Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Muhammad Syafi'ie el-Bantanie

Pembaruan Model Pembelajaran Tahfizh

Eduaksi | 2021-12-01 22:59:06

Muhammad Syafi’ie el-Bantanie, (Pendiri dan Pengasuh Ekselensia Tahfizh School)

Pesantren dan sekolah tahfizh terus bertumbuh dan berkembang. Semakin tahun jumlahnya semakin bertambah. Kita berharap fenomena berkembangnya pesantren dan sekolah tahfizh bukan euforia, namun satu di antara tanda kebangkitan peradaban Islam.

Karena itu, pesantren dan sekolah tahfizh mesti mampu menjawab tantangan tersebut. Hal ini dibuktikan dengan lulusan yang berkualitas. Lulusan yang mampu menampilkan profil penghafal Al-Qur’an sejati.

Penghafal Al-Qur’an yang tidak hanya hafal, namun juga menjiwainya. Al-Qur’an seperti inside (menyatu) dalam diri dan tercermin dalam perkataan dan perbuatan. Penghafal Al-Qur’an yang memiliki framework (kerangka berpikir) qur’ani yang digunakan untuk menjawab tantangan zaman dan persoalan kehidupan.

Oleh karena itu, perlu dilakukan pembaruan model pembelajaran tahfizh di pesantren dan sekolah tahfizh. Al-Qur’an mestinya tidak selesai dengan dihafal, namun ada rekayasa internalisasi nilai-nilai Al-Qur’an dalam jiwa santri sampai menjiwainya.

Selain itu, perlu diajarkan juga framework qur’ani. Sehingga, santri memiliki perangkat berpikir qur’ani untuk mencari solusi atas berbagai persoalan kehidupan. Inilah dua model pembaruan pembelajaran tahfizh.

Pertama, pembelajaran tahfizh mesti dinaikan levelnya dari litahfizhil Qur’an (menghafal Al-Qur’an) menjadi litahmilil Qur’an (menjiwai Al-Qur’an). Itulah kenapa dalam sejarah peradaban Islam, para penghafal Al-Qur’an tidak disebut dengan hafizhul Qur’an, melainkan hamalatul Qur’an atau hamilul Qur’an.

Hamilul Qur’an memiliki makna lebih dalam dibanding hafizhul Qur’an. Kata “hamil” artinya mengandung, seperti ibu yang mengandung bayi. Bayinya ada dalam diri ibu. Maka, hamilul Qur’an sejatinya bermakna Al-Qur’an seperti inside dalam diri penghafal Al-Qur’an. Dalam bahasa yang sederhana, hamilul Qur’an berarti orang yang jiwanya Al-Qur’an.

Itulah mengapa ketika Bunda Aisyah ditanya, “Bagaimana akhlak Rasulullah?” “Kana khuluquhul Qur’an” (akhlak Rasulullah adalah Al-Qur’an), jawab Bunda Aisyah.

Karena, Rasulullah jiwanya Al-Qur’an. Al-Qur’an benar-benar inside dalam diri Rasulullah. Tercermin dalam tutur kata, perilaku, dan semua aspek kehidupan beliau. Pribadi Rasulullah merupakan penerjemahan sempurna dari Al-Qur’an.

Bayangkan andai pesantren dan sekolah tahfizh menghasilkan hamilul Qur’an. Maka, akan lahir generasi qur’ani yang siap membangun peradaban. Karenanya, ini tentang bagaimana Al-Qur’an diajarkan dan diinternalisasikan pada diri santri.

Inilah yang akan menjawab, mengapa ada santri yang banyak hafal Al-Qur’an, tapi seperti tidak menjiwai Al-Qur’an dalam tutur kata dan perilaku keseharian. Sebaliknya, ada santri lain yang hafalan Al-Qur’an-nya tidak banyak, tapi justru menjiwai Al-Qur’an.

Kedua, pembelajaran tahfizh juga mesti diarahkan pada upaya membentuk framework qur’ani. Tantangan umat Islam saat ini adalah menerjemahkan prinsip-prinsip umum dalam Al-Qur’an menjadi sistem dan mekanisme operasional dalam kehidupan. Inilah yang dimaksud dengan framework qur’ani.

Ketika kita masih mengalami persoalan banjir, hamilul Qur’an mesti mampu menawarkan solusi dengan mengkaji prinsip umum Al-Qur’an tentang siklus air. Kemudian, menerjemahkannya menjadi sistem dan mekanisme tata kelola air dalam kehidupan.

Saat kesenjangan sosial semakin menganga, bagaimana solusi qur’ani untuk mengatasinya. Pada konteks inilah, framework qur’ani mesti mampu menjawabnya. Hamilul Qur’an mengkaji ayat-ayat ziswaf dan perekonomian. Kemudian, mengekstraknya menjadi formula ekonomi syariah yang applicable dan solutif. Demikian seterusnya.

Dua model pembaruan pembelajaran tahfizh di atas sekaligus akan menjawab Al-Qur’an bukan jargon, melainkan panduan dan solusi. Sejatinya Al-Qur’an solusi atas persoalan kehidupan dan panduan dalam merancang peradaban.

Agenda pembaruan di atas jelas tidak mudah. Dibutuhkan kualifikasi guru Al-Qur’an yang pakar secara keilmuan dan luhur dalam adab qur’an. Maka, rekayasa pemenuhan kualifikasi guru Al-Qur’an menjadi tantangan selanjutnya bagi kampus Al-Qur’an.

Selain itu, dibutuhkan juga rekayasa input (calon santri) agar terjaring bibit unggul yang siap ditempa menjadi hamilul Qur’an sekaligus memiliki framework qur’ani. Ini juga menjadi tantangan tersendiri bagi pesantren dan sekolah tahfizh.

Karena itu, membangun kerjasama dengan jaringan rumah tahfizh yang tersebar di seluruh Indonesia menjadi kebutuhan. Hal ini juga akan membangun ekosistem pendidikan Al-Qur’an di Indonesia. Sehingga, terbangun rantainya dari rumah tahfizh, pesantren dan sekolah tahfizh, sampai kampus Al-Qur’an, dan kemudian berkontribusi dalam kehidupan.

Selanjutnya, yang tidak kalah penting adalah rekayasa proses. Bibit unggul dan kualifikasi guru Al-Qur’an berkualitas itu mesti didukung dengan sistem pendidikan dan pembelajaran yang ajeg dan bermutu. Sehingga, potensi santri dan guru teraktualkan secara optimal.

Bayangkan santri unggul belajar kepada guru berkualitas dalam sistem pendidikan dan pembelajaran ajeg dan bermutu. Maka, kita boleh berharap lahirnya generasi unggul berjiwa dan ber-framework qur’ani.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Terpopuler di

 

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image