Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Angelina Anggun Sari

PENDIDIKAN PENYADARAN DI TENGAH PANDEMI

Guru Menulis | Saturday, 27 Nov 2021, 14:33 WIB
Pada bulan Agustus 2021, dunia maya menyebarkan berita yang memprihatinkan banyak pihak dengan mengungkap kisah siswa-siswi Kecamatan Kinal, Kabupaten Kaur, Bengkulu, ketika mereka mengikuti pembelajaran online saat pandemi COVID-19. Tomi Defantri, seorang warga setempat mengungkapkan hanya ada 1 dari 12 desa di Kecamatan Kinal yang memiliki sinyal ponsel (Kompas.com, 2021). Detik.com (2021) menambahkan bahwa siswa-siswi tersebut setiap harinya menempuh perjalanan sampai lebih dari 3 km untuk menemukan titik yang tersedia akses internet, di dekat tepian sungai. Kisah serupa muncul ke publik pada Oktober 2021. Kali ini keterbatasan jaringan internet dialami oleh para siswa SD Langgo, NTT, saat mereka sedang mengikuti Asesmen Nasional Berbasis Komputer (ANBK). Kisah ini viral ketika tersebar foto seorang siswa yang harus dipanggul gurunya agar bisa mengakses sinyal saat mengerjakan ANBK tersebut. Foto lainnya memperlihatkan seorang guru yang harus memanjat di pojokan sekolah untuk mendapatkan sinyal saat mengisi Survei Lingkungan Belajar. Mirisnya, ketika seluruh sekolah di dunia, terutama di Indonesia harus ‘banting setir’ ke pembelajaran online, ternyata masih banyak daerah-daerah di Indonesia yang masih kesulitan mendapatkan jaringan internet.

Kedua contoh kenyataan miris yang terjadi di dunia pendidikan Indonesia, terutama di masa-masa pandemi ini sangatlah memprihatinkan. Masa pandemi mendorong seluruh siswa belajar secara online untuk menekan angka penyebaran pandemi, tetapi di saat yang sama, instruksi pemerintah tersebut seolah ‘menutup mata’ kepada kondisi kaum-kaum menengah ke bawah untuk mengakses pembelajaran online. Sudah seharusnya, konstitusi menjamin dan memprioritaskan fasilitas pendidikan setiap warga negara untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Di lain pihak, siswa-siswi Indonesia lainnya yang memiliki fasilitas belajar yang layak, justru seolah-olah ‘menyerah kepada keadaan’. Banyak siswa mengalami kebosanan karena pembelajaran online, motivasi belajar mereka menjadi menurun (bahkan secara drastis) dikarenakan berbagai faktor yang mempengaruhinya. Kontras ini sangat menyesakkan dada jika kita mau mendalaminya bersama. Jika keadaan seperti ini kita bayangkan masih terus berlanjut selama 5 tahun ke depan saja misalnya, ketimpangan akan pendidikan yang dialami oleh kelas-kelas menengah ke bawah dan kelas-kelas menengah ke atas, pastinya akan semakin besar. Hal ini bisa dibayangkan akan membentuk ‘lingkaran setan’, dimana yang berkekurangan sulit mendapatkan akses pendidikan yang baik, mereka akan banyak kehilangan kesempatan belajar, maka kesempatan mereka untuk memperbaiki diri pun akan semakin kecil, dan mereka akan terus berada di dalam keadaan yang sama. Sebaliknya, mereka yang memiliki kesempatan belajar yang layak, tidak akan pernah melihat yang ada di bawah mereka dan berfokus kepada apa yang mereka jalani sekarang, sehingga seolah-olah mereka hidup terpisah di dalam dunia yang berbeda.

Apa yang seharusnya dilakukan pendidik masa kini, agar kita bisa membawa siswa-siswi kita menyadari masalah sosial ini? Paulo Freire, seorang filsuf dari Brazil telah memperhatikan peristiwa ini dalam kesehariannya dahulu di Recife (walaupun dalam konteks yang berbeda). Pandangan dan tulisan-tulisan Freire begitu mempengaruhi dunia pendidikan (dan pemerintahan), hingga karya-karyanya pun banyak diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia setelah tumbangnya Orde Baru. Freire berpendapat bahwa banyak sistem pendidikan yang hanya menjadikan siswanya sebagai penghafal informasi saja. Siswa tidak dibawa untuk menyadari apa kaitan informasi tersebut dengan dirinya, terlebih bagaimana memanfaatkan kesadaran tersebut untuk melakukan perubahan. Bagi Freire, siswa perlu diajak berdialog agar mereka memahami realitas yang terjadi di sekitar mereka. Dialog yang didasarkan pada cinta, cinta akan dunia, kehidupan, dan sesama.

Pendidikan yang baik adalah pendidikan yang dapat membawa siswa kepada kesadaran akan berbagai permasalahan sosial yang terjadi di sekitarnya. Pendidikan yang membawa kepada refleksi dan aksilah yang akan berujung kepada transformasi, bukan pendidikan yang menjadikan siswa sebagai ‘robot berbudaya diam’. Jika pendidikan yang dikhawatirkan Freire masih terus terjadi, maka tidak heran pula kisah-kisah miris yang terjadi di Bengkulu dan NTT akan terus terjadi. Mereka bukan berdiam diri dan menyerah pada nasib, berkali-kali masyarakat setempat menyuarakan hal tersebut kepada pemerintah, tetapi janji perubahan hanyalah sekedar janji belaka tanpa realisasi. Bagi Freire, setiap kita memiliki tanggung jawab moral dan sosial. Realita dunia adalah untuk kita hidupi dan diubah menjadi lebih baik lagi, bukan untuk diterima mentah-mentah begitu saja atau bahkan ‘dihindari’. Pendidikan haruslah menumbuhkan kesadaran kritis transitif siswa dengan keyakinan bahwa manusia punya kapasitas untuk ikut terlibat dalam dinamika kehidupan.

Pandangan epistemologi Freire juga mengungkapkan bahwa pengetahuan siswa akan berkembang ketika siswa diberi kebebasan dalam belajar untuk menemukan kebutuhannya sendiri. Pada masa-masa pandemi seperti ini, guru perlu mencari cara lain untuk menyajikan pembelajaran yang menarik dan bermakna untuk siswa. Guru perlu menggali hal-hal yang terjadi di luar buku pembelajaran (bukan berarti belajar dari buku tidak penting), siswa akan menghasilkan pengetahuan mereka sendiri ketika mereka mengalami sesuatu hingga hal itu menjadi makna untuk mereka. Terlebih lagi ketika siswa dapat menerapkan pengetahuannya ketika ia diperhadapkan kepada pengalaman dunia nyata tersebut. Disanalah mereka akan berhipotesis, menguji pengetahuan mereka, dan akhirnya menarik kesimpulan atau membentuk solusi berdasarkan temuan mereka.

Salah satu aplikasi pemikiran Freire dalam pendidikan penyadaran di tengah pandemi adalah guru bisa mengajak siswa-siswinya berdialog dengan mereka yang mengalami kesulitan pendidikan di tengah pandemi ini. Saling berbagi dan memahami kesulitan masing-masing, sehingga kedua belah pihak mendapatkan makna yang berarti bahwa mereka harus terus berjuang selama masih bisa belajar dan sama-sama berjuang untuk mengubah dunia yang lebih baik lagi ke depannya. Siswa kelas menengah ke atas akan selalu diingatkan keadaan mereka yang menengah ke bawah, begitu juga sebaliknya. Bahkan sekolah mungkin juga bisa menjadi jembatan mengirimkan bantuan kecil untuk mereka melalui siswa-siswi kita juga, untuk kebutuhan-kebutuhan pembelajaran mereka supaya lebih baik lagi. Pendidikan merupakan pembentuk manusia baru yang akan menciptakan dunia baru, kiranya di masa depan, anak didik kita mempunyai sikap kritis terhadap dunia dan kenyataan-kenyataan di sekitarnya yang menindas, kemudian secara progresif mengubah dunia tersebut melalui tindakan dan aksi.

REFERENSI:

Detik.com. (2021). Belum merdeka sinyal: perjuangan getir siswa di Bengkulu belajar online. Diakses pada 25 November 2021 dari https://inet.detik.com/cyberlife/d-5681868/belum-merdeka-sinyal-perjuangan-getir-siswa-di-bengkulu-belajar-online

Kompas.com. (2021). Banyak murid di Bengkulu belajar di tepi sungai supaya dapat sinyal. Diakses pada 25 November 2021 dari https://regional.kompas.com/read/2021/08/13/144644378/banyak-murid-di-bengkulu-belajar-di-tepi-sungai-supaya-dapat-sinyal?page=all

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image