Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Supriyadi

Bagaimana Cara Menjual Sayur Hidroponik?

Bisnis | Thursday, 15 Sep 2022, 16:55 WIB
budidaya sayur hidroponik slada keriting (dokpri)

Cerita ini saya tulis bukan bermaksud untuk menggurui para pelaku dunia pertanian hidroponik, khususnya yang berkaitan dengan pasar sayur hidroponik. Tapi lebih bertujuan untuk berbagi pengalaman bagaimana kami ( saya dan petani hidroponik di kecamatan Lawang Malang) mulai belajar menanam hidroponik hingga bisa memasarkan sayur hasil panenan kami.

Dengan harapan cerita pengalaman seperti ini bisa menjadi bahan pertimbangan ketika akan memutuskan untuk menggeluti pertanian hidroponik sebagai pilihan usaha sampingan atau bahkan usaha utama. Agar tidak mudah tergiur dengan cerita sukses para pelaku hidroponik, tanpa mau tahu bagaimana mereka berjuang untuk meraih sukses tersebut.

Sebab usaha budidaya hidroponik itu memiliki tantangan dan kesulitan sendiri. Begitupun dengan pemasaran sayur hidroponik juga mempunyai tingkat kesulitan dan tantangan tersendiri.

Dulu... dulu sekali, sebelum wabah pandemi mengubah segalanya. Lebih tepatnya membuat pasar sayur mati suri. Kami para petani hidroponik di Lawang sudah bisa rutin mensuplai pasar sayur hidroponik di Lawang dan Malang.

Jualan sayur yang kami lakukan pun terbilang lancar. Secara bergantian kami para petani rumahan menjual sayur hasil panenan kami yang waktu panennya memang sudah ditentukan. Sebagai pendatang baru di dunia sayur hidroponik, bisa menjual sayur 10-20kg per minggu bagi kami sudah sangat menyenangkan sekali. Yang penting setiap minggu ada serapan pasar. Terlebih lagi harga sayur nya juga di atas harga sayur konvensional.

Stand sayur hidroponik di CFD (dokpri)

Cara kerja kami dalam berjualan sayur cukup sederhana. Kami sadar bahwa mencari pasar itu susah. Jadi perlu koordinasi bersama petani hidroponik lain untuk mencari solusi pemasaran sayur. Kami para petani hidroponik berkumpul dan berdiskusi mencari cara agar bisa menemukan pasar sayur hidroponik. Pasar yang didapat nantinya diperuntukkan untuk jualan sayur secara bersama - sama.

Setelah sepakat dengan komitmen yang dibuat bersama. Langkah kedua adalah mendata jumlah titik tanam setiap petani. Maklum sebagai petani rumahan, kami hanya memiliki beberapa lobang tanam saja pada instalasi di depan rumah. Sebutan petani rumahan ini menyesuaikan dengan kondisi petani yang hanya bisa menanam sayur di rumah bukan di Green House atau lahan luas.

Kemudian, dari data jumlah titik tanam tersebut kami membuat jadwal tanam secara berkelanjutan agar membentuk sebuah siklus rotasi tanam yang teratur. Merek bibit sayurnya pun dibuat sama. Nutrisi sayur yang dipakai juga sama semua. Tujuannya jika terjadi kendala dalam prose budidaya agar mudah penanganannya.

Selain menetapkan siklus pola tanam, hal terpenting lainnya adalah menetapkan kualitas sayur yang akan dijual ke konsumen. Kriteria kualitas sayur yang sesuai dengan kebutuhan pasar antara lain, warna daunnya hijau segar, rasa tidak pahit, tidak bolting, dan akarnya putih bersih.

Oh ya, jenis sayur yang kami tanam pun hanya fokus pada slada keriting atau andewi. Bukan sayur yang lain. Tujuannya agar mudah mengatur siklus tanam. Dan juga lebih mudah untuk mencari pasar, karena banyak warung yang menu makanannya memakai slada keriting seperti gado – gado, tahu campur, lalapan, kebab, dll.

Waktu itu kami menargetkan kebutuhan pasar sayur sekitar 10kg saja per minggu. Maka jumlah titik tanam yang diperlukan cukup 100 lobang saja. Dengan asumsi 1kg sayur slada berisi 10 titik dengan berat 100gr per titik. Jadi siklus rotasi tanam tiap minggu adalah 100 titik tanam. Artinya setiap minggu harus bisa memanen 10kg. Begitu juga dengan minggu – minggu berikutnya harus bisa kontinyu panen.

Konsumen senang dengan sayur hidroponik (dokpri)

Setiap petani menerima jadwal rotasi tanam dalam selembar kertas. Jadwal itu memuat tanggal semai, tanggal tanam, dan tanggal panen untuk setiap siklus tanam. Jadwal tersebut menjadi pegangan petani selama proses menanam hingga waktu panen dan menjual. Di sisi lain kami pun mulai agresif menawarkan sayur kepada konsumen, tetangga, bakul, kawan kerja, warung, pokoknya siapapun yang kami jumpai pasti kami 'prospek' dengan menawarkan sayur hidroponik.

Dan, ternyata kenyataan tidak seindah harapan. Memasarkan sayur hidroponik sungguh tidak gampang. Tidak mudah meyakinkan orang lain untuk mau membeli sayur hidroponik yang harganya memang diatas harga sayur konvensional. " Wah, kok mahal harganya"

“ Sayurnya ini organik apa tidak? Soalnya saya sudah biasa konsumsi sayur organik” " Ah nggak dulu, saya sudah punya langganan sayur" Begitu antara lain ragam komentar dari masyarakat ketika itu. Tapi, kami tidak putus asa. Kami tetap berusaha memberikan pengertian kepada calon pelanggan bahwa kelebihan sayur hidroponik itu antara lain bebas pestisida, lebih segar, dan lebih kres dibanding sayur biasa. Memberikan edukasi kepada masyarakat tentang keunggulan sayur hidroponik itu sangat penting.

Selalu ada jalan keluar dari setiap kesulitan. Perlahan tapi pasti sudah mulai ada konsumen yang membeli sayur hidroponik kami. Selain konsumen perorangan, juga sudah mulai ada ‘bakulan’ yang membeli sayur panenan kami.

Puncaknya adalah ketika salah seorang kawan yang mempunyai usaha rumah makan membutuhkan pasokan selada keriting 10kg – 20kg per minggu. Kami pun sepakat untuk menjadi pemasok sayur untuk warung teman tersebut sesuai harga yang sudah disepakati.

Sejak saat itu roda pertanian hidroponik rumahan kami mulai berjalan lancar. Harapan dari setiap petani hidroponik adalah sayur yang mereka tanam itu sudah memiliki pembeli yang pasti. Petani menjadi lebih tenang karena pasarnya jelas. Mereka tidak perlu berebut, apalagi saling sikut untuk mendapatkan pembeli.

Edukasi ke masyarakat tentang sayur hidroponik (dokpri)

Dan ketika pandemi melanda dunia, praktis aktifitas menanam dan berjualan sayur hidroponik kami terhenti. Kami tidak bisa lagi menjual sayur karena warungnya juga tutup. Dan tentunya bukan hanya kami yang mengalami hal seperti ini, tapi banyak petani hidroponik lain yang mengalami nasib yang sama.

Kami perlu rehat sejenak. Mengatur nafas. Untuk nanti siap bangkit lagi.

Walaupun sejatinya, kami sendiri tidak benar- benar berhenti berhidroponik. Kami tetap menanam, setidaknya untuk konsumsi keluarga sendiri dan dibagikan ke tetangga.

Dan kini ketika Era New Normal berlaku. Kami mulai bangkit lagi. Kami mulai restart dari titik nol lagi untuk melanjutkan aktifitas menanam hidroponik. Mulai lagi membangun pasar sayur baru. Mencari konsumen baru, juga menghubungi konsumen lama untuk sekedar bertanya apakah mereka masih memerlukan sayur. Termasuk juga mulai menawarkan sayur kepada para pedagang sayur. Setidaknya berharap ketika para pedagang tersebut butuh sayur atau kekurangan sayur, mereka tahu harus menghubungi siapa.

Alhamdulillah, sudah mulai ada lagi pasar sayur yang memerlukan suplai sayuran slada keriting. Kebutuhan per minggu sekitar 70kg. Untuk kebutuhan sebanyak itu kami mengajak petani lain di luar Lawang untuk memenuhi pasar tersebut. Selain slada keriting, juga mulai ada permintaan beberapa jenis sayur yang lain seperti romain, baby romain, iceberg, horenzo,bayam merah dan lain – lain.

Sayuran hidroponik menembus pasar modern (dokpri)

Peluang dan kesempatan seperti ini tidak akan datang dua kali. Jadi kami perlu mengatur kembali manajemen produksi sayur yang baik, agar bisa memenuhi kebutuhan pasar sayur secara kontinyu.

Keberadaan pasar sayur hidroponik begitu penting bagi petani hidroponik. Perlu adanya kesimbangan antara proses produksi sayuran dan juga kebutuhan pasar. Kalau setiap petani hidroponik harus memikirkan sendiri perihal ini tentu akan berat. Akan menjadi lebih ringan bebannya bila permasalahan pasar sayur ini dipikirkan bersama – sama oleh para pelaku hidroponik.

Mencari solusi bersama atas segala permasalahan dalam pemasaran sayuran hidroponik jauh lebih berguna dari pada saling diam tanpa berbuat apa – apa.

Salam sehat untuk semua petani hidroponik Indonesia ..

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image