Indonesia tak Butuh Peraturan, Tapi Edukasi Seksual Mendalam
Politik | 2021-11-26 12:47:56Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan Riset dan Teknologi Republik Indonesia (Permendikbudristek RI) Nomor 30 Tahun 2021 tentang Penanganan dan Pencegahan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi baru-baru ini dicetuskan. Peraturan Menteri tersebut menuai pro dan kontra, selayaknya peraturan tentang â kekerasan seksualâ lainnya yang sudah pernah ada atau yang sedang dirumuskan.
Permasalahan tersebut tidak jauh dari apa yang sudah disebutkan pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional dan pada sila pertama pancasila yaitu "Ketuhanan yang Maha Esa''. Banyak yang beranggapan bahwa Peraturan Menteri ini seakan-akan tidak memperdulikan aspek agama yang dimana sudah menjadi pedoman masyarakat Indonesia. Permasalahan tersebut membuahkan sebuah kebutaan terhadap permasalahan yang sedang diatur (kekerasan seksual). Mari kita bahas!
Kekerasan seksual selalu ada dan akan selalu ada jika masyarakat tidak mempunyai pengetahuan atas hal tersebut, terutama pada lingkungan perguruan tinggi. Lingkungan perguruan tinggi dirasa sebagai salah satu tempat yang paling sering terjadi kekerasan seksual, dan hal tersebut tentu jadi rahasia publik. Banyak masyarakat kampus yang mengetahui tindakan keji tersebut, namun banyak dari mereka yang memilih diam. Mengapa demikian?
Peraturan atas tindakan kekerasan seksual di Indonesia masih belum memayungi segala aspek, karena kekerasan seksual tidak hanya sebatas tindakan yang dilakukan dan bagaimana cara mengadilinya. Kita sampai lupa aspek dimana korban harus diberi bimbingan, saksi harus dilindungi, dan edukasi terhadap masyarakat agar tidak melakukan tindakan tersebut. Oleh karena itu, banyak saksi dan pelaku yang memilih untuk diam karena tidak ada payung yang memayungi mereka maupun jaminan yang diberikan terhadap mereka.
Pada tahun 2019, Ditjen Dikti Ismunandar menunjukan ketidakpeduliannya terhadap kekerasan seksual yang terjadi di perguruan tinggi. Ia mengatakan bahwa permasalahan tersebut seharusnya bisa diselesaikan oleh lembaga pendidikan itu sendiri. Ia juga mengakui bahwa masih belum ada peraturan yang mengatur kekerasan seksual di kampus. Bahkan saat diberikan data atas kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan kampus Indonesia, Ismunandar tidak memberikan komentar apapun.
Nyatanya, korupsi dan senioritas sudah mendarah daging di lingkungan kampus. Apakah dengan menyerahkan kepada lembaga pendidikan pelaku kekerasan akan dihukum sesuai dengan tindakannya? Apakah korban tidak merasa trauma atas tindakan tersebut? Apakah pelaku dibebaskan dengan alasan kekeluargaan? Bagaimana perasaan korban jika melihat pelaku masih berkeliaran di sekitarnya? Pemerintah seakan-akan menganggap remeh atas permasalahan ini.
Menurut aktivis HAM, Nisrina Nadhifah, saat ini masih belum ada regulasi yang memiliki aspek krusial seperti pencegahan dan penanganan untuk korban selain Peraturan Menteri ini. Namun Majelis Pendidikan Tinggi Penelitian dan Pengembangan Pimpinan Pusat Muhammadiyah berkata lain. Lincolin Arsyad beranggapan bahwa peraturan ini memiliki potensi untuk melegalkan zina, terutama pada pasal 5 ayat 2. Namun menurut Nizam selaku Dirjen Pendidikan Tinggi, Riset dan Teknologi, tidak ada satu katapun dalam Peraturan menteri ini yang melegalkan seks tanpa pernikahan (Zina).
â Pertama, aturan itu mengatur materi muatan yang seharusnya diatur dalam level undang- undang, seperti mengatur norma pelanggaran seksual yang diikuti dengan ragam sanksi yang tidak proporsional. Kedua, Permendikbudristek No 30 Tahun 2021 mengatur norma yang bersifat terlalu rigid dan mengurangi otonomi kelembagaan perguruan tinggi. Pasal 5 Permendikbud Ristek No 30 Tahun 2021 menimbulkan makna legalisasi terhadap perbuatan asusila dan seks bebas berbasis persetujuan,â sebut Lincolin.
Komentar seperti ini yang menyebabkan kebutaan terhadap kekerasan seksual. Komentar tersebut seperti diputarkan untuk menyalah-nyalahkan Peraturan Menteri sebagaimana orang sebelumnya menyalah-nyalahkan peraturan yang sedang dirumuskan. Pemberitaan media atas hal ini juga tidak berimbang, daripada membahas substansi krusial lainnya seperti penanganan korban dan perlindungan saksi, hanya satu substansi yang terus menerus diangkat (Pasal 5 Ayat 2).
Indonesia membutuhkan edukasi lebih atas kekerasan seksual. Kekerasan seksual sudah seharusnya menjadi urgensi bagi pemerintah terutama kekerasan seksual sekarang bisa dilakukan secara daring. Tindakan kekerasan seksual seharusnya bukan menjadi rahasia lagi yang selalu ditutup-tutupi, namun harus dituntaskan secara masif agar generasi selanjutnya dapat memiliki lingkungan perguruan tinggi yang sehat. (AA)
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.