Tangisan Pilu di Tengah Nyanyian Pejabat
Politik | 2022-09-14 23:22:36Memilukan. Mungkin itu kata yang tepat saat melihat pemandangan kontras di kantor DPR RI hari itu, Selasa 6 September 2022.
Demo vs Nyanyi
Kebijakan yang menyesakkan rakyat banyak tentu menimbulkan penolakan. Maka, Selasa tanggal 6 September 2022 kemarin, para buruh di 33 provinsi Indonesia mengadakan demonstrasi dengan tuntutan menolak kenaikan harga BBM, menolak omnibus law juga menuntut kenaikan upah tahun 2023 sebesar 10 hingga 13 persen. (Republika.co.id, 16/9/2022)
Sementara di luar gedung DPR RI rakyat berteriak pilu, menangis sedih, membayangkan beban dan sengsara yang akan dihadapi, pemandangan aneh terjadi di dalam gedung. Di gedung DPR yang katanya berisi para wakil rakyat itu sedang ada rapat paripurna. Tapi, yang terekam kamera justru mereka sedang berdiri, bertepuk tangan sambil menyanyi selamat ulang tahun bersama untuk sang ketua DPR RI.
Sungguh pilu dan malu. Pilu karena merasa jeritan, teriakan harapan rakyat tak sampai pada ibu bapak yang mengaku wakil rakyat. Malu karena ini bukanlah sikap yang baik untuk diperlihatkan, diteladani rakyat oleh para pejabat.
Beda Posisi Beda Aksi
Melihat fenomena tersebut, rakyat lalu mencari kemana perginya mereka yang dulu menangis saat BBM naik. Mereka yang mengaku meraba kesusahan rakyat. Mereka yang katanya berempati akan beban rakyat.
Wah, ternyata mereka kinilah yang duduk manis di kursi pejabat. Mereka yang menyebut subsidi rakyat sebagai beban. Mereka juga yang membuat kebijakan menaikan harga BBM tak peduli kondisi rakyatnya.
Inilah wajah busuk pencitraan yang ada dalam demokrasi. Bermanis wajah demi mendulang simpati dan suara. Jika sudah duduk di kursi panas pejabat, seolah amnesia atas semua janjinya. Kedoknya lepas, terlihat warna sebenarnya, menjaga kepentingan diri dan kelompoknya. Tak peduli rakyat menangis dan sengsara karena kebijakannya.
Mencari Biang Keladi
Kalau mau jujur, demokrasilah yang jadi biang keladi sikap memalukan para pejabat kini. Karena demokrasi, hubungan antara pemerintah dengan rakyat menjadi hubungan antara penjual dan pembeli. Kacamata bisnis yang dipakai. Standar untung rugi jadi landasan. Hingga keluarlah kata-kata subsidi beban APBN, pensiunan beban negara, dan lainnya.
Karena kontestasi demokrasi mengeluarkan dana yang sangat banyak, maka hubungan antara pejabat dan para kapital adalah simbiosis mutualisme. Harus saling menguntungkan. Pejabat butuh dana untuk kontesnya dan mengamankan jabatannya. Sementara kapital butuh kebijakan yang melancarkan aksinya meraup keuntungan sebesar-besarnya. Politik transaksional jadinya. Wajar jika empati pada rakyat tak lagi terlihat.
Karena demokrasi lahir dari paham menjauhkan agama dari kehidupan. Maka, lumrah jika para pemangku jabatan tak ingat hisab. Wajar jika mereka tak takut akan beratnya hari pertanggungjawaban.
Beda dengan Islam
Lain demokrasi, lain juga islam. Islam juga sistem kehidupan. Islam memiliki aturan yang khas tentang pemerintahan, termasuk sikap penguasanya. Allah turunkan Nabi Muhammad saw sebagai teladan utama. Maka, sebagai muslim, sudah selayaknya kita meneladani beliau.
Dalam Islam, kesederhanaan kehidupan penguasa yang dijunjung. Tak boleh ada dinding pemisah antara rakyat dan penguasa. Penguasa justru harus mendahulukan kepentingan rakyatnya. Sebagaimana yang dilakukan Umar bin Khattab.
Umar memakai pakaian bertambal yang sulit membedakannya secara fisik dengan gaya hidup masyarakat umum yang dipimpinnya.
Beliau pun pantang menikmati kelezatan makanan jika kebanyakan rakyatnya belum merasakannya. Pada suatu hari, Umar menerima bingkisan makanan dari pembesarnya di daerah. Kepada utusan itu, Umar menanyakan, "Apa ini?"
Makanan ini biasa dibikin oleh penduduk Azerbaijan," ujar utusan itu, "dan sengaja dikirim untuk Anda dari 'Atabah ibn Farqad (gubernur Azerbaijan)."
Umar mencicipinya dan rasanya enak sekali. Beliau bertanya lagi kepada utusan tersebut, "Apakah seluruh kaum Muslim di sana menikmati makanan seperti ini?"
"Tidak, makanan ini hanya untuk golongan tertentu," jawab utusan itu.
Umar menutup kembali wadah makanan itu dengan rapi, kemudian bertanya pada utusan, "Di mana untamu? Bawalah kembali kiriman ini serta sampaikan pesan Umar kepadanya, 'Takutlah kepada Allah dan kenyangkanlah kaum Muslim terlebih dahulu dengan makanan yang biasanya kamu makan'."
Iman Islam
Masyaallah, inilah pemimpin yang lahir dari rahim Islam. Iman yang menancap kuat jadi motivasi dan pegangan dalam beraktivitas, memutuskan kebijakan. Walaau tubuh jadi lebih memprihatinkan setelah menjabat, Umar lebih rela begitu daripada harus menutup mata atas keadaan rakyatnya.
Umar rela mengurangi membatasi makanannya.Umar rela mengerahkan pikirannya untuk umat. Umar rela kehilangan waktu istirahatnya untuk blusukan di tengah rakyat. Baginya jabatan adalah ujian. Ia sadar tanggung jawabnya besar dan berat. Maka, wajar jika memenuhi kebutuhan rakyat yang jadi prioritasnya.
Tidakkah kita rindu akan pemimpin seperti Umar?
Wallahua'lam bish shawab.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.