Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image saman saefudin

Healing oh Healing, Benarkah Gen Z Bermental Rapuh?

Gaya Hidup | 2022-08-09 08:56:37
Sumber gambar: https://static.republika.co.id/uploads/images/inpicture_slide/0-31319600-1577188272-1576673735_1-org-jpg.jpeg

Mbok yo sing full senyum sayang (Haa-aa-aa)

Ben aku soyo tambah sayang (Haa-aa-aa)

Rasah pusing-pusing

Gek ndang dandan, ayo kita healing

Ada yang tahu lirik lagu ini? Ya, ini adalah potongan lirik lagu “Full Senyum Sayang”, besutan musisi muda jogja, Evan Loss. Jika kamu pengguna aktif platform instagram dan rajin scroll fitur reel, mungkin pernah mendengar lagu ini yang sempat ngehits menjadi backsong beberapa bulan lalu.

Tulisan ini tidak akan membedah lagu “Full Senyum Sayang”, tapi bahwa lagu-lagu bergenre musik campursari ini bisa diterima luas kalangan muda dalam beberapa tahun terakhir, tentu menjadi catatan tersendiri. Bahkan tidak sedikit anak-anak generasi Z menikmati lagu-lagu ini.

Tentu saja ada peran mendiang Didi Kempot sehingga lagu-lagu berbahasa Jawa itu sempat diterima luas masyarakat Indonesia, mungkin mencapai puncaknya di 2019 sampai awal 2020. Setelahnya peran musisi-musisi muda macam Denny Caknan, Ndarboy Genk, Guyon Waton, Woro Widowati, dkk, hingga musisi jalanan seperti Tria Suaka, juga tak bisa dikesampingkan, sehingga lagu campursari disajikan dengan musik yang lebih catchy untuk telinga anak-anak milenial dan zilenial. Beberapa lagu bahkan diaransemen dalam lintas genre, seperti regae hingga meng-infill unsur rap dalam lagunya. Lantas, kenapa lagu-lagu tersebut bisa mendapat tempat di telinga dan hati para zilenial?

Salah satu titik temunya adalah pada tema lagu-lagunya mendayu-dayukan perasaan, tentang rapuhnya hati, galau tingkat dewa: ambyar gaes. Alasan ini juga menjawab kenapa lagu-lagu pop dengan gaya-gaya melayu hingga lagu slow rock lawas asal Malaysia yang kental balad-nya belakangan viral pula mengisi backsound di konten tiktok hingga reel instagram dan facebook. Secara umum lagu-lagu ini mengusung lirik yang menyayat-sayat perasaan karena cintanya yang ambyar. Sering dengar lagu ini kan?

Jika kau bertemu aku begini

Berlumpur tubuh dan keringat membasah bumi

Di penjara terkurung terhukum hanya bertemankan sepi

Bisakah kau menghargai cintaku yang suci ini

Lagu berjudul Tiara ini dipopulerkan di Malaysia awal 1990 an silam, tetapi belakangan amat viral ketika dicover Arffa Affar. Dan banyak lagi lagu jadul Malaysia yang viral kembali setelah dibawakan ulang penyanyi Indonesia, Buih jadi Permadani contohnya.

Sementara di Indonesia sendiri lagu-lagu pop dengan genre ala-ala Melayu serta lirik yang mendayu-dayu itu juga sempat viral, sebut saja salah satu single hits Armada berjudul “Harusnya Aku” yang begitu populer di media sosial hingga para pengamen. Lalu ada single hitsnya Tri Suaka “Aku Bukan Jodohnya. Dan untuk menyebut salah satu yang sukses mendulang pangsa pasar ini adalah kebangkitan Kangen Band lewat single-nya: Cinta Sampai Mati, yang memanen puluhan juta viewer di chanel youtube nya, hanya dalam hitungan bulan.

Dari sudut perkembangan industri musik, viralnya lagu-lagu tersebut bisa saja menjawab selera pasar musik Indonesia yang tengah menggandrungi lagu-lagu bercorak balad dengan tema liriknya yang mbaperi. Pantas saja seorang maestro composer sekaligus produser sekelas Ahmad Dhani sempat “ngambek” dan memilih puasa memperoduksi lagu baru untuk Dewa 19. Sebab terakhir Dewa 19 menyuguhkan lagu baru di 2010 lewat single “Bukan Cinta Manusia” lagu yang disebut Dhani terbaik dari segi musik, lirik, aransemen hingga video klip, ternyata tak laku di pasaran.

Tidak hanya lagu campursari atau melayu, bahkan lagu-lagu pop Indonesia maupun mancanegara yang mengusung tema “rapuhnya hati” pun laris manis di pasaran. Tentang cinta yang tak terjawab, dikhianati, perasaan yang tak dianggap, luka, kegetiran, dan lirik-lirik yang disebut generasi kekinian sebagai budak cinta alias bucin, beratnya perjuangan untuk move on. Coba dech, simak hitsnya Keisya Levronka “Tak Ingin Usai”, liriknya mencabik-cabik hati kan? Atau lagu-lagu melow kepunyaan Rizky Febian, Hingga Tua Bersama misalnya, mengandung bawang kan? Dengarkan juga “Sisa rasa” nya Mahalini yang rilis tahun 2021 lalu.

Pun dengan lagu-lagu mancanegara, sebagian besar yang viral menjadi backsound reel Instagram/facebook hingga tiktok, rata-rata liriknya bertema sejenis. Single hitsnya Joji Glimpse of Us contohnya, mengisahkan sulitnya move on dari hubungan masa lalunya. Atau lagu bucin yang amat ngehits, Angel Baby -nya Troye Sivan. It ‘ll be Okay -nya Shown Mendes yang dibawakan ulang Rachel Grae juga belum lama ini sempat viral kan. Mundur ke belakang sedikit, ada juga lagu ambyar yang amat disukai anak-anak Zilenial, Happier -nya Olivia Rodrigo, Here’e you Perfect milik Jamie Miller hingga lagu-lagu lawas yang kembali ngehits, seperti dua lagu Bruno Mars: It Will Rain dan Talking to The Moon. Sebagian besar dari lagu-lagu yang ngehits ini menggambarkan beratnya perasaan kehilangan. Seperti kata Bang Haji dalam salah satu lagunya: Kalau sudah tiada baru terasa.

Mungkin hanya sebuah lagu, apa lah artinya. Tetapi jangan salah juga, pilihan lagu seringkali mewakili suasana hati. Terlebih bagi Generasi Z yang menjadikan media sosial selayaknya dunia riil. Dalam hal mengumbar pengalaman personalnya di medsos, Gen Z bahkan lebih eksplosif dibanding generasi sebelumnya. Kadang nyaris tanpa saringan; bahagia, sedih, marah, hingga pengalaman cintanya bisa dengan mudah ditumpahkan di story WA dan instagram, atau bahkan jadi postingan reel dan tiktok. Belum lagi dengan puisi pendek hingga quote-quote tentang cinta dan penderitaan yang rajin mereka repost.

Lebih jauh, kalau lagu-lagu bertema getir sedemikian mudah viral, maka ada kemungkinan bahwa fenomena ini juga menggambarkan kualitas mental Gen Z yang rapuh. Generasi ini memang lekat dengan teknologi, kreatif, berpikiran terbuka, melek literasi finansial dan terkoneksi global, tetapi juga sekaligus lekat dengan budaya instan. Mungkin karena instanisasi ini pula, mental Gen Z cenderung rapuh ketika dihadapkan dengan beratnya dunia nyata. Beberapa ahli juga membaui gejala ini, bahwa Gen Z memiliki kerentanan mental yang tinggi, sehingga mudah depresi pula. Dari urusan pertemanan, percintaan, bisnis, hingga dunia kerja. Tak heran, konsep healing amat populer bagi generasi ini, meski maknanya sering direduksi menjadi aktivitas liburan dan menyendiri. Konon, generasi Z juga rela menghabiskan banyak uang untuk liburan. Siapakah yang butuh healing? Tentu saja siapapun yang sedang tertekan batinnya. Bisa Anda, Saya, ya Kita semua.

"Woy liburan woy...Kerja mulu, healing kita healing.." []

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image