Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ade Sudaryat

Karakteristik Generasi Ibrahimiyah

Agama | Tuesday, 05 Jul 2022, 07:44 WIB

Tidak berarti menafikan para nabi yang lainnya, jika kita menelusuri ayat-ayat Al Qur’an terdapat dua nabi yang diperintahkan Allah untuk dijadikan uswah ((teladan). Kedua nabi tersebut adalah Nabi Muhammad saw dan Nabi Ibrahim a. s. Dalam Al Qur’an kalimat uswah hanya disebutkan tiga kali, yakni dalam surat Al Ahzab : 21 dan surat Al Mumtahanah : 4 dan 6 (Muhammad Fuad Abdul Baqy, Al Mu’jam al Mufahras li al fadhil Qur’an, hal. 43)

Dalam surat Al Ahzab : 21 Allah memerintahkan kepada kita untuk mejadikan Nabi Muhammad, Rasulullah saw sebagai uswah (teladan), sedangkan dalam surat Al Mumtahanah : 4 dan 6 Allah memerintahkan kepada kita untuk menjadikan pula Nabi Ibrahim a.s sebagai uswah.

Berkenaan dengan menjadikan kedua Nabi tersebut sebagai uswah, Imam Al Qurthubi, Tafsir Al Qurthuby/Al Jami’u li Ahkamil Qur’an, Juz XV ; 109 menyebutkan hal yang harus dijadikan uswah dari Rasulullah saw dan Nabi Ibrahim a.s. adalah dalam hal urusan agama baik aqidah, syari’ah, maupun akhlak. Sedangkan dalam hal urusan duniawi seperti jenis pakaian yang dikenakan, bahan makanan, dan hal yang bersifat dunyawiyah lainnya hukumnya istishab, diperbolehkan atau tidak wajib hukumnya.

Berkenaan dengan bulan Dzulhijjah sebagai bulan haji dan idul qurban yang latar belakangnya tak bisa lepas dari perjalanan dakwah Nabi Ibrahim a.s., tulisan ini akan menguraikan karakteristik sikap dan perilaku Nabi Ibrahim a.s. dalam melaksanakan tugas kenabiannya.

Setidaknya terdapat enam karakteristik sikap dan perilaku Nabi Ibrahim a.s. yang harus kita implementasikan dalam berbagai aspek kehidupan pada saat ini. Pertama, senantiasa kritis dalam mencari dan menerima kebenaran. Surat Al An’am ayat 74-79 menggambarkan pencarian kebenaran yang dilakukan Nabi Ibrahim a.s, terutama pencarian kebenaran Tuhan yang harus ia sembah.

Ketika melihat ayahnya, Azar beserta para pengikutnya menyembah berhala-berhala yang mereka anggap sebagai Tuhan, ia merasa gundah gulana dan berpikir pantaskah berhala-berhala yang tak berdaya ini dijadikan sesembahan? Kegundahan ini kemudian ia sampaikan kepada ayahnya, “Sesungguhnya aku melihat engkau dan kaummu berada dalam kesesatan yang nyata” (Q. S. Al An’am : 74).

Hatinya terus bergejolak mencari keyakinan akan Tuhan yang harus ia sembah. Ketika malam tiba dengan langit gelap yang dihiasi bintang gemintang, ia menyangka mungkin inilah tuhan yang harus disembah. Demikian pula ketika melihat sinar bulan purnama bersinar terang dan matahari terbit di pagi hari, ia menyangkanya sebagai tuhan yang harus disembah. Namun tatkala semuanya hilang, ia berkata, “Aku tidak suka kepada (tuhan ) yang hilang/terbenam.” (Q. S. Al An’am : 76).

Perjalanan mencari Tuhan yang harus disembahnya membuahkan hasil sampai ia mendapatkan wahyu berupa keyakinan akan Allah, Pencipta Alam Raya beserta seluruh isinya. ”Sesungguhnya aku menghadapkan wajahku (hanya) kepada Zat Yang Menciptakan langit dan bumi dengan (mengikuti) agama yang lurus dan aku bukanlah termasuk orang-orang musyrik” (Q. S. Al An’am : 79).

Kedua, memiliki ghirah dan bangga sebagai seorang muslim. Kemanapun Nabi Ibrahim a.s. pergi, ia selalu memperlihatkan dan mendakwahkan tentang agama tauhid. Ia merasa bangga sebagai seorang muslim yang telah meyakini akan Allah, Tuhan yang harus ia sembah.

Ia terus mengajak orang-orang yang ditemuinya untuk menjadi seorang muslim. Banyak dari orang-orang yang diajaknya menjadi muslim, namun tak sedikit pula yang menolaknya. Kepada orang-orang yang menolak ajakannya, ia berkata, “Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah” (Q. S. Al Mumtahanah : 4 ).

Ketiga, memiliki wawasan ilmu dan prestasi. Dalam bidang apapun penguasaan terhadap ilmu disertai prestasi yang unggul menjadi modal utama meraih keberhasilan dalam melaksanakan suatu tugas. Dalam melaksanakan tugas kenabiannya, Nabi Ibrahim a.s, dibekali Allah dengan wawasan keilmuan dan prestasi yang unggul, terlebih-lebih wawasan keilmuan dan prestasinya melebihi wawasan keilmuan dan prestasi yang dimiliki kaumnya.

“Dan ingatlah hamba-hamba Kami : Ibrahim, Ishaq, dan Ya’kub yang mempunyai kekuatan-kekuatan besar dan ilmu-ilmu (yang tinggi)” (Q. S. Shaad : 45 ).

Keempat, berani menghadapi risiko. Nabi Ibrahim a.s. berani mengambil risiko dalam menyampaikan ajaran yang Allah swt wahyukan. Meskipun bahasa dan cara berdakwah yang ia lakukan telah sesantun mungkin, tetap saja banyak orang yang membencinya. Karenanya, ia siap dibenci siapapun dalam menyampaikan kebenaran, dan siap menanggung risikonya seberat apapun.

Tidaklah mengherankan jika ia pasrah ketika kaumnya melemparkannya ke dalam api unggun yang siap membakar dirinya. Ketika ia sudah berada dalam kobaran api yang terus membesar, ia hanya pasrah kepada Allah seraya meyakini, mati dan hidupnya berada dalam genggaman kekuasaan-Nya.

Buah dari kepasrahannya, Allah tak membiarkannya, ia memerintahkan kepada api agar menjadi dingin ketika melalap tubuh Nabi Ibrahim a.s. Akhirnya ia pun selamat dari lalapan si jago merah.

“Mereka berkata, ‘Bakarlah dia (Ibrahim) dan bantulah tuhan-tuhan kamu jika kamu benar-benar hendak berbuat.’ Kami (Allah) berfirman, ‘Wahai api, jadilah dingin dan keselamatan bagi Ibrahim!’ ” ( Q. S. Al Anbiya : 68 - 69)

Kelima, memiliki akhlak yang mulia. Akhlak mulia merupakan hiasan utama kehidupan manusia. Tanpa kemuliaan akhlak, manusia akan berperilaku lebih buas daripada binatang buas sekalipun. Karenanya, setiap nabi yang Allah utus kepada umatnya sudah pasti memiliki kemuliaan akhlak, termasuk Nabi Ibrahim a.s.

Salah satu implementasi dari kemuliaan akhlak adalah kesiapan diri ketika mendapatkan perintah. Seberat apapun perintah yang harus dilaksanakan, seseorang yang berakhlak mulia akan melaksanakannya.

Akhlak mulia seperti inilah yang dimiliki Nabi Ibrahim a.s. beserta keluarganya. Tanpa berburuk sangka dan yakin akan perintah Allah, ia siap melaksanakan perintah Allah yang berat, yakni menyembelih putra kesayangannya, Ismail. Demikian pula, Ismail dan ibunya, Siti Hajar begitu pasrah dan yakin akan perintah yang Allah berikan kepada mereka.

Kemuliaan akhlak dan keteguhan mereka dalam melaksanakan perintah Allah ini membuahkan hasil membahagiakan, ketika Ismail sudah dibaringkan dan siap disembelih, Allah menggantinya dengan seekor kambing. Peristiwa ini merupakan cikal bakal ibadah qurban yang saat ini biasa kita lakukan setiap tahun.

Keenam, sanggup dan rela berkorban. Demi dakwah dan melaksanakan perintah Allah serta kemajuan umat, Nabi Ibrahim a.s. siap dan rela mengorbankan apapun yang ia miliki. Jangankan harta benda, jiwa, raga, dan keluarga pun ia siap korbankan demi tegaknya kalimat Allah.

Seperti sudah disebutkan pada awal tulisan Allah telah memerintahkan kepada kita untuk menjadikan Nabi Ibrahim a.s. sebagai uswah. Karenanya, sudah seharusnya kita menjadi generasi ibrahimiyah, generasi yang memiliki karakter seperti yang dimiliki Nabi Ibrahim a.s.

Dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, suatu negara akan menjadi negara yang maju, kokoh, dan berwibawa di hadapan bangsa lain manakala dikomandani seorang pemimpin yang berkarakter seperti Nabi Ibrahim a.s. Sebaliknya, suuatu negara akan mundur menuju kehancuran manakala pemimpin dan rakyatnya masih senang bersikaf egois, enggan berkorban, senang mendahulukan kepentingan sendiri seraya melupakan kepentingan rakyat.

Kemajuan dan kemuliaan Islam yang rahmatan lil ‘alamin akan benar-benar terwujud dan dirasakan semua makhluk manakala para pemeluknya berakhlak mulia seperti Nabi Ibrahim a.s. Keimanan yang teguh benar-benar diimplementasikan dalam jejak dan perilaku kehidupan keseharian; siap berkorban dan menanggung risiko; dan berpegang teguh kepada keyakinan dan kebenaran.

Sebaliknya, kemuliaan Islam tak akan nampak dan tak menjadi panutan seluruh alam manakala umatnya tak berakhlak mulia. Kemuliaan Islam hanya akan nampak samar-samar tertutup perilaku tak terpuji yang dilakukan para penganutnya.

Muhammad Abduh, salah seorang cendikiawan muslim asal Mesir pernah memprediksi, “Al Islamu mahjubun bil muslim.” Kelak kemuliaan Islam akan tertutup oleh orang-orang yang mengaku sebagai muslim, dalam arti kemuliaan Islam akan tercemar oleh perilaku jelek para penganutnya.

ilusrasi : Masjidil Haram (sumber gambar : republika.co.id)

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image