Kasus Suap Rektor Unila, Potret Asli Mental Bangsa Indonesia
Info Terkini | 2022-08-26 08:55:28Beberapa hari ini kita dikejutkan oleh kasus yang menimpa salah seorang rektor perguruan tinggi negeri di Indonesia, terkait adanya tindakan menyuap dalam proses penerimaan mahasiswa baru melalui jalur mandiri. Tentu hal ini membuat mata kita terbelalak, ketika pelakunya memiliki gelar Prof. Dr. dan terjadi di dunia pendidikan.
Apabila kita mau jujur sejujur-jujurnya, perilaku suap-menyuap sudah ada sejak zaman dahulu kala. Terjadi di semua aspek kehidupan, baik dalam bidang ekonomi, sosial, politik, bahkan agama. Dari tingkat pemerintah desa hingga pemerintah pusat. Dari orang yang paling bodoh sampai para intelektual. Dari orang awam hingga kaum rohaniawan.
Dalam paradigma kita, untuk mempermudah suatu urusan maka menyuap dianggap perlu. Untuk mengurus perizinan, mengurus dokumen catatan sipil, mengurus proyek, mau berdagang, termasuk juga mau kuliah. Karena mengurus semua itu tidaklah mudah, maka menurut mindset kita, hanya dengan uanglah segalanya akan menjadi mudah dan beres.
Di pihak yang lain, terkadang mereka sengaja mempersulit sebuah urusan (kalau bisa dipersulit, mengapa dipermudah, konon begitu slogannya); dengan harapan orang yang mengurus sesuatu akan memberikan uang suap. Ketika seseorang bersedia memberikan uang suap, sesuatu yang sulit seketika itu juga akan menjadi mudah.
Dampak negatif dari kondisi tersebut adalah membuat pelayanan (penilaian) menjadi tidak obyektif lagi. Persyaratan yang tidak lengkap bisa lolos karena uang. Calon karyawan yang tidak kompeten bisa masuk kerja. CPNS yang tidak memenuhi kualifikasi bisa menjadi PNS. Termasuk juga calon mahasiswa yang nilainya jelek bisa masuk perguruan tinggi idamannya.
Pendidikan yang Salah Dalam Keluarga
Sadar atau tidak, kita sebagai orang tua telah mendidik anak kita sejak dini untuk menerima “suap”. Contoh kecil, tak jarang kita menyuruh anak kita untuk membeli sesuatu di warung, akan tetapi anak kita tidak mau melakukannya. Agar anak kita mau pergi, kita pun menjanjikan kepadanya untuk memberinya upah berupa uang. Akhirnya anak kita pun mau pergi ke warung karena akan mendapatkan upah.
Dampak negatifnya adalah anak kita tidak akan mau kita mintai bantuan kalau dia tidak diberi upah. Setiap kali kita meminta bantuan, dia langsung akan berkata, “Upahnya apa?” atau “Mana upahnya?” Dia hanya akan mau melakukan suatu pekerjaan jika ada upahnya. Kalau tidak ada upahnya ya tidak mau.
Begitu pula sebaliknya. Jika si anak itu di sekolah misalnya, ingin meminta bantuan kepada temannya dan ternyata temannya itu tidak mau, ia pun menawarkan kepada temannya itu untuk memberinya upah. Misalnya, diberinya permen, ditraktir makan, atau diberi sebagian uang jajan miliknya. Setelah di rumah ia terbiasa menerima suap, kini dia ganti yang memberi suap.
Demikian halnya dalam kehidupan bertetangga dan bermasyarakat. Ketika kita meminta bantuan kepada saudara, tetangga, perangkat desa, tokoh masyarakat, tokoh agama, dll kita juga terbiasa memberikan semacam “suap”. Istilah “salam tempel” sudah bukan rahasia lagi. Termasuk juga memberikan serangkaian makanan tertentu (Jawa=punjungan) kepada pejabat atau tokoh masyarakat ketika akan melaksanakan hajatan.
Suap di Dunia Pendidikan
Sekiranya kita mau jujur, perilaku suap di dunia pendidikan sudah berlangsung sejak lama dan terjadi mulai dari pendidikan dasar hingga perguruan tinggi, terlebih di zaman kompetisi antarlembaga pendidikan yang semakin ketat. Sehingga membuat lembaga pendidikan melakukan berbagai langkah agar bisa mendapatkan murid/mahasiswa, termasuk melakukan cara yang tidak fair (melanggar hukum).
Terkait kasus suap di Unila, jika dilihat dari kacamata orang tua selaku pendaftar, akan muncul pertanyaan penting: Apakah tidak ada PTN lain selain Unila untuk mendaftarkan anaknya kuliah? Apabila tidak diterima di PTN, mengapa tidak kuliah di PTS saja? Atau mendaftar kuliah di luar negeri sekalian, kan mereka uangnya banyak (terbukti mampu menyuap).
Atau malah berpikir secara out of the box, daripada dipakai buat menyuap PTN, uang segitu banyak dipakai buat modal usaha anaknya, sembari menjalankan usaha kan masih bisa kuliah, misal mengambil kelas weekend atau kelas sore-malam. Toh, umpama dengan menyuap dan berhasil diterima kuliah di sana, apakah ada jaminan ilmunya nanti bisa bermanfaat di masyarakat, apakah ada jaminan ia akan mendapatkan pekerjaan sesuai harapannya?
Tidak berhenti di situ saja, suap akan berdampak jangka panjang. Misal, seorang mahasiswa jurusan tertentu yang mesti mengeluarkan ratusan juta untuk bisa masuk di jurusan tersebut, maka setelah lulus yang dipikirkan pertama kali adalah bagaimana ia segera memperoleh uang sebagai pengganti biaya kuliahnya. Ia tak lagi berpikir bagaimana melayani, memberikan pertolongan kepada orang lain, tapi bagaimana ia bisa mengeruk keuntungan.
Hakikat Suap
Suap-menyuap sudah berlangsung sangat lama dan terjadi di berbagai aspek kehidupan manusia. Sebuah sikap mental dan perilaku yang sudah mengakar kuat, mendarah-daging (Jawa=mbalung-sumsum), sehingga saya merasa pesimis untuk bisa dihilangkan. Walau banyak instansi pemerintah dan lembaga negara yang sudah menerapkan asas transparansi, akuntabilitas, dan integritas; tak serta-merta bisa menghapus praktik suap-menyuap ini.
Terkadang, suap dilakukan secara tidak kentara. Hanya berubah bentuk atau berganti istilah saja. Entah dengan istilah hadiah, ucapan terima kasih, pemberian, hantaran, punjungan, upeti, biaya administrasi, biaya formulir, uang rokok, salam tempel, atau dengan bahasa Arab sekalipun. Jika tujuannya adalah agar urusannya dimudahkan dengan cara yang tidak fair, maka esensinya tetap merupakan suap.
Untuk memberantas praktik suap-menyuap ini tidak hanya soal memperbaiki sistem, menggunakan teknologi, adanya pengawasan dan sebagainya. Akan tetapi yang lebih penting dari semuanya adalah memperbaiki sikap mental manusianya. Jika paradigma dan mindset manusia tidak diubah, maka secanggih apapun perangkat yang digunakan untuk mencegah terjadinya suap, hal itu tidaklah memberi dampak yang signifikan. Dengan meminjam peribahasa lain: jangan hanya sekedar memperbaiki jalan atau membuat UU lalu lintas, tapi perbaikilah terlebih dahulu pengguna jalan itu.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.