Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Fatimah Azzahra

Negeri Ramah Koruptor

Politik | Wednesday, 14 Sep 2022, 21:32 WIB

"Di negeri yang penuh muslihat, korupsi seolah jadi perkara lumrah. Perburuan menjadi paling kaya, menjadi hobi para Abdi negara." - Najwa Shihab

Pahit memang, namun begitulah kenyataannya. Korupsi seolah jadi hal yang lumrah kini. Rahasia umum yang sudah diketahui masyarakat negeri.

Bebas Bersyarat

Dilansir dari laman republika.co.id (7/9/2022), beberapa terpidana korupsi serempak bebas bersyarat. Diantara mereka ada Ratu Atut yang sebelumnya terbukti melakukan korupsi dalam pengadaan alat kesehatan rumah sakit rujukan di Provinsi Banten. Selain itu, Ratu Atut juga terbukti memeras anak buahnya hingga Rp 500 juta untuk biaya istighatsah (pengajian).

Tak hanya Ratu Atut, mantan Jaksa, Pinangki Mirna Malasari yang terbukti terlibat kasus suap dan gratifikasi dalam upaya membebaskan buronan korupsi Djoko Sugiarto Tjandra. Di pengadilan tingkat pertama di PN Tipikor, Pinangki dinyatakan terbukti dan bersalah menerima uang senilai 500 ribu dolar AS atau setara Rp 7,5 miliar dari Djoko Tjandra saat masih menjadi buron.

Ikut meramaikan fenomena bebas bersyarat, di Bandung, sejumlah narapidana kasus korupsi yakni, mantan hakim Mahkamah Konstitusi Patrialis Akbar, mantan Menteri Agama Suryadharma Ali dan mantan Gubernur Jambi Zumi Zola juga bebas bersyarat dari Lapas Sukamiskin. Selain itu, mantan Bupati Cianjur Irvan Rivano pun bebas bersyarat.

Hukuman bertahun di penjara berubah jadi bebas bersyarat bagi para tikus berdasi. Sungguh wajar jika publik mempertanyakan dimana letak keadilan, jika pada rakyat hukum dijatuhkan tanpa ampun, sementara koruptor dapat diskon hukuman disana sini.

Nihil Efek Jera

Remisi, kebijakan bebas bersyarat, ditambah persyaratan pejabat yang boleh mantan napi koruptor membuat masyarakat sepakat bahwa tidak ada efek jera bagi para tikus berdasi. Hukuman diringankan, boleh kembali mencalonkan diri menjadi bahkan tanpa SKCK sebagaimana susahnya rakyat membuatnya untuk melamar kerja.

Yang ada justru terlihat bahwa pemerintah sengaja memelihara para penjahat ini. Memelihara sistem yang meniscayakan korupsi, juga memelihara manusia yang gemar melakukan korupsi, walau rakyat dan negaranya rugi.

Wajar saja jika hasilnya angka korupsi dan para koruptor di negeri ini bukannya berkurang malah semakin bertambah. Karena mereka merasa aman dengan sistem, aturan, hukum yang ada.

Takutlah Penghisaban

Hukuman di dunia boleh jadi meringankan, bahkan tidak menjerat para tikus berdasi. Tapi, bagi muslim, kita yakini akan ada hari penghisaban dengan seadil-adilnya hukum nanti. Hari dimana mulut yang dipakai di dunia untuk bersilat lidah, berkelit dengan seribu alasan, akan dikunci. Yang berbicara adalah tangan, mata, kaki, juga kulit diri.

Takkan ada lagi dusta yang terlontar. Semua murni apa adanya. Akhirnya pun akan manusia rasakan sendiri. Apabila Allah ridai kita, insyaallah kita akan berada dalam surga. Tapi, jika ada keharaman, maksiat pada Allah, maka siap-siaplah dijilat api neraka. Yang panasnya jauh lebih panas dari panas api kompor kita di dunia.

Rasa takut inilah yang seharusnya dipelihara. Sehingga akan membentengi manusia dari maksiat kepada Allah, termasuk melakukan tindakan korupsi. Sungguh takkan sanggup kita masuk neraka barang sebentar saja. Paman Rasulullah saw yang mendapat hukuman paling ringan di neraka saja menderita. Hanya memakai terompah, tapi itu membuat kepalanya mendidih. Masyallah.

Allah berfirman dalam qur'an surat Al Mulk ayat 12 yang artinya,"Sesungguhnya orang-orang yang takut kepada Tuhannya Yang tidak nampak oleh mereka, mereka akan memperoleh ampunan dan pahala yang besar.”

Di dalam hadits Qudsi Allah SWT berfirman, “Demi kemulian-Ku, Aku tidak akan menghimpun dua rasa takut dan dua rasa aman pada diri seorang hamba. Jika ia takut kepada-Ku di dunia, maka Aku akan memberikannya rasa aman di hari kiamat. Jika ia merasa aman dari-Ku di dunia, maka Aku akan memberikan rasa takut kepadanya di hari kiamat.” (HR. Ibnu Hibban).

Tegas dan Berefek Jera

Islam tak hanya menyolusi lewat peran akidah, tapi juga syariah. Islam adalah sistem kehidupan terlengkap dari agama apapun yang ada. Salah satunya Islam membahas tentang sistem sanksi dan peradilan.

Dalam Islam, semuanya dilandasi oleh akidah, keimanan. Maka, sistem sanksi dan peradilan juga dijalankan dengan penuh keimanan. Jangan sampai dzalim menghukum yang tidak bersalah. Jangan sampai lalai mengurusi urusan rakyat.

Untuk urusan harta pejabat, Islam mengajarkan menghitung harta sebelum dan setelah menjabat. Negara akan mengaudit pertambahan harta yang ada bagi pejabat ini syar'i atau tidak. Sikap sederhana pada diri pejabatlah yang dicontohkan oleh Rasulullah juga para khulafaur rasyidin.

Salah satunya kisah Umar bin khattab, Khuzaymah ibn Tsabit berkata, "Jika Umar mengangkat seorang pejabat, ia akan menuliskan untuknya perjanjian dan akan mensyaratkan kepada pejabat itu untuk: tidak mengendarai kuda (yang pada waktu itu menjadi kendaraan mewah); tidak memakan makanan yang berkualitas tinggi; tidak memakai baju yang lembut dan empuk; dan tidak pula menutup rumahnya bagi orang-orang yang membutuhkan dirinya. Jika itu dilakukan, ia telah bebas dari sanksi."

Tak hanya menjadi teladan dalam kesederhanaan, hukuman yang diberikan pun bersifat tegas. Abdurrahman al-Maliki dalam Nizham al 'Uqubat menyatakan bahwa korupsi dapat dikenai hukum ta'zir 6 bulan hingga 5 tahun. Apabila jumlah yang dikorupsi dapat membahayakan ekonomi negara, maka koruptor tersebut dapat dijatuhi hukuman mati.

Terdengar sadis tapi inilah hukuman yang akan memberikan efek jera. Siapa yang berani korupsi jika hukumannya bisa jadi hukuman mati?

Mari benahi diri dengan memupuk iman juga takwa. Benahi masyarakat dengan saling amar makruf nahi munkar. Juga benahi negara dengan mendorongnya mengambil islam sebagai sistem kehidupan.

Wallahua'lam bish shawab.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image