Wartawan Padi
Eduaksi | 2022-09-22 16:42:39Sejak menerima pesan balasan WA itu, langsung ada niatan membubuhkan sikap beliau dalam tulisan. Tapi, belum juga ada kesempatan. Masih menggarap ini dan itu. Termasuk naskah majalah Mulia. Tapi tekat masih ada.
Ya. Secara pribadi, ane menilai jawaban beliau memang sangat mengesankan. Menggambarkan kepribadian yang bijaksana. Sudi melayani orang lain dengan baik, meski dia bukan siapa-siapa.
Secara reputasi karir di dunia kewartawanan dua bukan orang sembarangan. Salah satu tokoh wartawan senior. Di koran tertama nan bernafaskan relegiusitas yang cukup kental. Posisinya pun menterang. Sudah duduk dinkursi redaktur.
Kedudukan lainnya pun sangat tinggi. Bersama tokoh-tokoh nasional lainnya, seperti Habiburrahman el-Syirazy dan Helvy Tiana Rosa. Para penulis novel-novel keren dan sutradara itu. Hebat, bukan?
Dengan posisi demikian, tergambar jelas kesibukan beliau. Yang luar biasa, setiap kali ane hubungi, entah itu karena mengirim naskah/sekedar sapa, selalu direspons dengan baik. Padahal, terkadang dalam seminggu sampai beberapa kali ane mengirim naskah untuk dipublikasi di media beliau. Selalu direspon, minimal dengan memberi jawaban;
"Baik, kang!"
Sampai pada akhirnya, ane sendiri jadi baper. "Apa iya, saya tidak mengganggu, yah. Kok japri beliau terus?"
Hal itulah, yang akhirnya memaksa ane untuk menanyakan, apa pesan-pesan yang saya kirimkan itu mengganggu apa tidak?
Ane tawarkan, kalau mengirim naskah, tidak usah ane menginformasikan via japri. Khawatir mwngganggu. Tinggal beliau melihat email. Toh sudah akrab juga dengan email ane pribadi. Tapi jawabannya;
[15/9 16:34] Khairul Hibri: Afwan ust, sekedar tanya.
Apa perlu sya memberi informasi smacam ini (chat WA), stiap kali memgirim tulisan/berita ke email antm atau tdak usah. Ckup kirim sja ke email??
"Gak masalah, Kang. Saya senang kalau dijapri." Jawab beliau.
Jawaban inilah yang membuat ane terjun. Di luar sana, betapa banyak, belum juga jadi apa-apa, soknya sudah luar biasa. Di-chat, tidak dibalas-balas. Padahal jelas-jelas sudah centang biru. Tandah terbaca. Bahkan, yang nge-chat bukan orang sembarangan juga. Seniornya. Ustadznya. Gurunya. Tapi, tetap juga dicueki.
Ini sejatinya, bukan soal sibuk atau tidak subuk untuk bisa me jawab. Tapi ini soal etika dalam bermedia sosial.
Kepada tokoh wartawan senior itu, mari kita belajar etika dalam bermedia sosial yang 'ramah lingkungan.' Tak berlebih koianya, bila ane beri julukan beliau 'wartawan padi.' Semakin berilmu. Semakin tawadhu' pula orangnya.
Semoga bisa menapaki. Termasuk pribadi yang menulis ini.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.