Pencabulan Lagi, Sudah Amankah Lingkungan Sekolah Bagi Anak Didik?
Edukasi | 2022-08-31 08:47:50Bagi seorang bestatus DPO kepolisian, di manakah tempat persembunyian paling aman? Bagi yang hobi nonton film Hollywood bergenre action dan criminal, mungkin jawaban latahnya adalah lingkungan dekat kantor polisi. Muncullah adagium dalam dunia intelejen, tempat paling berbahaya seringkali menjelma menjadi lokasi persembunyian paling aman. Anda boleh setuju boleh tidak, namanya juga analisis ala film.
Tulisan ini tidak sedang ingin menganalisis konten sebuah film, melainkan membahas fenomena kekerasan seksual terhadap anak-anak. Loh, bingung kan? Tenang saja, permasalahan ini masih bertolak dari pertanyaan yang sejenis, meski dengan konteks yang berbeda: di manakah tempat yang aman bagi anak-anak agar terbebas dari potensi tindak kekerasan seksual? Sebab kekerasan seksual justru seringkali terjadi di tempat/lingkungan yang semestinya aman bagi korban. Kedua, pun tidak sedikit pula pelakunya justru orang-orang terdekat atau mereka yang semestinya justru melindungi korban.
Kasus pencabulan yang terjadi di sebuah SMP di Kabupaten Batang, baru-baru ini, bisa menjadi contohnya. Korbannya diduga mencapai 30 siswi, meski sampai Selasa (22/8/2022) kemarin polisi baru menerima 13 laporan dari pihak korban. Pencabulan dilakukan di lingkungan sekolah, sementara terduga pelakunya yang sudah mengonfirmasi perbuatannya notabene adalah Guru Agama plus pembina OSIS. Kasus ini tentu menambah daftar panjang tindak kekerasan seksual di lingkungan lembaga pendidikan. Sebelumnya dua kasus serupa juga terjadi di lembaga pendidikan agama di Jawa Barat dan Jawa Timur, kasusnya sempat viral di media sosial.
Ada dua hal dari kasus kekerasan seksual ini yang mengonfirmasi asumsi di atas. Pertama, bahwa puluhan siswi di Batang ini mendapatkan tindak pencabulan di lingkungan sekolah, tempat yang semestinya aman dan nyaman bagi anak didik, jauh dari praktik-praktik tak bermoral seperti tindak asusila. Tentu saja tidak semua lingkungan pendidikan rentan dengan tindak kekerasan seksual, tetapi bahwa ada kesenjangan antara apa yang seharusnya dengan kenyataan yang sering terjadi pada kasus kekerasan seksual, inilah yang menjadi fokus permasalahan. Bahwa tempat yang paling aman saja ternyata rentan. Bagaimana mungkin lingkungan yang dipercaya para orang tua untuk membekali masa depan anak-anaknya, justru bisa menjelma menjadi perusak masa depan anak?
Kedua, terduga pelakunya juga berstatus pendidik, guru agama pula. Ini sesuatu yang di luar imajinasi dan nalar sehat publik. Sebagai pendidik, guru adalah figur yang dekat dengan anak, ikut melindungi anak-anak didiknya dari potensi kejahatan. Tetapi seperti umumnya kasus kekerasan seksual pada anak, pelakunya justru seringkali orang-orang terdekat.
Di luar variabel tempat dan pelaku, kasus kekerasan seksual pada perempuan juga seringkali terkait dengan relasi kuasa. Pandangan dan hasil penelitian tentang ini terutama banyak dikampanyekan kelompok aktivis feminis atau aktivis gender. Bahwa relasi laki-laki perempuan yang tak setara dituding menjadi salah satu biang dari rentannya kaum perempuan menjadi korban kekerasan seksual. Semodern apapun peradaban saat ini, faktanya kaum perempuan masih sering dipandang lebih lemah (subordinat) dibanding kaum laki-laki. Akibatnya, dalam ruang publik sekalipun perempuan masih saja sering dianggap sebagai obyek.
Dalam konteks kasus pencabulan yang terjadi di Batang, terduga pelaku berstatus sebagai guru sekaligus pembina OSIS. Artinya dalam konteks relasi kuasa dengan korban, dia lebih superior dan bahkan punya otoritas formil. Para korbannya dalam posisi kuasa yang lemah. Hal ini juga terkonfirmasi dari keterangan pihak kepolisian, bahwa dalam menjalankan aksinya selama rentang Juni-Agustus, pelaku menggunakan modus melalui kegiatan OSIS. Kepada para calon korbannya, pelaku beralibi akan melakukan tes kejujuran, ia lantas melakukan pelecehan ke alat vital korban. Beberapa korban dilecehkan, beberapa lainnya sampai disetubuhi. Di sinilah relasi kuasa bekerja, kita bisa membayangkan bagaimana perasaan takut anak-anak ini saat dilecehkan guru dan pembina OSIS nya. Dalam situasi ini, posisi para korban tentu amat lemah untuk memberikan penolakan dan perlawanan; baik secara fisik maupun otoritas.
Kini, puluhan korban ini tentu masih mengalami trauma yang menyesakkan. Para orang tua korban juga mungkin dilema, akankah melaporkan kasus ini dengan konsekuensi potensi anak-anaknya semakin tertekan, atau membiarkan saja, tetapi pelaku berpotensi mengulangi perbuatannya. Belum lagi, ada saja korban yang mungkin karena takut dan traumanya memilih tak membuka masalah ini ke orang tuanya.
Nah, dari uraian tiga variabel tersebut, maka para orang tua, bahkan kita semua, layak dan berhak bertanya: Sudah amankah lingkungan sekolah bagi anak-anak kita? Kita tidak perlu mempersoalkan lembaga sekolahnya, karena locus tindak kekerasan seksual bisa terjadi di mana saja, konteksnya adalah lingkungan yang justru sering dianggap aman. Beberapa waktu lalu, ada juga aksi sejenis yang dilakukan di sebuah toilet rumah ibadah kan? Karena itu, pertanyaan yang lebih penting ke depan adalah, quo vadis? Apa yang bisa dilakukan pemerintah serta stakeholder pendidikan lainnya untuk mengikhtiarkan kasus serupa tak berulang, menjadikan sekolah sebagai lingkungan yang aman dan nyaman bagi anak?
Salah satu kuncinya adalah pada keterbukaan, pengawasan, serta keterlibatan para pihak terhadap penanganan permasalahan ini. Beberapa langkah yang bisa dilakukan lintas stakeholder tersebut adalah sebagai berikut.
Pertama, kasus pencabulan yang menimpa 30 siswi sebuah SMP di Kabupaten Batang ini semestinya menjadi momentum bagi Dinas Pendidikan maupun Kantor Kementerian Agama setempat untuk meningkatkan pembinaan dan pengawasan terhadap kinerja para kepala sekolah. Sebagai pemimpin sekolah, kepala sekolah tentu ikut bertanggung jawab terhadap hal-hal yang terjadi di lingkungannya. Pembinaan secara berkelanjutan dan terprogram ini diharapkan akan meningkatkan kualitas kepemimpinan para kepala sekolah dalam menyelenggarakan tata kelola pendidikan yang lebih aman bagi peserta didik.
Kedua, perlunya mendesain sistem pengawasan dan pendampingan yang efektif terhadap semua kegiatan akademik dan non akademik di sekolah. Rentang kendalinya harus jelas, jangan sampai ada satupun kegiatan sekolah yang luput dari pengawasan dan pendampingan dari kepala sekolah. Dalam hal ini, kepala sekolah harus rajin turun langsung memberikan pendampingan kegiatan. Upaya ini juga sekaligus memberi kesempatan bagi kepala sekolah untuk menggali informasi secara mendalam terhadap prosesi kegiatan.
Ketiga, khusus kegiatan non akademik wajib mendapatkan persetujuan kepala sekolah melalui pengajuan proposal. Dengan demikian, kepala sekolah setidaknya memiliki gambaran yang memadai sebelum menyetujui kegiatan tersebut.
Keempat, karena upaya ini tidak mungkin hanya dibebankan ke sekolah, maka perlu kolaborasi dengan stakeholder lainnya, misal komite sekolah. Kolaborasi ini dilakukan agar proses kegiatan belajar mengajar (KBM) di sekolah bisa dketahui lebih baik oleh para orang tua siswa.
Kelima, para orang tua juga harus berkomitmen untuk membangun komunikasi yang baik dan berkualitas dengan anak-anaknya, penuh keterbukaan. Harapannya, ketika anak mendapati masalah di sekolah, baik kegiatan KBM atau lainnya, ia bisa menemukan tempat bercerita pada sosok orang tuanya. Dalam kasus kekerasan seksual di atas, masalahnya akan lebih sulit tekuak seandainya para orang tua tak terbiasa mendengarkan curahan hati anak-anaknya. Alih-alih ingin curhat, anak justru segan atau bahkan takut untuk menceritakan penderitaan yang dialaminya ke orang tua sendiri.
Keenam, Dinas Pendidikan setempat juga bisa berkolaborasi dengan lembaga-lembaga NGO yang fokus terhadap anak, misalnya dengan program visiting and consulting, yakni membuka jadwal konseling di sekolah untuk semua siswa. Kegiatan ini bisa dilakukan secara gradual dan terjadwal. Suatu waktu saat ada peserta didik yang mengalami masalah tetapi takut menyampaikannya ke pihak sekolah, maka ia punya ruang untuk mengungkapkannya ke pihak lain yang dihadirkan ke sekolah.
Terakhir, pelibatan lingkungan sekitar sekolah juga perlu dilakukan. Harapannya, kegiatan-kegiatan non akademik yang dilakukan di sekitar lingkungan sekolah bisa ikut mendapatkan pengawasan dari masyarakat sekitar.
Beberapa langkah tersebut perlu diupayakan dalam ikhtiar menciptakan lingkungan sekolah yang aman dan nyaman bagi siswa, sekaligus memberikan kepercayaan kepada orang tua siswa. Masih banyak upaya-upaya lain yang bisa dilakukan, sejauh berangkat dari komitmen yang kuat terhadap keberlangsungan pendidikan yang humanis di sekolah. Seburuk apapun permasalahan kekerasan seksual yang telah terjadi, paling tidak akan semakin membuka mata seluruh stakeholder pendidikan unuk lebih peduli dan melibatkan diri dalam upaya pencegahannya ke depan. []
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.