Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Atropal Asparina

Kurikulum Merdeka Perspektif Guru dari Desa

Eduaksi | Saturday, 17 Sep 2022, 09:20 WIB

Sebagai guru di sebuah SMK yang saya dan teman-teman rintis sendiri, tema kurikulum selalu jadi perbincangan menarik. Mengingat SMK itu adalah satuan pendidikan baru di desa saya, maka semua guru masih berstatus “honorer ceria”. Meski begitu, spirit upgrading informasi terkait kurikulum yang jadi ruh dalam sistem pendidikan di sekolah, masih sangat tinggi. Termasuk yang paling menarik adalah soal Kurikulum Merdeka.

Mengapa menarik? Karena bagi kami di desa, selain Kurikulum Merdeka lahir dalam rangka pemulihan pendidikan pascapandemi, juga terdapat sinisme dan keluhan yang mengitarinya. Terkait sinisme dan keluhan akan dibahas di bagian akhir. Sekarang mari sama-sama kita pahami dulu kronologi kelahiran sampai visi besar Kurikulum Merdeka dalam Peta Jalan Pendidikan Indonesia.

Memahami Kelahiran Kurikulum Merdeka

Perkembangan kurikulum dalam sejarahnya telah terjadi sekitar sembilan kali. Yaitu pertama tahun 1947 kemudian 1952, 1964, 1975, 1984, 1994, 2004, 2006 dan terakhir Kurikulum 2013 (Kurtilas). Kecuali dari Kurikulum 2004 menuju 2006, semuanya hampir berkembang per satu dekade. Nah, jika dihitung dari 2013, maka satu dekade adalah tahun 2023. Uniknya, dari akhir 2019 sampai 2021, dunia termasuk Indonesia dilanda pandemi covid-19.

Beruntung, Nadiem Makarim selaku Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbud Ristek) segera merespon keadaan. Pola pembelajaran daring atau PJJ yang dilakukan ketika pandemi, menyebabkan penerapan Kurtilas yang sifatnya serba mencakup dan sangat detail, teramat sulit dilakukan. Sedangkan di sisi lain ancaman learning loss (ketertinggalan pembelajaran) di antara peserta didik begitu nyata (Atropal, 2020, 2021). Akhirnya diterbitkanlah Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 719/P/2020 tentang Pedoman Pelaksanaan Kurikulum pada Satuan Pendidikan dalam Kondisi Khusus atau disebut Kurikulum Darurat.

Kurikulum Darurat (dalam kondisi khusus) yang disiapkan oleh Kemendikbud Ristek merupakan penyederhanaan dari kurikulum nasional. Pada kurikulum tersebut dilakukan pengurangan kompetensi dasar untuk setiap mata pelajaran sehingga guru dan siswa dapat berfokus pada kompetensi esensial dan kompetensi prasyarat untuk kelanjutan pembelajaran di tingkat selanjutnya (http://kurikulum.kemdikbud.go.id/).

Hebatnya, pengguna Kurikulum Darurat memperoleh capaian belajar yang lebih baik dibanding siswa yang menggunakan Kurtilas secara penuh, terlepas dari backround sosio-ekonominya. Capaian yang disurvei itu terkait dengan kemampuan numerasi dan literasi—seperti terangkum dalam gambar di atas.

Terus di mana posisi Kurikulum Merdeka? Coba bayangkan, jika Kurikulum Darurat yang digunakan dalam kondisi penuh keterbatasan saat pandemi mampu menghasilkan capaian belajar yang lebih baik dalam numerasi dan literasi, lantas bagaimana jika Kurikulum Darurat itu disempurnakan dan direkayasa sedemikian rupa persiapannya supaya dapat diterapkan seoptimal mungkin? Bagaimana capaian belajar yang akan dihasilkan? Inilah Kurikulum Merdeka. Hasil penyempurnaan sedemikian rupa dari Kurikulum Darurat.

Nadiem Makarim, melalui Keputusan Mendikbud Ristek Nomor 56/M/2022, segera mengatur pedoman penerapan kurikulum dalam rangka pemulihan pembelajaran pascapandemi. Ingat learning loss perlu dikejar dengan strategi terbaik, dan Kurikulum Merdeka adalah strategi terbaik saat ini.

Kurikulum Merdeka: Jawaban Atas Kritik dan Tantangan Zaman

Banyak kritik dilayangkan pada dunia pendidikan Indonesia. Untuk menyebut nama mislanya Amin Abdullah (2013), pemikir yang sekarang menjadi ketua Komisi Bidang Kebudayaan Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia serta Dewan Pengarah BPIP (Badan Pembinaan Ideologi Pancasila), selalu menggelisahkan dikotomi ilmu yang terjadi dalam sistem kurikulum di Indonesia. Artinya, ilmu agama dan ilmu sains dihadap-hadapkan dalam berbagai bentuk, sehingga dalam kesadaran kita seolah agama dan sains bertentangan.

Kritik lebih kompleks dimunculkan juga oleh Yudi Latif (2020) melalui buku Pendidikan Berkebudyaan: Histori, Konsepsi, dan Aktualisasi Pendidikan Transformatif. Hal utama dalam buku itu menyoroti soal pendidikan budi pekerti dan pendidikan yang tidak boleh meninggalkan akar sejarah dan kebudayaan Indonesia.

Mempelajari Kurikulum Merdeka, bagi saya serupa jawaban nyata atas berbagai kritik-kritik para pemikir dan pemerhati dunia pendidikan di Indonesia. Permasalahan dikotomi ilmu pengetahuan, seolah dijawab oleh karakteristik utama Kurikulum Merdeka sebagaimana tercantum dalam https://kurikulum.kemdikbud.go.id/kurikulum-merdeka/, yaitu:

1. Pembelajaran berbasis projek untuk pengembangan soft skills dan karakter sesuai profil pelajar Pancasila

2. Fokus pada materi esensial sehingga ada waktu cukup untuk pembelajaran yang mendalam bagi kompetensi dasar seperti literasi dan numerasi.

3. Fleksibilitas bagi guru untuk melakukan pembelajaran yang terdiferensiasi sesuai dengan kemampuan peserta didik dan melakukan penyesuaian dengan konteks dan muatan lokal.

Karakteristik ketiga di atas, jika dikaitkan dengan pernyataan Nadiem Makarim yang disampaikan secara virtual (11/2/2022) semakin jelas mengarah pada “penghapusan jurusan, kejuruan atau peminatan.” Meski masih menuai pro-kontra, secara esensial penghapusan itu adalah langkah besar menuju penghapusan dikotomi ilmu pengetahuan.

Sedangkan kritik Yudi Latif, menurut saya kini terjawab dalam Standar Kompetensi Lulusan (SKL) Kurikulum Merdeka, yang tercantum dalam PP No.4 tahun 2022 sebagai perubahan dari Standar Nasional Pendidikan dalam PP No.57 tahun 2021. Singkatnya, perkembangan kurikulum ini begitu menyeluruh dan esensial. Terbukti, SKL Kurikulum Merdeka mencakup delapan kompetensi yang enam di antaranya adalah Profil Pelajar Pancasila dan sisa dua lagi yaitu kompetensi numerasi dan literasi.

Menariknya, Yudi Latif saat bercermin pada Ki Hajar Dewantara menyoroti bahwa pendidikan Indonesia selama ini kurang memperhatikan ranah budi pekerti, sehingga seolah hanya care soal kognisi. Padahal—lanjut Yudi Latif—pendidikan harus berorientasi pada pengembangan budi pekerti agar terjadi perubahan kognitif, afektif dan psikomotor. Nah, melalui Profil Pelajar Pancasila, hal itu dapat terjawab. Lihat saja, enam kompetensi pelajar pancasila meliputi: Beriman-bertakwa-berakhlak mulia, berkebinekaan global, bergotong royong, kreatif, bernalar kritis, dan mandiri.

sumber: https://idsch.id/apa-itu-profil-pelajar-pancasila/

Konsep perumusan bahan ajar juga tidak luput dari inovasi dalam Kurikulum Merdeka. Azas trikon sebagai salah satu filosofi pendidikan Ki Hajar Dewantara, yakni kontinuitas, konvergensi dan kosentris, terlihat implementasinya dalam Kurikulum Merdeka. Aspek kontinuitas (keberlanjutan yang terencana) jelas terlihat dari dirancangnya Kurtilas, Kurikulum Darurat sampai Kurikulum Merdeka. Aspek konvergensi (keterkaitan dengan dunia global) terlihat dari pemanfaatan teknologi digital yang menjadikan kita sebagai global citizenship (warga dunia) dan kompetensi Berkebinekaan Global. Sedangkan kosentris (mempunyai kekhasan sendiri) muncul dalam berbagai hal, seperti munculnya Profil Pelajar Pancasila itu sendiri atau secara sangat detail muncul dalam bahan ajar.

Mislanya, ketika saya coba membuka buku ajar Kurikulum Merdeka pelajaran Pendidilkan Agama Islam (PAI) kelas X, saya menemui hal tak biasa. Yakni kitab tafsir yang dirujuk untuk menjelaskan suatu ayat al-Qur’an adalah kitab Tafsir al-Mishbah karya M. Quraish Shihab. Dahulu, kitab tafsir yang dirujuk untuk menjelaskan sebuah ayat pastilah kitab tafsir populer meski bukan karya orang Indonesia, seperti Ibnu Katsir dan sebagainya. Bagi saya dengan backround keilmuan Filsafat Islam yang konsen mengkaji Tafsir al-Qur’an, tentu hal tersebut sangatlah besar artinya.

Skema Kurikulum Merdeka yang lebih sederhana namun sangat esensial, merupakan modal besar untuk menjawab tantangan zaman di masa depan. Sekolah dan guru penggerak sudah mulai dilatih untuk menciptakan ekosistem pembelajaran yang di sana minat belajar para siswa akan mudah tumbuh. Pelibatan teknologi juga merupakan keniscayaan dalam menciptakan ekosistem pembelajaran tersebut. Kerja sama, sikap kritis, saling menghargai sampai pemecahan masalah dalam pembelajaran berbasis projek, inkuiri dan kooperatif, adalah kebutuhan penting bagi proses menjadi manusia seutuhnya di masa depan. Nah, istilah lain yang populer bagi saya di desa, untuk menjelaskan semua itu adalah “keterampilan abad 21”.

Tahapan Implementasi Kurikulum Merdeka

Nadiem Makarim menyadari, meski Kurikulum Merdeka adalah jawaban atas berbagai hal dalam dunia pendidikan di Indonesia, implementasinya tidak bisa sekaligus. Saat ini saja, sekolah diberikan kebebasan memilih apakah akan menggunakan Kurtilas, Kurikulum Darurat atau Kurikulum Merdeka. Kebijakan ini menurut saya sagatlah bijaksana, meningat kondisi infrastruktur dan kesiapan mental setiap sekolah tidaklah sama. Selain itu yang juga penting adalah, diskursus Kurikulum Merdeka berhasil mengelinding di masyarakat secara luas dan menyulut upaya ingin tahu yang besar.

https://kurikulum.gtk.kemdikbud.go.id/" />
Sumber: https://kurikulum.gtk.kemdikbud.go.id/

Sekolah yang mendaftar Implementasikan Kurikulum Merdeka (IKM) sudah mencapai angka 143.265. Kemungkinan besar tahun 2023 IKM akan serentak diterapkan kepada seluruh satuan pendidikan di Indonesia.

Khusus bagi guru, Kemendikbud Ristek telah menyiapkan aplikasi Merdeka Mengajar di bit.ly/platformmerdekamengajar yang dapat diakses menggunakan akun belajar.id. Beragam kemudahan dan perkembangan dalam dunia pendidikan sudah berada di depan mata, tinggal bagaimana kita menyikapinya.

Guru Optimis: Meredam Keluhan dan Sinis

Terus terang saja, nada-nada sinis seperti “Kurikulum berganti seiring pergantian menteri”, “Habis pandemi bukannya giat belajar malah ribut kurikulum baru!” atau keluhan seperti “Ganti kurikulum pasti guru yang paling ribet”, “Pasti guru harus membuat administrasi yang baru lagi,” dan sebagainya, masih ramai terdengar baik di media atau teman sesama profesi guru.

Tidak bisa dipungkiri hadirnya Kurikulum Merdeka, meski belum diimplementasikan secara menyeluruh, telah menimbulkan beragam respon baik kritik maupun apresiasi. Menurut saya, jika respon itu berupa kritik membangun yang cerdas dan mencerahkan, maka tidak ada salahnya. Namun yang jadi soal, ketika respon yang dominan muncul adalah keluhan dan sinisme tidak berdasar. Apalagi hal itu dilakukan tanpa pemahaman yang baik dan menyeluruh terlebih dahulu perihal Kurikulum Merdeka. Jangan sampai seorang guru terjebak oleh informasi tidak valid sehingga menimbulkan sikap kurang bijaksana atas inovasi baru.

Menurut saya, langkah penting yang harus seorang guru atau kepala sekolah lakukan dalam menyikapi hal baru seperti Kurikulum Merdeka adalah memaknai ulang tugas dan tanggung jawab seorang guru. Jika keluhan dan sinisme yang terus disuarakan maka saya khawatir terdapat kesan bahwa guru tidak mau belajar hal-hal baru—untuk tidak mengatakan malas. Semua paham, tugas seorang guru tidaklah mudah. Namun, jika terkait dengan tekad dan kemauan untuk terbuka dan mau mempelajari hal-hal baru, apalagi demi pendidikan siswa-siswi tercinta kita, tentu tidak ada alasan lagi.

Tugas mulia guru, baik menurut UU No. 14 tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen atau dalam ajaran agama, terlalu agung untuk sekadar tersandung oleh keluhan dan sinisme tak berdasar pada inovasi baru. Mengapa guru? Sebab menurut saya, guru adalah simbol pendidikan itu sendiri. Di belakangnya terdapat tenaga kependidikan, institusi pendidikan, dan segala hal terkait pendidikan. Pemahaman yang baik dan bijak dari para guru pada Kurikulum Merdeka, merupakan senjata ampuh bagi kurikulum tersebut bekerja—bisa jadi secara ajaib karena disertai mukjizat Tuhan.

Referensi

Atropal Asparina, “Belajar Bersama Radio: Inovasi PJJ Berbasis Media Kuno”, dalam A. Fahrina, dkk (ed.). Minda Guru Indonesia: Guru dan Pembelajaran Inovatif di Masa Pandemi Covid-19. Aceh: Syiah Kuala Press University, 2020.

Atropal Asparina, “Efektivitas PJJ Berbasis Radio: Inovasi Guru dari Desa”. Retizen.Republika, 10 Oktober 2021.

Amin Abdullah, Agama, Ilmu dan Budaya: Paradigma Integrasi-Interkoneksi Keilmuan. Pidato Pengukuhan Anggota AIPI, 2013.

Yudi Latif, Pendidikan Berkebudyaan: Histori, Konsepsi, dan Aktualisasi Pendidikan Transformatif. Jakarta: Gramedia Pustaka, 2020.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image