Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Iwan Setiawan

Agar Utang Piutang Tak Jadi Bumerang (2)

Edukasi | Thursday, 15 Sep 2022, 19:41 WIB

Memilih Akad yang Dibenarkan Agama Islam

Orang yang datang meminjam uang tidak hanya untuk mengembangkan bisnisnya, tetapi ada yang digunakan untuk kebutuhannya sehari hari. Perutnya yang sempat tidak diisi beberapa hari bisa kembali “bekerja”, tubuhnya yang tak berdaya, berbaring karena penyakit yang diderita, bisa membeli obat dalam rangka ikhtiarnya. Masihkah tega mencari keuntungan dengan pinjaman yang diberikan kepadanya?. Sangat tidak berprikemanusiaan.

Alih alih membantu dengan bersedekah kepada tetangga atau kerabat, dimana Nabi mengingatkan jangan sampai ada tetangga atau kerabat yang lapar sementara kita kenyang, malah menjadikan kesusahan orang sebagai “komoditas” untuk meraup keuntungan. Jika ada pernyataan, “saya juga butuh, harus dikembalikan lagi” maka jawabannya, ada akadnya yang tanpa harus menyedot dari kesusahan orang, yaitu dengan akad pinjam meminjam.

Akad pinjam meminjam ini adalah akad dimana debitur harus mengembalikannya kepada kreditur sejumlah harta yang senilai, kreditur tidak boleh mensyaratkan harus ada tambahan karena itu termasuk pada riba yang diharamkan. Adapun jika nanti debitur mengembalikannya lebih dari pinjaman atas inisiatif debitur itu sendiri, maka kreditur boleh menerimanya.

Jadi akad pinjam meminjam ini adalah akad tabarru, bukan akad bisnis, sehingga haram hukumnya mengambil keuntungan. Oleh karena itu, ketika sudah menilai dan melihat kondisi calon debitur, kemudian memutuskan untuk meminjamkan apa yang diinginkan oleh calon debitur tersebut, maka disanalah hati kita harus sadar bahwa itu adalah tolong menolong. Namanya tolong menolong maka tak perlu ada imbalan. Bahkan didalam Al Quran surat Al Baqarah ayat 280, tatkala debitur tidak bisa membayar pada waktu yang telah ditentukan karena belum mampu membayar, seorang kreditur tidak boleh mengambil keuntungan dari ketidak berdayaan debitur. Justru Allah memerintahkan untuk memperpanjang temponya sampai ia bisa membayar.

Ketika seorang kreditur memilih langkah yang lebih mulia lagi, yaitu menyedekahkan piutangnya, itu lebih baik dalam pandangan Allah Swt. Mungkin jika dilihat dari kacamata dunia, kreditur itu merugi, secara hitung hitungan, ia telah kehilangan hartanya, yaitu harta yang menjadi piutangnya. Tetapi seorang muslim tentunya tidak hanya memikirkan urusan dunia saja, karena ada kehidupan setelah kematian dimana dinar dan dirham tidak berlaku lagi, yang berlaku adalah kebaikan dan keburukan yang dihasilkan oleh dinar dan dirham itu sendiri.

Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa akad pinjam meminjam didalam Islam adalah akad tabarru, tujuannya untuk menolong, tidak boleh ada unsur komersil. Maka dari itu, penting sekali menggali informasi keadaan debitur, apakah benar benar membutuhkan atau hanya alasan saja, sehingga kita bisa menimbang dan memutuskan jumlah dana yang akan diserahkan. Dana yang diserahkan harus merupakan dana yang betul betul diperuntukan sebagai sedekah, supaya tatkala debitur yang notabene tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan dasarnya tidak membayar akibat kesulitan, kita bisa menyedekahkannya tanpa terganggu “keikhlasan” kita, debitur senang, kita selaku kreditur pun tenang.

Debitur senang karena ia tidak lagi ada beban utang yang harus dibayar. Kreditur tenang selain urusan pahala, dari awal juga uang yang dipinjamkan itu sudah siap untuk disedekahkan. Beda halnya jika uang yang dipinjamkan itu tidak siap disedekahkan, sementara debitur memang tidak mampu membayar, diberi tempo beberapa kali tetap tidak mampu bayar. Walhasil tidak ada jalan lain selain “menyedekahkannya” namun hatinya tidak tenang karena terpaksa oleh keadaan..

Utang Tetap Harus Dibayar, Gunakan Akad Rahn

Memberikan tempo ketika debitur tidak sanggup membayar pada waktunya atau bahkan melakukan pemutihan utang, merupakan langkah terbaik. Akan tetapi jika memang ingin uang yang dipinjamkan kembali, sementara masih ada sedikit keraguan atas kemampuan debitur untuk mengembalikannya, namun disisi lain tahu bahwa debitur itu benar benar butuh. Maka jika kondisinya seperti ini, bisa menggunakan akad rahn atau yang biasa kita kenal adalah gadai.

Gadai itu perjanjian yang muncul karena adanya perjanjian utang piutang. Jadi yang pertama adalah utang piutang dulu antara kreditur dengan debitur, lalu kemudian muncul gadai dengan tujuan untuk melunasi utang debitur dari hasil penjualan barang yang digadaikan oleh debitur ketika debitur tidak bisa membayar dalam waktu yang telah ditentukan.

Dengan menggunakan akad rahn ini, maka ketika debitur tidak mampu membayar, seorang kreditur tinggal menjual barang yang dijaminkan. Jika ada kelebihan dari penjualan tersebut untuk melunasi utangnya, maka itu merupakan hak debitur. Dengan demikian, utang piutang yang dilakukan antara debitur dan kreditur tidak akan menjadi masalah, karena permasalahan dalam utang piutang biasa terjadi akibat adanya pihak yang wanprestasi (ingkar janji).

Membantu Secara Moril

Apabila tidak bisa membantu untuk meminjamkan uang kepada calon debitur, padahal calon debitur itu sedang membutuhkan bantuan supaya kebutuhan primernya bisa terpenuhi. Maka, selain dengan bahasa yang baik sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, kita perlu membantu ia untuk menemukan “bantuan” yang dibutuhkannya.

Jangan sampai tatkala ada orang yang datang untuk meminta bantuan guna memenuhi kebutuhan primernya dan kita tidak bisa membantunya secara finansial, lalu kita diam, tidak peduli bagaimana ia akan mendapatkan bantuan. Padahal, Allah Swt memerintahkan hambanya untuk senantiasa saling tolong menolong, minimal dengan merekomendasikan pada agniya yang lain, atau jika memang tidak ada, komunikasikan bersama tokoh masyarakat dan aparat pemerintahan ditingkat RT/RW dengan sepengetahuan calon debitur.

Kita mempunyai tanggungjawab, perlu merasakan bagaimana musibah yang sedang dihadapi oleh calon debitur. Agama mengajarkan kita untuk tiak diam ketika ada tetangga atau kerabat yang tidak mampu memenuhi kebutuhannya. Jangan sampai kita tidak peduli pada nasibnya, padahal ia lapar, rumahnya akan roboh, anaknya tidak sekolah. Itukah sikap seorang muslim?.

Jika memang kita tidak bisa membantunya secara finansial, masih ada jalan lain, yaitu dengan membawa masalahnya untuk dimusyawarahkan pada tokoh tokoh masyarakat atau RT / RW dengan sepengetahuannya. Bisa saja nanti ada solusi, misalnya semua warga patungan untuk membantunya, atau mungkin ada dana infak masjid yang surplus, bisa digunakan sebagai dana perlindungan jamaahnya, sambil dakwah bahwa Islam itu adalah ajaran yang komprehensif yang mencakup dimensi sosial serta mengembalikan fungsi masjid bukan hanya tempat ibadah, tetapi mempunyai fungsi sosial.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image