Eksistensi Lembaga Keuangan Syariah di Indonesia
Eduaksi | 2021-11-28 11:41:47Di Indonesia, sudah lama umat Islam ingin pendirian bank syariâah itu berlandaskan prinsip bagi hasil. Hal ini dimana terungkap dalam Keputusan Majelis Tarjih Muhammadiyah yang diadakan pada tahun 1968 di Sidoarjo, Jawa Timur. Pada poin ke 4 diputuskan, Majelis Tarjih Muhammadiyah mengusulkan kepada Pimpinan Pusat Muhammadiyah untuk menerapkan sistem ekonomi khususnya lembaga perbankan berdasarkan prinsip-prinsip Islam.
Keberadaan resmi bank syariâah di Indonesia dimulai dengan disahkannya Undang-Undang No. 7 tentang Perbankan tahun 1992. Namun, karena bank syariâah masih menggunakan istilah bank bagi hasil, harus diakui bahwa undang-undang tersebut tidak memberikan landasan hukum yang memadai bagi perkembangan bank syariâah. Pengertian bank bagi hasil yang dimaksud dalam UU tersebut belum sesuai dengan pengertian bank syariâah yang relatif lebih luas dari bank bagi hasil. Hingga tahun 1998, tidak ada batasan operasional khusus yang mengatur operasional bank syariâah, karena tidak ada ketentuan hukum yang mengatur bank syariâah.
Amandemen terhadap UU No. 7 Tahun 1992 yang menjadi dasar UU No. 10 Tahun 1998 secara eksplisit mengatur bahwa bank dapat beroperasi sesuai dengan prinsip syariâah. Kemudian, UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia juga menetapkan bahwa Bank Indonesia dapat melakukan pengendalian moneter berdasarkan prinsip syariâah. Kemudian UU tersebut telah mengamanatkan Bank Indonesia untuk menyiapkan perangkat ketentuan dan fasilitas pendukung lainnya untuk mendukung operasional bank syariâah guna memberikan kerangka hukum yang lebih kuat dan peluang yang lebih luas bagi pengembangan perbankan syariâah di Indonesia, yaitu dengan diterbitkannya sejumlah ketentuan operasional dalam bentuk SK. Direksi BI/Peraturan Bank Indonesia. Kedua UU tersebut menjadi landasan hukum bagi keberadaan dual banking system di Indonesia, yaitu kedua sistem perbankan (konvensional dan syariâah) itu hidup berdampingan untuk memberikan layanan jasa perbankan kepada masyarakat yang pelaksanaannya diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Diakui masih banyak kendala dalam upaya pengembangan bank syariâah. Regulasi dan infrastruktur penuh saja tidak cukup untuk memastikan bank syariâah berhasil mendekatkan sektor riil. Masih banyak upaya lain untuk mengembangkan bank syariâah, seperti pemahaman masyarakat yang relatif rendah tentang bank syariâah dan terbatasnya tenaga ahli perbankan syariâah yang mempengaruhi potensi permintaan (supply) dan penawaran (demand). Selain itu, layanan perbankan syariâah kepada masyarakat umum masih terbatas karena jaringan kantor perbankan syariâah yang relatif terbatas. Keberadaan lembaga pendukung agar perbankan syariâah dapat beroperasi secara optimal juga dirasakan belum memadai, berbagai isu terkait perkembangan teknologi dan inovasi berbagai produk bank syariâah memerlukan pengaturan yang memadai untuk menjamin stabilitas sistem perbankan syariâah.
Namun, penelitian menunjukkan bahwa bank-bank Islam mampu mengembangkan dana seperti bank konvensional pada umumnya. Bank-bank Islam ini telah menjadi penampung dan penyalur dana umat Islam baik untuk kepentingan yang berkaitan dengan ibadah seperti dana zakat, infak, dan shadaqah maupun muamalah seperti simpanan (wadiâah) dan mudharabah. Data yang terkumpul menunjukkan, 26 dari 32 bank merupakan bank yang sehat dan menguntungkan, delapan belas di antaranya secara tetap membagikan keuntungan kepada para penyimpan dana. Hasil atas investasi bagi dipositor berkisar antara 3 % hingga 24 % sedangka hasil atas investasi bagi pemegang saham berkisar 0 % hingga 98 %.
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa keberadaan bank syariâah di Indonesia telah ada sejak tahun 1992 UU No. 7 tentang perbankan. Akan tetapi, setelah lahirnya UU No. 10 tahun 1998 bank syariâah di anggap lebih sempurna dan telah nampak ciri khasnya sebagai bank syariâah. Menurut Muslimin H. Kara, Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 ini merupakan periode kedua dalam perkembangan kebijakan perbankan Islam di Indonesia, yang berdampak positif bagi perkembangan bank Islam. Undang-Undang tersebut sebagai amandemen UU No. 7 tahun 1992. Kemudian didukung oleh UU No. 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia yang mana dapat mengendalikan sistem moneter sesuai dengan prinsip syariâah, sehingga keberadaan bank syariâah berkembang semakin pesat. Di mana UU tersebut memperbolehkan juga bank konvensional membuka sistem syariâah.
Dengan munculnya bank syariâah yang beroperasi dengan sistem bagi hasil sebagai alternatif pengganti bunga pada bank konvensional, memungkinkan umat Islam memiliki kesempatan sepenuhnya untuk menggunakan layanan bank dengan tenang, tanpa keraguan dan didasari oleh motivasi keagamaan yang kuat, dengan memobilisasi dana masyarakat untuk mendanai pembagunan ekonomi umat.
Peluang tersebut tidak hanya dirasakan umat Islam saja, tetapi juga oleh umat non muslim, karena bank syariâah telah terbukti menjadi sarana yang dapat diandalkan untuk mendukung pembangunan ekonomi dan dapat dioperasikan secara sehat, karena di dalamnya terkandung misi kebersamaan antara nasabah dengan bank. Selain itu, bank syariâah dinilai mampu hidup berdampingan secara serasi dan kompetisi juga secara sehat dan wajar dengan bank-bank konvensional yang telah ada, karena bank syariâah tidak bersifat ekslusif untuk umat Islam saja, tetapi tidak ada larangan bagi umat non muslim untuk melakukan hubungan dengan bank syariâah. Bahkan pengelolaannya pun bisa dilakukan oleh orang-orang non muslim, seperti yang terjadi pada bank syariâah di London, Luxemburg, switzerland dan bank-bank asing di Pakistan.
Setelah adanya deregulasi sektor perbankan pada tahun 1983, kedudukan bank syariâah dalam sistem perbankan nasional mendapat pijakan yang kukuh. Deregulasi sektor perbankan memberikan keleluasaan kepada lembaga keuangan bank, termasuk dalam hal penentuan tingkat suku bunga (hingga nol persen) bahkan penghapusan bunga sekaligus. Deregulasi tersebut dapat dimanfaatkan setelah keluarnya Paket Oktober (Pakto) 1988. Dalam Pakto tersebut diperkenankan untuk mendirikan bank-bank baru.
Daftar Pustaka
HUKUM EKONOMI SYARIAH DALAM TATANAN HUKUM NASIONAL
https://jurnal.staialhidayahbogor.ac.id/index.php/am/article/view/190
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.