Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Afif Sholahudin

Skandal Hakim: Tamparan Keras Bagi Penegakan Hukum di Indonesia

Kolom | 2024-10-27 07:17:58

image/suarapemredkalbar

Oleh: Afif Sholahudin, SH, MH. (Adokat, Peneliti ILPAF)

Kasus bebasnya Ronald Tannur dari dakwaan pembunuhan hingga akhirnya dijatuhi hukuman setelah kasasi menunjukkan bagaimana sistem peradilan dapat dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi. Ketiga hakim—Erintuah Damanik, Mangapul, dan Heru Hanindyo—yang awalnya memutuskan untuk membebaskan Ronald kini menjadi tersangka kasus suap setelah penyidikan oleh Kejaksaan Agung mengungkap adanya penerimaan gratifikasi dari pengacara Ronald.

Setelah vonis bebas tersebut, keluarga korban melaporkan hakim-hakim tersebut ke KY, yang kemudian merekomendasikan pemecatan mereka. Proses hukum terhadap ketiga hakim ini menunjukkan bahwa meskipun ada upaya untuk menegakkan keadilan, tantangan besar tetap ada dalam hal transparansi dan akuntabilitas sistem peradilan di Indonesia.

Secara keseluruhan, kasus ini menggambarkan bagaimana praktik suap dapat merusak integritas sistem peradilan dan menghilangkan kepercayaan publik terhadap lembaga hukum. Upaya untuk memperbaiki kondisi ini harus mencakup peningkatan transparansi, pengawasan yang lebih ketat, serta penegakan hukum yang tegas terhadap pelanggaran etik di kalangan hakim.

Budaya korupsi di kalangan hakim di Indonesia tidak dapat dihilangkan sepenuhnya karena adanya kelemahan mendasar dalam sistem hukum yang ada. Berbagai faktor struktural dan kultural berkontribusi terhadap keberlangsungan praktik suap dan korupsi dalam lembaga peradilan.

Sistem hukum di Indonesia sering kali dianggap tidak efektif, dengan banyaknya celah yang dapat dimanfaatkan untuk melakukan korupsi. Beberapa masalah utama meliputi:

Kurangnya Transparansi. Proses persidangan yang tertutup, terutama di tingkat Mahkamah Agung, menciptakan ruang bagi hakim untuk berkolusi dalam memutuskan perkara. Hal ini mengakibatkan keputusan yang tidak dapat diprediksi dan merugikan kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan.

Pengawasan yang Lemah. Meskipun ada lembaga seperti Komisi Yudisial (KY) dan Mahkamah Agung (MA) yang bertugas mengawasi hakim, efektivitas pengawasan sering kali terhambat oleh birokrasi dan kurangnya sumber daya. Misalnya, KY menerima ribuan laporan pelanggaran, tetapi penanganan kasus-kasus tersebut sering kali lambat dan tidak transparan.

Budaya Korupsi yang Mengakar. Korupsi telah menjadi bagian dari budaya sistemik dalam banyak institusi di Indonesia. Ini menciptakan norma sosial yang menganggap suap sebagai cara yang dapat diterima untuk mencapai tujuan tertentu, termasuk dalam konteks hukum.

Untuk mengatasi permasalahan ini, diperlukan reformasi menyeluruh dalam sistem hukum. Beberapa solusi yang dapat dipertimbangkan antara lain reformasi struktural dengan mengadopsi sistem peradilan yang lebih transparan dan akuntabel, seperti penerapan sistem peradilan elektronik. Selain itu, peningkatan transparansi melalui perekaman dan publikasi terbuka keputusan persidangan juga penting untuk mendorong pengawasan publik. Pendidikan dan pelatihan etika bagi para pelaku hukum dapat meningkatkan kesadaran akan pentingnya integritas. Terakhir, keterlibatan masyarakat dalam pengawasan proses peradilan melalui mekanisme pengaduan dan partisipasi publik dapat memperkuat akuntabilitas sistem hukum.

Jika memang tetap saja budaya korupsi pada hakim itu terus berkembang, maka tidak ada yang bisa kita harapkan selain membersikah peradilan di Indonesia dengan sistem peradilan baru yang lebih adil dan lebih kuat. Revolusi sistem memanglah tidak mudah, namun harus dilakukan jika ketidakpercayaan publik semakin tinggi.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Terpopuler di

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image