Anugerah Kemerdekaan RI 77 Tahun
Politik | 2022-08-17 20:56:47Kita patut bersyukur Indonesia masih menikmati kemerdekaan di usianya yang ke-77 tahun. Berbagai tantangan dan rintangan yang dihadapi sejauh ini tidak membuat negara kita bubar. Seluruh pihak tentunya harus introspeksi sekaligus kontemplasi bahwa negara ini banyak diberi rahmat oleh Tuhan yang Maha Kuasa.
Kemerdekaan yang diraih tidak mudah karena dengan mengorbankan darah, harta, nyawa, air mata dan sebagainya. Dengan kenyataan tersebut, tidak pantas negara besar ini bubar dengan mudahnya. Secara histori, rakyat kita memiliki genetika darah pejuang yang tidak akan pernah menyerah pada penjajahan. Setidaknya itu termaktub dalam UUD 1945 dan tersirat dalam Pancasila yang menjadi ideologi negara.
Ujian paling berat yang dirasakan rakyat Indonesia adalah ketika Orde Baru tumbang. Reintegrasi nasional menjadi sebuah keniscayaan karena sejak Orde Baru tumbang, bermunculan aliansi ideologi dan politik yang ditandai dengan menjamurnya partai politik dan ormas baru. Orde reformasi melahirkan keinginan di berbagai daerah untuk menuntut otonomi, bahkan kemerdekaan. Kekhawatiran tentang disintegrasi membayangi negeri, apalagi konflik dan pertikaian senantiasa menjadi ancaman, khususnya di tahun-tahun politik.
Bayang-bayang disintegrasi dan pertikaian memunculkan pertanyaan kritis. Apakah Indonesia akan tetap utuh? Apakah masyarakat Indonesia yang majemuk bisa rukun? Apakah pada era reformasi, negeri ini tidak akan terjebak pada pertikaian ideologis yang bisa membangkitkan permusuhan? Pertanyaan semacam itu tentu saja menghantui kita. Mengapa demikian? Fakta membuktikan hal semacam itu pernah terjadi di sejumlah negara, seperti Uni Soviet dan Yugoslavia. Kedua federasi itu lenyap dari peta politik dunia.
Sebagai anak bangsa, tentu kita tidak bisa tinggal diam melihat ancaman tersebut. Kita harus tetap berpikir jernih dan obyektif mewujudkan integrasi nasional. Hal yang dibutuhkan adalah kesatuan ideologi yang lebih terbuka. Era Reformasi menyadarkan bahwa Pancasila telah menjadi penyelamat bangsa Indonesia dari ancaman disintegrasi selama lebih dari tiga dasawarsa.
Namun, sakralisasi dan penggunaan tafsir secara berlebihan dari ideologi negara dalam format Orde Baru, juga membuahkan kritik dan protes terhadap term “pemersatu”. Kritik terhadap Pancasila yang ditafsirkan sepihak kemudian melahirkan pemikiran agar Pancasila tidak dicantumkan sebagai asas tunggal, meskipun tetap dipertahankan sebagai ideologi negara.
Kita harus menyadari selain faktor domestik, ancaman terhadap keutuhan negara datang dari dunia internasional. Gelombang demokratisasi, HAM, liberalisme, universalisme dan globalisasi bisa meminggirkan Pancasila. Meski kita akui, kehadiran nilai universal itu bisa menghadirkan sistem nilai, dan idealisme baru yang dianggap sesuai dengan tantangan dan kebutuhan zaman. Untuk itu, kita harus mempertahankan integrasi nasional dengan tidak menjauhkan Pancasila dari realitas kehidupan masyarakat.
Reintegrasi nasional berdasarkan Pancasila yang ditafsirkan dengan mengikuti perkembangan dan tuntutan zaman. Pancasila perlu dijadikan kendali moral, bukan alat justifikasi terhadap format kekuasaan dengan kepentingan politik di belakangnya. Kalau ini terwujud, maka rakyat Indonesia akan mencintai ideologi negaranya, dan menolak hadirnya ideologi lain yang justru bisa menimbulkan perpecahan.
Tantangan yang Dihadapi
Gerakan separatisme sering kali tidak berangkat dari idealisme untuk merdeka. Dorongan memisahkan diri lebih muncul akibat ketidakpuasan yang mendalam terhadap pemerintah pusat, atau perlakuan diskriminasi antara mayoritas dan minoritas di sebuah wilayah. Kecemburuan sosial dan ekonomi lebih dominan atas isu separatisme.
Tentunya, Pemerintah dan bangsa Indonesia tidak akan menolerir pada satu wilayahnya yang akan memisahkan diri. Kedaulatan dan kehormatan bangsa tentu harus dibayar guna menghentikan separatisme. Hal semacam itu juga ditunjukkan oleh sejumlah negara lain. Inggris, misalnya, tak akan melepas Irlandia Utara. Malaysia tidak akan melepas Sabah. Begitu juga dengan Amerika Serikat akan menggunakan kekuatan militer, jika tiba-tiba Alaska dan Hawai melepaskan diri dari perserikatan.
Reintegrasi nasional bisa menjadi konsep untuk mengantisipasi suara-suara separatisme. Dia menjadi model kebijakan yang lebih menyentuh bidang ekonomi, pendidikan, kebudayaan bahkan politik. Wilayah yang dianggap paling banyak isu memisahkan diri harus mendapat porsi yang lebih besar, baik dalam hal anggaran, perhatian dan penataan pemerintah.
Kebijakan menyatukan kembali rakyat Indonesia di bawah naungan NKRI, harus berdasarkan keadilan dan bersifat komprehensif. Kebijakan yang memberdayakan dan meletakkan masyarakat sendiri sebagai subyek. Selain, kebijakan ini juga harus bisa memperkecil kesenjangan sosial ekonomi di antara masyarakat.
Setidaknya dibutuhkan framework yang terdiri dari lima faktor untuk mewujudkan reintegrasi nasional. Pertama, membangun dan menghidupkan terus komitmen, kesadaran serta kehendak untuk bersatu. Kedua, menciptakan kondisi dan membiasakan diri untuk selalu membangun konsensus. Kompromi dan kesepakatan adalah jiwa musyawarah, dan sesungguhnya juga demokrasi.
Ketiga, membangun kelembagaan yang berakarkan nilai dan norma yang menyuburkan persatuan dan kesatuan bangsa. Menyuburkan semangat integrasi nasional tidak hanya dilakukan secara struktural, namun juga kultural.
Keempat, merumuskan kebijakan dan regulasi yang konkret, tegas dan tepat dalam segala aspek kehidupan dan pembangunan bangsa. Tentunya berdasarkan cerminan rasa keadilan bagi semua pihak di semua wilayah.
Kelima, upaya bersama dan pembinaan integrasi nasional memerlukan kepemimpinan yang arif dan efektif. Setiap pemimpin di negeri ini, baik formal maupun nonformal, harus memiliki kepekaan, dan kepedulian yang tinggi serta upaya sungguh-sungguh untuk membina dan memantapkan integrasi nasional.
Dengan demikian, rakyat tentu tidak akan meronta atau berteriak. Justru mereka akan tenang berhimpun dalam naungan NKRI. Selamat HUT RI ke-77(*)
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.