagian depan rumah digantungkan berbagai aksesoris berupa klotokan sapi atau kerbau dan sebuah pensil merah besar yang sekaligus sebagai petunjuk arah menuju Studio Rosid. Ternyata rumah itu merupakan sebuah penginapan lengkap dengan sebuah kamar dengan interior dan perlengkapan rumah yang antik dan artistik. Harga sewa penginapan itu per malamnya dipatok 300.000 rupiah. Penginapan tersebut juga nyambung dengan bagian belakangnya yakni sebuah galeri yang juga besebalahan dengan masjid jami Sirojul Mu’minin.

Rumah Budaya Rosid secara keseluruhan berdiri tahun 2015. Dibangun secara bertahap Bermula dirinya membeli lahan kosong tempat pembuangan sampah dengan kontur tanah yang tidak merata. kemudian diratakannya. Menilik bangunan unik dan artistik yang dipenuhi barang-barang antik dan sejumlah lukisan berharga ini, semula mengira bahwa pemiliknya pastilah orang yang berlatar pendidikan seni yang tinggi, seorang maestro atau sejenisnya. Ah, ternyata keliru. Rosid hanya lulusan SMA yang dianugrahi Allah talenta seni yang besar sejak kecil. Setelah lulus SMA tahun 1989, dia pergi ke Bandung dan bertekad untuk mengembangkan bakat seninya itu. Dia pun kemudian bergabung dengan sebuah sanggar lukis di Babakan Siliwangi. Di tempat inilah bakat seninya diasah dan mendapat arahan dari instruktur lukisnya yakni Pak Tony (alm). Kang Rosid juga bertemu dengan pak Soenaryo yang merupakan dosen Seni Rupa ITB. Dialah yang kemudian mengarahkan Kang Rosid untuk melukis dengan pensil yang menjadi kekuatannya sekaligus mencari ciri khas lukisannya hingga kini.

Untuk kedua kali saya dan suami berkunjung ke Rumah Budaya Rosid yang beralamat di jl. Cigadung Tengah No. 40, Bandung ini, setelah kunjungan pertama kami dua tahun lalu. Ternyata sudah banyak perubahan dibandingkan kunjungan kami yang pertama. Salah satunya adalah sebuah kafe yang di depannya terdapat sebuah delman, yang terletak di depan bangunan studio. Seingat kami dua tahun lalu kafe ini belum ada. Berbagai macam menu makanan dan minumam ditawarkan di sini dengan harga murmer, murah-meriah, dengan kisaran harga antara 10 ribu hingga 25 ribu Rupiah. Saat kunjungan pertama waktu itu pemiliknya sedang tidak berada di tempat sehingga kami pun tidak sempat berbincang dan bertanya berbagai hal mengenai tempat ini. Nah, pada kunjungan kedua ini kami berkeinginan betermu dengannya, namun itu pun masih ragu, bisakah kami sebagai pengunjung biasa ini bertemu dengan orang yang memiliki nama besar seperti dia? “Kalau Ibu dan Bapak ingin bertemu, biar saya sampaikan kepada pak Rosid”, kata seorang pelayan kafe menawarkan diri untuk memberitahukan keinginan kami itu kepada pemilik tempat ini. Namun saat itu kami masih ragu antara menerima atau menolak. Baru setelah memesan makanan dan minuman di kafe itu, kami pun memberanikan diri menerima tawaran tadi untuk bertemu langsung dengan si empunya tempat ini. " Tapi jika Bapak tidak sibuk dan ada waktu buat kami ya Teh." Kataku pada pelayan ramah itu.

Tak mesti menunggu lama, seorang pria bertopi pet datang menghampiri kami, ah rupanya dia pemilik tempat ini. Namanya sama dengan nama Rumah Budayanya, yakni Rosid. Mengingat umur kami tak berbeda jauh, kami pun memanggilnya dengan sebutan Kang Rosid.

Biasanya sore begini Bandung kerapkali diguyur hujan,, namun kali ini tidak,, bahkan cerah. Kami pun kemudian asyik berbincang santai dengan Kang Rosid di studio yang merupakan tempat favoritnya berkarya. Kami berbincang banyak hal, tentang semua benda masa lalu yang mengitari tempat itu yang menurut Kang Rosid mengandung energi dan menghadirkan spirit pada tangan, mata, dan hati lelaki kelahiran Ciamis itu untuk terus berkarya. Sekaligus pula merekatkan kembali kenangan Kang Rosid pada masa kecilnya di Parigi, Pangandaran bersama ayahnya yang bernama Dapin dan ibunya, Supiyem, yang kedua-duanya kini telah tiada.

Kang Rosid yang merupakan anak bungsu dari enam bersaudara ini terlahir dari keluarga petani. Bahkan ayahnya seumur hidupnya adalah petani. Katanya dulu dia sering ikut ayahnya pergi ke sawah. Di sana ia menyaksikan tangan-tangan kokoh ayahnya yang berbalur lumpur sawah. Menatap dari belakang tengkuk ayahnya yang menghitam karena terpaan sinar matahari setiap harinya. "Setiap butir padi walaupun masih muda Bapak syukuri," Begitu kata lelaki berusia 52 tahun ini. Pada setiap butir padi itu tersimpan sebuah harapan akan masa depan anak-anak dan keluarganya. Saat mengenang masa kecilnya itu mata Kang Rosid terlihat berkaca-kaca hingga kami pun terbawa suasana, larut bersama kenangan lelaki yang begitu menggumi ayahnya itu.

Dengan latar belakang sebagai anak petani, nuansa pertanian di desa memang begitu kental mewarnai Rumah Budaya Rosid ini. Hal tersebut tercermin dari suasana sekitar studio yang sebagian besar terdiri dari peralatan pertanian semisal cangkul, garpu tanah, golok, kapak, parang, dan arit. Terdapat pula alat penumbuk padi berupa lesung kayu berbagai ukuran beserta alunya. Sejumlah peralatan pertukangan dan peralatan masak tradisional berupa cobek dan ulekannya, centong nasi kayu, kita dapati pula di sini. Tak ketinggalan sebuah kuali besar beserta besi penutupnya yang katanya kedua benda itu diperoleh terpisah di tempat berbeda namun ternyata saat dipasangkan keduanya cocok.

Selain peralatan pertanian, dan perlengkapan dapur lama, di situ terdapat juga barang-barang artistik yang masih bertemakan pertanian, antara lain botol-botol bekas yang permukaannya dihiasi butiran-butiran padi. Ada juga sebuah kujang yang diletakkan di bekas tempat makan bebek dan di tempelkan pada salah satu tiang di studio itu. Semua itu berasal dari barang bekas yang dibuang begitu saja tapi di tangan Kang Rosid semuanya berubah menjadi barang artistik dan bernilai seni tinggi. Barang lainnya adalah sebuah lesung yang diberdirikan depan studio. Katanya dia memperoleh lesung itu lewat seseorang yang mengabarkan keberadaan lesung itu di sebuah selokan di jl. Salendro Bandung. Keseluruhan lesung itu 4 buah. Kemudian ia bersihkan namun bilur-bilur bekas gigitan rayap dibiarkan begitu saja sehingga bilur-bilur itu tampak alami. Kang Rosid pun menunjukan gembok yang baru saja dibelinya dari tukang rongsokan. Gembok yang ditaksir buatan tahun 1950an dan dibeli dengan harga 50 ribu per buahnya. Gembok tersebut ia tempelkan di salah satu tiang di studio.

Beberapa lukisan foto dipajang juga di sekitar kami, di antaranya lukisan foto kang Rosid dan tiga orang putranya saat masih kecil yang dilukis di atas lembaran balok kayu jati. Lukisan semacam itu bisa dipesan dengan harga 15 juta setiap buahnya. Mata kami pun kini beralih dan tertuju pada sebuah lukisan besar bergambar seorang nenek tengah memegang sebatang rokok yang terselip di bibirnya. "Waktu saya ke Baduy saya lihat nenek itu, lalu saya foto dan melukisnya", Kang Rosid menjelaskan lukisannya itu sambil memperlihatkan sebuah foto wanita Baduy yang sama persis dengan lukisannya. "Lihat matanya, matanya begitu tenang dan tanpa beban", ucap Kang Rosid manambahkan. “Berapa harga lukisan ini Kang,” Tanyaku penasan. “Sekitar 50 juta,” jawabnya pendek.

Cerita masih terus mengalir dari mulut Kang Rosid, tapi sejenak kami jeda untuk mendengarkan kumandang adzan maghrib dan kami pun bersiap shalat maghrib berjamaah di masjid jami Sirojul Mu,minin, sebuah masjid yang bersebelahan dengan galeri, didirikan di atas tanah wakaf dan dipergunakan untuk shalat dan mengaji warga sekitarnya. Bahkan dipakai untuk shalat Jumat. Jika masjid penuh, jamaah dipersilakan shalat di sebagian ruang galeri.

Selesai shalat maghrib, kami pun diajak berkeliling galerinya. Banyak lukisan foto hitam putih dipajang di situ. Tak terkecuali foto-foto ayahnya yang ia abadikan lewat lukisan hitam putihnya. Sosok ayah merupakan inspirasi hidup dan inspirasi lukisan Kang Rosid. Tak heran dia juga mengabadikan paras ayahnya itu pada sebuah lukisan hitam putihnya. "Raray Rama" demikian Kang Rosid menamai lukisannya itu. Guratan-guratan pekerja keras tercermin pada wajah itu, begitu pula pada tatapan tajam matanya, dan pada garis bibirnya yang seakan tak banyak bicara. Lukisan itu begitu nyata seakan kita tengah berhadapan langsung dengan seorang petani tua yang meninggal pada usia 96 tahun itu.

Kisah masa kecilnya bersama ayahnya di sawah, telah mengilhaminya pula untuk membuat sebuah lukisan orang tua yang tak lain daripada ayahnya, tengah berada di antara rumpun padi. Sementara kedua tangannya yang keriput menggenggam setangkai padi yang masih muda. “ Bapak selalu mensyukuri padi itu walau pun belum masak,” ungkap Kang Rosid sendu mengulangi kata-katanya tadi saat di studio. Pada lukisan lain tampak pula ayahnya tengah membelakangi melipatkan kedua telapak tangan dan bertumpu pada kepalanya hingga tengkuknya terlihat begitu jelas. Itulah tengkuk ayahnya yang biasa Rosid kecil lihat saat di sawah. Ada pula lukisan pak Dapin tengah menutupi tengkuknya yang sering terkena sengatan matahari itu.

Di galeri itu pun terdapat lukisan potret diri Kang Rosid yang tengah mengorek kupingnya.

Ada kisah unik di balik lukisan diri ini. Suatu hari ada orang yang bersikeras ingin membeli lukisan diri Kang Rosid itu, padahal Kang Rosid tidak ingin menjual lukisannya itu. Namun orang itu tetap memaksa, akhirnya dengan berat hati Kang Rosid pun melepas lukisannya itu. Dengan hasil penjualan lukisan tersebut alhamdulillah ia beserta keluarga juga ayahnya bisa berangkat umroh. Setelah umroh, kang Rosid membuat lukisan bayi, rupanya orang yang pernah membeli lukisan dirinya itu tertarik juga akan lukisan bayi itu, maka terjadilah transaksi dengan cara barter, menukar lukisan bayi dengan lukisan diri yang pernah dia beli. Maka kembalilah lukisan diri itu menjadi miliknya. "Alhamdulillah umroh iya, lukisan pun tetap saya miliki", ujar Kang Rosid senang.

Selama menekuni dunia melukis, sudah banyak pameran yang diikuti Kang Rosid, baik pameran tunggal atau pameran bersama, baik di dalam maupun di luar negeri. Di antaranya, pameran bersama SOS di Bandung tahun 1989, pameran bersama TMII, Jakarta tahun 1996, Pameran 100 Tahun Affandi “Ilusi – Ilusi Nasionalisme” di Jogya Gallery, pameran tunggal “Sketsa Hitam Putih, CCF Bandung tahun 1997, pameran tunggal “ Wajah Polos Pinggiran” , Koong Galeri Jakarta tahun 2000, pameran tunggal “ Menjadi Sawah”, di galeri Soemardja, ITB tahun 2007, Yogyakarta tahun 2008, Pameran Indonesia And The Mainstream (Cige) Beijing, Cina dan Galeri Canna tahun 2008. Pameran “Singapore Biennale, di Singapura tahun 2013, dan Pameran “ Nautika Rasa” di Galeri Nasional Jakarta tahun 2016.

Para peminat lukisannya itu sebagian besar berasal dari luar negeri. Begitu pula barang-barang lama koleksinya itu banyak diminati oleh orang-orang Singapura dan megara lain. Sayang sekali orang kita sendiri sangat kurang minatnya terhadap barang-barang tradisinal.

Tanpa terasa waktu terus berlalu, malam pun menjelang. Kami akhirnya pamit pulang. Tak lupa Kang Rosid pun mengantar kami hingga tempat parkir. Namun sebelum kami pulang Kang Rosid pun masih sempat menceritakan tentang mobil kontainer yang hanya badannya tidak jauh dari tempat parkir. Badan kontainer karatan itu bertuliskan "PERUSAHAAN ROKOK 'Petjoet Blorong' TULUNG AGUNG". Rupanya kontainer tersebut masih dalam bentuk aslinya. Bagian dalamnya dilapisi papan kayu demikian pula seluruh dindingnya dilapisi potongan-potong kayu sebagaimana aslinya kontainer zaman dulu. Badan kontainer tersebut dijadikan sebagai tempat anak keduanya berkumpul bersama teman-temannya. Tak jauh dari badan kontainer terdapat sebuah bangunan mirip ruko yang bagian sudut bawah ruko tersebut digantungi sebuah lesung kayu. Sedangkan di atasnya terdapat tumpukan sepeda ontel rusak dan berkarat serta ada juga sebuah kohkol atau alat bunyi-bunyian yang dipukul terbuat dari kayu, tergantung di sudut bangunan.

Semua benda di tempat ini memang sayang untuk dilewatkan, dari mulai kami datang tadi hingga kini hendak pulang, ada saja benda yang menarik perhatian kami. Termasuk tanaman merambat yang memenuhi tembok luar dinding studio. Tanaman tersebut ternyata ditancapkan pada potongan-potongan kayu bekas. Wow! Ternyata di sini tak ada barang bekas yang tersisa dan tak ada pula yang terbuang. Semua menjadi sebuah karya yang unik dan indah.

Akhirnya kami pun pulang dengan membawa sejuta cerita tentang Kang Rosid yang ternyata begitu bersahaja dan ramah kepada kami bersama Rumah Budaya-nya. “Rumah Budaya Rosid adalah lumbung ilmu meneropong masa lalu, merekam kekinian, dan disajikan untuk masa yang akan datang, serta keberadaannya dapat memberi ‘nilai tambah’terhadap kegairahan kota Bandung untuk Jawa Barat bagi Indonesia”, demikian harapan kang Rosid akan Rumah Budaya miliknya itu.

Bandung/ NR/ 25 November 2021

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image