Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ade Sudaryat

Alangkah Lucunya Ibadah Kita, Egois dalam Berdakwah dan Beramal saleh

Agama | 2021-11-29 21:27:34

Sebenarnya Pipit tak menghendaki ayahnya, Haji Rahmat, menghadiri acara yang akan ia resmikan bersama dua rekannya, Muluk dan Syamsul. Sambil berjalan ke tempat tujuan, ayahnya mengajak Pak Makbul (ayahnya Muluk), dan Haji Sarbini (calon mertua Muluk) ikut serta menghadiri acara yang digagas anak-anak mereka.

Di perjalanan, selain diselingi dengan gurauan, mereka pun merasa bangga atas kegiatan dan pekerjaan anak-anaknya. Obrolan mereka terhenti ketika mereka mulai berjalan memasuki gang-gang kecil yang kumuh dan kotor. Puing-puing bangunan berserakan. Mereka merasa heran, terlebih-lebih ketika akan memasuki lokasi acara banyak anak-anak kumal yang menatapnya curiga.

Mata mereka terbelalak, ketika acara peresmian yang oleh anaknya disebut proyek pengembangan sumber daya manusia tersebut jauh dari bayangannya. Mereka bertiga semakin bengong dan menggeleng-gelengkan kepala tatkala mengetahui pekerjaan anak-anak mereka adalah pengajar anak-anak yang berprofesi sebagai pencopet. Bayangan anak-anaknya bekerja di gedung mewah pudar sudah. Perasaan Haji Rahmat dan Haji Sarbini lebih ketir lagi ketika dalam acara tersebut melihat Jarot, bos anak-anak pencopet.

Pak Makbul yang paling merasakan kesedihan. Ia membayangkan anaknya memakan harta haram, menjadi pengelola uang hasil dari pencopetan yang dilakukan anak asuhnya. Sepulang dari acara peresmian proyek tersebut, siang malam Pak Makbul dan Haji Rahmat mempebanyak zikir di masjid, istighfar memohon ampun kepada Allah atas kekeliruan yang dilakukan anak-anaknya. Mereka tak mengerti dengan perilaku anak-anaknya yang rela menjadi pendidik bagi para pencopet. Mengapa mereka tidak mengajar di kalangan kaum elit, bukankah mereka itu sarjana?

Awalnya proyek tersebut berasal dari gagasan Muluk. Niat baiknya timbul setelah ia berkenalan dengan Komet, salah seorang pencopet cilik yang lihai. Setelah berdialog panjang tentang dunia copet dan niat baiknya, Komet merasa tertarik. Kemudian ia memperkenalkan Muluk kepada bosnya, Jarot.

Setelah terjadi dialog dan perdebatan alot disepakati bersama untuk melakukan sistem manajemen terhadap penghasilan para pencopet. Sepuluh persen dari setiap hasil mencopet akan diberikan kepada Muluk untuk dikelola guna kepentingan masa depan mereka.

Muluk yang bergelar Sarjana Manajemen sengaja menawarkan diri menjadi manajer mereka. Tujuannya sangat mulia, mengelola keuangan yang diperoleh para pencopet. Ia merancang beberapa program pemberdayaan bagi mereka. Uang yang terkumpul, nantinya akan dipergunakan untuk membuka sebuah usaha agar mereka berhenti dari pekerjaannya sebagai pencopet. Walaupun pada awalnya ia mendapat tantangan dari beberapa orang anak, hubungan Muluk dengan para pencopet cilik tersebut lama-kelamaan bertambah dekat.

Dalam melaksanakan tugasnya sebagai manajer, ia tidak sendirian. Ia mengajak dua orang temannya, Pipit (Sarjana Pendidikan Agama Islam), dan Syamsul (Sarjana Pendidikan Kewarganegaraan) untuk menjadi pendidik mata pelajaran agama dan pendidikan kewarganegaraan.

Singkat cerita, anak-anak pencopet tersebut menjadi orang yang berpendidikan, baik secara sosial maupun religius. Lebih dari itu, ada beberapa anak yang berhenti menjadi pencopet dan beralih profesi menjadi pedagang asongan. Sebagian lagi, masih tetap setia dengan profesinya sebagai pencopet.

Namun sayang, jerih payah Muluk dan teman-temannya tersebut kurang mendapat sambutan hangat, jangankan dari orang lain, keluarga mereka pun tak mendukungnya. Muluk dan kawan-kawan dianggap melindungi perbuatan jahat mereka, ikut memakan harta haram. Padahal tujuan mereka sangat mulia, mendidik mereka dan ingin menyadarkan mereka secara bertahap. Ingin mengangkat mereka dari kubangan dosa, membimbing dan mendidik mereka berjalan menuju sorga.

Lebih tak dihargai lagi, ketika anak-anak asuh mereka yang sudah sadar dikejar-kejar dan ditangkap Polisi Pamong Praja. Mereka dituduh menggangu ketertiban umum karena berjualan di tempat-tempat yang terlarang untuk berjualan.

Muluk yang dipaksa ayahnya untuk mengikuti kursus mengemudi agar bisa bekerja menjadi sopir dan bekerja di Arab Saudi, segera turun dari mobilnya. Ia segera menyelematkan anak-anak asuhnya dari kejaran dan tangkapan Polisi Pamong Praja. Ia rela ditangkap Polisi Pamong Praja karena dianggap sebagai bos mereka dengan tuduhan melawan petugas dan menghalang-halangi pekerjaan penegak hukum.

Itulah cerita singkat dari film Alangkah Lucunya Negeri Ini. Film komedi bernada satire ini dirilis sekitar tahun 2010. Beberapa bintang film kawakan menjadi pemeran dalam film ini, diantaranya Deddy Mizwar (Pak Makbul), Jaja Mihardja (Haji Sarbini), Slamet Rahardjo (Haji Rachmat), dan Teo Pakusadewo (Jarot). Pemain lainnya adalah Reza Rahadian (Muluk, anak Pak Makbul), Sonia (Rahma, Putri Haji Sarbini), dan Ratu Tika Bravani (Pipit, putri Haji Rahmat), serta beberapa pemain lainnya.

Film ini merupakan satire (sindiran ) terhadap realita kehidupan kita, terutama dalam bidang pendidikan dan dakwah. Dalam dunia pendidikan kita masih sering terjadi ketimpangan. Orang kaya dan pintar akan terus bertahan dengan kekayaan dan kepintarannya, karena mereka bisa berpendidikan setinggi mungkin meskipun biayanya mahal. Sementara orang miskin dan bodoh, akan tetap dalam kemiskinan dan kebodohannya, karena mereka tak mampu mengeluarkan biaya yang begitu mahal untuk menebus pendidikan. Orang miskin dilarang berpendidikan. Kalaupun ada dana pendidikan untuk kalangan keluarga miskin, diakui atau tidak, selain informasinya yang terbatas, birokrasinya juga masih terlalu ribet.

Demikian pula halnya dengan ketaatan kita dalam beribadah, kebanyakan dari kita masih egois dengan kesalehan, yang penting diri sendiri dan keluarga menjadi saleh, tak mau memperhatikan orang lain. Kebanyakan dari kita lebih senang memperkaya diri dengan kesalehan ritual, seraya memiskinkan diri dari kesalehan sosial.

Orang-orang kaya lebih senang melaksanakan umrah berkali-kali dalam setahun, kemudian disambung dengan melaksanakan ibadah haji berkali-kali pula, seraya membiarkan tetangga dan saudaranya hidup dalam kubangan kebodohan dan kemiskinan. Padahal, bukti nyata dari ketaatan kita terhadap ajaran agama diwujudkan dalam kesalehan sosial. Membebaskan tetangga dan saudara kita dari jeratan kebodohan, kelaparan, dan kemiskinan merupakan wujud nyata dari ketaatan kita terhadap ajaran agama Islam (Q. S. Al- Maun : 1- 7).

Dalam bidang dakwah pun tak jauh beda. Sampai hari ini, kebanyakan dakwah yang kita lakukan adalah mengajak meningkatkan kesalehan kepada orang-orang yang sebenarnya secara lahiriyah sudah saleh. Kita sering mengajak salat kepada orang yang sudah mampu melaksanakan ibadah salat, mengajak berperilaku baik kepada orang-orang yang perilakunya tidak terlalu jelek.

Kita membenci orang-orang yang tidak taat beragama, berakhlak jelek, tapi dakwah kita tak pernah menyentuh kehidupan mereka. Kita membiarkan mereka tetap berkubang dalam pembangkangan terhadap ajaran agama dan kebejadan moral.

Kita, para da’i, dan para ustadz lebih menyukai dakwah di kalangan kaum elit daripada melaksanakan dakwah di kalangan kaum alit. Tak sedikit para da’i yang sering memajang aktifitas dakwahnya di media sosial dengan berbagai gaya ceramahnya yang dilaksanakan di tempat-tempat mewah. Tak lupa pula mereka memajang berbagai gaya hidupnya. Model baju, kendaraan, makanan, minuman serta berbagai aksesoris keelitan lainnya ikut menghiasi akun media sosialnya. Tampilan-tampilan elit ini dilakukan dengan kemasan demi penampilan dan wibawa dakwah dan untuk lebih menarik kaum elit menjadi follower dakwah mereka.

Kita, para ustadz, dan para da’i sedikit melupakan, ada objek dakwah lain yang juga harus kita sentuh, yakni kaum alit yang hidupnya terpinggirkan. Mereka yang hidup di gang-gang sempit, di tempat-tempat kumuh, di kolong-kolong jembatan, dan di tempat kotor lainnya. Sampai saat ini, masih jarang media sosial milik para da’i atau para ustadz kondang yang memajang kegiatan dakwahnya di kalangan kaum alit. Masih jarang terdengar siaran langsung melalui streaming youtube atau instagram, dakwah para da’i atau ustadz kondang yang dilakukan di tempat-tempat kumuh yang dihuni kaum alit.

Mendidik dan memberdayakan kaum alit merupakan sunnah dakwah Rasulullah saw. Dakwah pertama yang Rasulullah saw lakukan setelah dilantik sebagai Nabi dan Rasul adalah mengajak kaum alit, kaum budak, diantaranya Bilal bin Raba’ah untuk taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Sunnah dakwah Rasulullah saw tersebut jarang kita lakukan. Padahal dalam ceramah-ceramah para ustadz dan para da’i, kita sering mendengar ajakan untuk mengikuti Allah dan sunnah Rasul-Nya.

Bisa jadi, kaum alit yang hidup di tempat-tempat kumuh dengan aqidah dan akhlak yang kumuh disebabkan kebodohan dan ketidaktahuan mereka. Tak ada orang yang mau menyentuh kehidupan mereka. Akhirnya mereka memutuskan diri untuk tetap berkubang dalam kekumuhan hidup tanpa pedoman agama dan akhlak baik. Mereka tak lagi memperhatikan halal dan haramnya harta yang mereka dapat, yang penting mereka tak kelaparan.

Bisa jadi ketaatan terhadap ajaran agama, mereka anggap sebagai persoalan lain. Mereka menganggap orang yang taat beribadah dan yang melakukan maksiat sama saja. Tak ada nilai lebihnya. Atau bisa jadi, mereka beranggapan pengajian dan shalat di masjid itu hanya untuk orang-orang elit saja, sebab para ustadz di televisi dan di media sosial pun selalu memperlihatkan keelitan pengajian yang mereka lakukan serta gaya hidup mereka yang super wah.

Sungguh merupakan perbuatan terpuji dan berpahala besar jika kita, para da’i, dan para ustadz mampu mengangkat derajat kehidupan kaum alit menjadi orang-orang mulia dan terhormat. Terlalu muluk jika kita bermimpi menjadikan mereka sebagai kaum elit di dunia, namun bukan hal yang mustahil jika kita tulus melaksanakan dakwah kepada mereka, kita dapat mengantarkan mereka menjadi kaum elit di akhirat, menjadi penghuni sorga-Nya.

Jika mereka menjadi kaum elit di akhirat, orang yang mengantarkannya, kita, para da’i, atau para ustadz pun akan ikut serta bersama mereka. Barangsiapa yang menunjuki kepada kebaikan maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya (H. R. Muslim, Shahih Muslim, hadits nomor 1893).

Ironis sekali, jika kita hanya mampu mencerca dan membenci kehidupan orang-orang yang berkubang dalam kekumuhan akidah dan akhlak, seraya kita tak menyapa, tak mendidik mereka dengan sentuhan dakwah yang penuh hikmah dan nasihat yang baik.

Ilustrasi :Poster Film Alangkah Lucunya Negeri Ini. (Sumber Gambar : id.wikipedia.org)

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image