Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Jogja Terkini

Diskusi GMRI: Akan Dilanjutkan Kirab dan Panggung Budaya Lintas Agama di Indonesia

Agama | 2022-08-24 07:15:14
Diskusi GMRI (ist)

Jakarta - Diskusi terbatas tentang Rancangan Perpres Mengenai Kerukunan Umat Beragama dan Kepercayaan, di Sekretariat GMRI (Gerakan Moral Rekonsiliasi Indonesia) Jl. Juanda Raya No. 4 Jakarta Pusat, pada Selasa, 23 Agustus 2022.

Hadir diantaranya KH. Ahmad Ghufron Sembara, Kanjeng Astono, Dewi Kanti, Danny Pewarna bersama Yusuf Mujiono, Pendera Jimmy Sormin, Rochmat, Romo Sunardjo Sumargono, Kelik Prayogo, Romo Asun, Kanjeng Kencoko, dan Edy.

Dalam siaran pers tertulis yang diterima redaksi disebutkan tentang kerukunan umat beragama di Indonesia masih mengacu PBM (Peraturan Bersama Menteri) Menag dan Mendagri No.9 dan No. 8 Tahun 2006. Lalu sekarang ada wacana untuk meningkatkan PBM ini yang perkaya hingga dapat menjadi Perpres (Peraturan Presiden) dengan didorong sepenuhnya oleh FKUB (Forum Kerukunan Umat Beragama) yang akan segera disahkan pada akhir Agustus 2022.

"Majelis Agama-agama yang dipercaya untuk membahas Perpres ini telah menyurati pihak Kementerian Agama untuk menindak lebih lanjut," ujar Kanjeng Astono, Selasa (23/8/2022) yang menjadi nara sumber utama dalam acara diskusi hingga menjelang makan siang bersama itu.

"Karena PBM, hanya mengatur pada tingkat daerah saja, tidak sekuat Perpres," imbuh Kanjeng Astono yang bicara atas nama Anggota Majelis Agama-agama di Indonesia.

Sementara Majelis Agama-agama yang dipercaya untuk membahas Perpres ini telah menyurati pihak Kementerian Agama untuk menindak lebih lanjut.

Awalnya pada kelahiran FKUB pada tahun 2012 hanya beranggotakan 6 organisasi keagamaan saja, tanpa diikuti oleh organisasi Kerukunan Umat Beragama dan Kepercayaan. Dan dalam perkembangan berikutnya, Kerukunan Umat Beragama dan Kepercayaan hanya disebut Penghayat saja, lalu diharap dapat diterima menjadi anggota FKUB hingga mendapat pengakuan dari pemerintah.

"Meskipun Perpres itu sudah diawali pembahasannya sejak tahun 2004, tapi baru sekarang akan final dengan membuat Perpres yang dasarnya tetap beranjak dari ide dan gagasan awal pada tahun 2004 dahulu itu," tandas Kanjeng Astono.

Informasi tentang penghayat di Indonesia ada di 16 Provinsi, dan menurut catatan Kementerian Agama. Namun Perselisihannya dengan Penghayat Kepercayaan bisa menginduk pada Kementerian Agama, bukan pada Direktorat Kebudayaan.

Romo Asun juga mengakui sudah 4 kali mengikuti pertemuan yang dilaksanakan FKUB untuk membahas rancangan Peraturan Presiden tentang Penghayat Kepercayaan ini.

"Namun contolan Penghayat Kepercayaan yang hendak diletakkan pada Kemendibud, bukan di Kemenag. Padahal yang penting bagi umat Penghayat Kepercataan sudah diterima sebagai anggota FKUB," tandas Romo Asun.

Sayangnya memori kolektif terhadap agama di Indonesia, kata Jimmy Sormin dari PGI memang terlanjur percaya hanya ada enam agama di Indonesia.

"Sementara Agama lokal yang asli milik para leluhur kita, terabaikan termasuk adanya aliran Penghayat Kepercayaan," kata Pendeta Jimmy Sormin.

Dalam diksi penghayat sebagai agama lokal, memang perlu dipikirkan sebagai pintu masuk agar penghayat kepercayaan tidak berhenti berhenti dalam budaya. Sama halnya dengan posisi masyarakat adat yang tidak mendapat perhatian dari banyak pihak.

Hery dari KWI (Konfrensi Wali Gereja Indonesia) pada intinya Gereja Katholik Indonesia mendukung perhatian terhadap Keyakinan masyarakat lokal seperti Sapto Dharmo yang ada di Semarang. Jadi KWI sangat me dukung agar Penghayat Kepercayaan dapat diterima sebagai agama.

Dewi Kanti dari Sunda Wiwitan, mengatakan untuk menjadi Indonesia memang tidak mudah. Padahal yang bisa menyatukan bangsa adalah genetik spiritual kita sebagai suku bangsa yang Nusantara yang beragam.

Sebagai anggota Komnas Perempuan Indonesia, Dewi Kanti merasa perlu untuk menyerukan adanya perhatian terhadap adanya agama-agama leluhur suku bangsa Indonesia. "Tapi masalahnya Penghayat Kepercayaan sungguhkah dapat diterima oleh masyarajat kokal lainnya yang memiliki sebutan dan nama sendiri untuk agamanya yang diyakini itu. seperti agama Kaharingan maupun Sunda Wiwitan," tandas Dewi Kanti.

Tentang FKUB sendiri, katanya sejak awal kehadiran telah menjadi semacam kontrol sekaligus perselingkuhan yang dilakukan kalangan agama terhadap agama lokal yang dipinggirkan.

Sedangkan Drs. KH. Achmad Ghufron mengajak untuk mencermati mulai dari istilah penghayat dan kepercayaan. Sebab masalah krusialnya sama dengan Islam Jawa atau Jawa Islam. Namun kohesi antara budaya pasti memiliki muatan nilai-nilai yang tak bisa diabaikan.

"Oleh karena itu penting bagi semua pihak untuk memahami persepsi tentang penghayat kepercayaan agar tidak terkesan rumit, karena yang sepatutnya dapat dipermudah, harus dipermudah saja," tandas Ustad Ghufron Sembara.

Romo Sunardjo Sumargomo, justru mengajak untuk lebih mencermati kepercayaan masyarakat lokal dengan memilih satu sebutan yang dapat mewakili semua pihak kepercayaan masyarakat lokal yang banyak terdapat di daerah-daerah.

Rohmat Hidayat dari MLKI (Majelis Luhur Kepercayaan Indonesia) sangat mendukung upaya FKUB untuk memperjuangkan agar Penghayat Kepercayan dapat diterima sebagai agama di Indonesia. "MLKI sendiri diakuinya memang berada dibawah Kemendibud, bukan berada didalam Kemenag," tandas Rohmat Hidayat, meski sebagai organisasi keagamaan, MLKI telah menyatakan Kepercayaan Tehadap Tuhan Yang Maha Esa. Sebab tujuan utama dari penghayat kepercayaan di Indonesia jelas mengutamakan kerukunan bagi umat beragama.

Kincaka yang datang mewakili Aji Saka, sangat berharap wadah keagamaan dari penghayat kepercayaan nantinya dapat benar-benar mewakili seluruh agama lokal yang ada di Indonesia.

Gingin Ginanjar yang khusus datang dari Bandung bercerita saat membuat acara lintas agama, justru diminta pihak keamanan setempat agar memiliki rekomendasi dari FKUB, tapi FKUB sendiri justru menolak memberi rekomendasi untuk acara yang tidak bisa disebut forum agama itu. Padahal yang menyelenggarakan adanya adalah Sunda Wiwitan.

Sebutan Sunda Wiwitan pun seperti yang ada di Cigugur, Kuningan Jawa Barat, sering mendapat tekanan dan tidak mendapat perlindungan dari negara. Padahal, dalam tara negara negara kita tidak ada istilah agama, karena yang ada adalah Ketuhanan Yang Maha Esa.

"Arti Ketuhanan itu dalam keyakinan dan kepercayaan Sunda Wiwitan dapat dipastikan adanya kemanusiaan, dan kemanusiaan itu, pasti keadilan, dan keadilan pasti kebersamaan serta kesatuan serta kerukunan," tandas Gingin Ginanjar. Karena itu, agama tidak lagi perlu menjadi identitas, sebab yang penting adalah perilaku dan sikap serta perbuatan terbingkai dalam etika, moral serta akhlak mulia manusia sebagai khalifah di bumi.

Yusuf Mujiono dari organisasi Pemuda Kristiani menyarankan agar upaya untuk menjadikan penghayat kepercayaan dapat diterima dan diakui sebagai agama di Indonedia perlu ada gerakan budaya, seperti gerakan kebangkitan kesadaran dan pemahaman spiritual hingga semakin dapat membumi di Nusantara seperti sekarang.

"Dan sebagai follow up gagasan memperjuangkan Penghayat Kepercayaan untuk diterima menjadi agama resmi di Indonesia, perlu dinarasikan berikut materinya agar dapat lebih sederhana untuk dipahami warga masyarakat," kata Ustad Ghufron menyarankan.

GMRI pun setuju untuk segera menggelar kirab dan panggung budaya yang melibatkan seluruh umat beragama dalam waktu dekat. (*)

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image