Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Holy Wahyuni

Hai Anak Hebat! Tidak Apa Jika Kau Gagal Kali Ini

Edukasi | Sunday, 07 Aug 2022, 16:10 WIB
ilustrasi keceriaan anak (sumber thinkstock)

Menjadi juara kelas atau memiliki anak yang selalu mendapat predikat juara kelas tentu membanggakan. Sistem apresiasi dengan ranking sampai saat ini memang masih digunakan oleh Sebagian besar sekolah/lembaga pendidikan. Seusai ujian tengah semester, ujian akhir semester atau ulangan akhir tahun maka momentum pembagian rapor ini menjadi momen yang amat mendebarkan bagi sebagian orang.

Mengungkap topik pembahasan ini, saya jadi teringat dengan diri saya dulu. Masa kecil saya tidak pernah absen mendapatkan predikat juara kelas. Sejak duduk di bangku sekolah dasar, menengah pertama, hingga menengah atas, predikat itu tidak pernah lepas, bahkan hingga lulus sarjana. Mungkin itu juga yang membuat nama saya cukup popular di kalangan lingkungan sekoalh.

Saya yakin, saat itu kedua orang tua saya senang dan bangga. Saya juga lega ketika dapat mempersembahkan kado kecil di setiap momen pengambilan rapor, tentu saja berupa predikat juara hingga beasiswa.

Saya selalu bekerja keras belajar siang malam, meskipun saya tetap bisa bermain dengan teman-teman seusia saya. Saya tidak kekurangan kasih sayang, dan saya dididik dengan baik tanpa kekerasan, sama sekali.

Di balik kerja keras belajar yang saya upayakan, ada debaran jantung yang selalu memburu tatkala ulangan atau ujian berlangsung. Rasa takut dan cemas untuk tetap bisa mempertahankan prestasipun turut serta menjadi hantu pada malam-malam panjang sebelum rapor diberikan.

Saya yakin pengalaman tersebut telah menjadi garis hidup dan bagian dari cerita yang tak bijak rasanya jika disesali. Bukankah banyak yang bisa saya petik dari setiap usaha dan kerja keras saya selama ini? Saya hanya bisa menyimpulkan bahwa masa itu adalah bagian dari proses berkembangnya mindset dari tujuan pendidikan yang masih dipahami oleh sebagian masyarakat, termasuk dalam pola pengasuhan anak.

Mempersiapkan daya juang anak juga kegagalannya

Dampak apa yang sedikit banyak saya rasakan setelah belasan tahun selama sekolah menjadi ranking fighter? banyak sekali. Tentu saja dalam hal ini ada sisi positif dan kurangnya. Efek positif yang saya rasakan sampai saat ini adalah saya sadar betul bahwa saya telah tumbuh dan berkembang di tengah keluarga yang hangat dan sangat peduli. Bukan hanya peduli terhadap fisik dan kesehatan saya, juga tentang aktivitas saya, baik di sekolah, atau di lingkungan masyarakat.

Saya memiliki kesadaran bahwa setiap aktivitas menuntut ilmu, adalah hal yang tidak boleh tidak untuk diseriusi dengan sungguh-sungguh. Ada kesadaran bahwa ternyata membuat kedua orang tua atau keluarga bahagia adalah suatu kebahagiaan juga.

Namun ternyata, ada yang luput dari proses ini, yakni tentang mempersiapkan sebuah kegagalan. Entah itu kegagalan-kegagalan kecil atau kegagalan besar. Ini menjadi sangat penting untuk disadari oleh kedua orang tua, guru, dan semua yang terlibat dalam pengasuhan anak. Bahwa sangat penting mempersiapkan anak untuk memberi ruang menghadapi kegagalan.

Bahwa kegagalan adalah bukan sesuatu yang buruk dan menjadi bagian dari proses perjuangan. Bahwa ketika seorang anak gagal, hidupnya tidak berakhir saat itu. Langit dan hari yang cerah akan tetap cerah tidak menjadi kelabu. Ketika anak gagal, dia masih boleh untuk tersenyum dan mendapat apresiasi atas perjuangan dan usahanya. Ketika anak gagal, dia masih menjadi seorang anak yang hebat dan mendapat dukungan untuk bangun mencoba kembali.

Kesadaran inilah yang sebenarnya sangat penting dimiliki. Semata agar anak menjadi jiwa yang siap. Banyak sekali beredar di berita kasus pelajar bunuh diri ketika mendapat nilai rendah, atau tidak diterima di perguruan tinggi impiannya. Ketika dewasa dan memasuki dunia yang lebih kompleks, seseorang akan banyak menghadapi jatuh bangun, keberahasilan atau kegagalan berulang. Mengalami penerimaan dan bukan tidak mungkin juga akan mengalami penolakan.

Jika sejak kecil mereka hanya dibiasakan dengan apresiasi ketika ia berhasil, dan kecaman ketika ia gagal, sungguh itu akan memberikan efek bagi mentalnya. Bahkan pada kehidupannya di kemudian hari.

Ketika mendalami pembahasan isu ini, dan bergelut di disiplin ilmu kependidikan, saya sangat bersyukur. Saya bukan hanya mempelajari tentang teori belajar, namun mempelajari pembelajaran yang hendaknya memanusiakan manusia, memberi makna bukan hanya sekedar angka.

Sistem ranking dan perkembangan asesmen evaluasi

Sampai saat ini sistem ranking masih ada yang menerapkannya di sekolah, dan ada juga yang sudah tidak menggunakannya. Penilaian, asesmen, dan evaluasi kemudian semakin berkembang variasinya. Bukan hanya semata digunakan untuk mengukur kemampuan akademik anak. Namun mencakup banyak kompetensi.

Jika zaman saya dulu, isi rapor yang dominan adalah tentang angka-angkanya. Tentang nilai merah yang jangan sampai ada, atau tentang berapa angka untuk matematika dan IPA. Maka saat ini kemampuan non akademik seperti karakter dan minat bakat juga disertakan.

Rubrik atau instrumen penilaian juga semakin beragam. Mengukur motivasi anak, semangat anak, aspek sosial anak, dan minat bakatnya juga menjadi bagian yang tak terlepas dari pelaksanaan pembelajaran. Itu semua adalah kabar baik. Bahwa saat ini, anak hebat bukan hanya anak yang mendapat angka serratus pada matematikanya. Anak yang senang membantu temannya, memiliki kepedulian terhadap temannya, atau anak yang lincah dalam hobi olahraganya adalah anak yang tak kalah hebatnya. Juga tentang cerita anak-anak lain dengan segala pencapaian sederhana yang dilakukannya, sekecil apapun, dalam bentuk apapun.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image