Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Hamdani

Oknum Prosesor Kangkangi Permenristekdikti, Gelar Guru Besar Layak Dicabut?

Curhat | Monday, 22 Aug 2022, 08:41 WIB
Rektor Universitas Lampung (Unila) Prof Karoman di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Ahad (21/8/2022). Foto Kompas

Ternyata perilaku korup masih mewarnai dunia akademik kita. Tertangkap tangan nya Rektor Universitas Lampung (Unila) Profesor oleh Tim Penindakan KPK RI setidaknya membuktikan bahwa lingkungan kampus pun tidak terlepas dari praktik mengumpulkan uang haram.

Jika negeri ini sedang dihebohkan dengan kasus pembunuhan secara sasia yang dilakukan oleh seorang jenderal polisi yang sejatinya melindungi dan mengayomi, maka sejajar dengan itu, di perguruan tinggi kejahatan dilakukan oleh sang rektor berpangkat profesor.

Ada apa dengan negeri ini? Mengapa kejahatan dilakukan oleh orang-orang besar? Mereka para petinggi yang mestinya memberikan tauladan yang baik kepada masyarakat.

Di sisi lain padahal sudah diterbitkan aturan secara khusus bagi dunia kampus yang diharapkan dapat menjadi garda terdepan dalam upaya memberantas korupsi di Indonesia. Terutama bagaimana menanamkan kesadaran dan pemahaman tentang bahaya korupsi bagi mahasiswa yang notabene adalah anak-anak muda generasi penerus bangsa.

Pemerintah telah menelurkan Permenristekdikti No 33 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Antikorupsi (PAK) di Perguruan Tinggi oleh Menteri Pendidikan Tinggi Republik Indonesia sebagai acuan bagi pelaksanaan PAK di setiap perguruan tinggi.

Dengan demikian apa yang dilakukan oleh oknum rektor Unila bukan saja melanggar ajaran moral dan undang-undang Tipikor, ia juga telah menginjak-injak Permenristekdikti 33 tersebut. Ini adalah bentuk penghinaan terhadap para dosen yang telah berusaha keras mengajarkan sikap antikorupsi dikalangan mahasiswa.

Gandjar Laksamana Bonaprapta Anggota Bidang Studi Hukum Pidana Universitas Indonesia (UI) pernah mengatakan, korupsi di Indonesia dilakukan dengan berbagai macam modus. Baik bentuknya penyimpangan keuangan negara, menerima hadiah yang tidak wajar, gratifikasi dan suap menyuap. Bentuk-bentuk korupsi tersebut kadang-kadang sangat halus.

Setidaknya menurut Gandjar ada beberapa akar masalah mengenai korupsi diantaranya; Korupsi bukanlah sebuah budaya, korupsi dilakukan dengan cara baik agar terlihat bukan kejahatan, korupsi dilakukan dengan rencana, korupsi kejahatan berbeda dengan kejahatan lainnya, korban kejahatan korupsi kita, akar korupsi adalah gratifikasi, akar gratifikasi adalah diskriminasi, pemberantasan korupsi tebang pilih (skala prioritas).

Lantas bagaimana menyikapi kejahatan korupsi yang dilakukan oknum rektor?

Pertama; segera dilakukan penyelidikan secara menyeluruh terutama di internal perguruan tinggi dimana rektor itu menjabat. Bukan tidak mungkin praktik korupsi ini dilakukan secara terstruktur dan tersistem. Secara logika tidak mungkin dia bergerak sendirian tanpa ada pihak lainnya yang ikut membantu.

Kedua; pihak kampus harus segera membentuk tim yang mewakili semua unsur sesuai dengan aturan Kemendikbud Ristek untuk menggelar sidang etik.

Ketiga; jika terbukti, maka kepada oknum rektor patut diberikan sanksi yang setimpal baik secara hukum positif maupun sanksi akademik termasuk mencabut gelar profesor.

Keempat; dilakukan pembinaan terhadap oknum rektor untuk mengembalikan kesadarannya tentang bahaya melakukan korupsi yang mengakibatkan kerugian tidak saja bagi dirinya namun juga terhadap keluarga, dan kampus tempat ia bekerja.

Namun demikian yang terpenting adalah agar pihak penegak hukum tidak tebang pilih dalam memberantas korupsi. Kita berharap kepada Polisi, KPK, Jaksa, dan Hakim yang menangani perkara ini benar-benar mengutamakan kepentingan negara dan rakyat di atas kepentingan lainnya. (*)

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image