Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Prof. Dr. Budiharjo, M.Si

Eksploitasi Anak sebagai Problematika Global

Politik | Friday, 05 Aug 2022, 19:16 WIB
Semua pihak harus berkomitmen untuk menghentikan eksploitasi anak. Foto: Republika

Anak mendapat perhatian dari banyak negara. Salah satu yang disorot adalah eksploitasi anak, baik dalam hal pekerjaan, kejahatan seksual hingga perdagangan manusia (human trafficking). Hal ini yang kemudian melahirkan upaya perlindungan anak dengan lahirnya berbagai peraturan perundang-undangan.

Seiring berjalannya waktu, isu perlindungan anak semakin mendapatkan penguatan dari berbagai pemangku kebijakan, dalam hal ini negara, masyarakat dan organisasi internasional. Begitu besarnya perhatian dunia pada perlindungan anak, menyebabkan sejumlah organisasi melakukan penelaahan dan kajian intensif terhadap anak. Di kawasan Asia Pasifik, isu perlindungan anak juga mendapat perhatian besar. Empat belas negara yang masuk dalam Asia Pasifik menjadi sorotan dalam penyelenggaraan perlindungan anak. Ke-14 negara tersebut adalah Kamboja, Fiji, Indonesia, Kiribati, Laos, Malaysia, Mongolia, Myanmar, Papua New Guinea, Thailand, Timor Leste, Kepulauan Solomon, Vanuatu dan Vietnam.

Organisasi internasional ECPAT (End Child Prostitution, Child Pornography and Traficking of Children for Sexual Purposes) melakukan kajian atas isu perlindungan anak di 14 negara tersebut. Hasilnya ditemukan adanya keseriusan untuk memperjuangkan perlindungan anak, meski dalam implementasinya pelaksanaan perlindungan anak masih bersifat ad hoc, belum masuk secara integral dalam sistem jangka panjang. Lebih dari itu, pelaksanaan perlindungan anak minim anggaran, sehingga beberapa negara sangat mengandalkan donor dari pihak asing.

ECPAT memang concern pada isu perlindungan anak. Di Indonesia, sejumlah penelitian yang dilaporkannya menunjukkan isu perlindungan anak berkaitan sangat erat dengan kekerasan seksual hingga perdagangan manusia. Indonesia dianggap sebagai negara sumber dan tujuan untuk perdagangan manusia. Negara ini merupakan tujuan wisatawan dan pariwisata seksual yang terjadi di beberapa daerah. Beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya perdagangan manusia, khususnya berkaitan dengan seksual anak, karena kemiskinan dan bencana nasional.

Di Indonesia saja, dalam kurun waktu enam tahun, sejak tsunami dan gempa di Aceh pada 2004 hingga gempa di Padang, Yogkarta dan sejumlah wilayah lain pada 2005, 2006 dan 2009, mengakibatkan kerentanan tinggi dari korban anak-anak yang selamat untuk eksploitasi seksual komersial.

Diperkirakan terdapat 40.000 sampai 70.000 anak-anak korban eksploitasi seksual di seluruh Indonesia, dan 21.000 dari mereka diperkirakan terlibat praktik prostitusi di Pulau Jawa. Selain karena kemiskinan, lemahnya pelaksanaan perlindungan anak, khususnya di tingkat provinsi, adanya pariwisata seksual anak-anak, terutama di Bali dan Batam, dan praktek anak-anak perempuan yang dipaksa untuk melakukan prostitusi akibat jeratan utang atau kegagalan pernikahan di usia dini di antara usia 10-14 tahun.

Menurut data paling akurat yang tersedia di tahun 2008, 24% wanita di Indonesia, usia 20-24 tahun, telah menikah sebelum umur mereka 18 tahun. Menurut Badan PBB untuk anak-anak (UNICEF), prostitusi anak terjadi di berbagai macam tempat termasuk rumah bordir, tempat karoke, panti pijat dan mall. Telah dilaporkan pula bahwa sebagian korban prostitusi anak diperlakukan seperti penjahat dan dihukum untuk pelanggaran prostitusi oleh aparat penegak hukum.

Perdagangan manusia memang menjadi ancaman bagi kelangsungan kehidupan, khususnya anak. Sejumlah stake holder menyajikan sejumlah data terkait berapa banyak korban perdagangan manusia di Indonesia. Namun, karena sifat kerahasiaan perdagangan manusia, dan kurangnya keseragaman dalam metode pengumpulan data antara instansi pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat, sulit untuk memperoleh data yang akurat.

Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) mencatat ada 100 ribu wanita dan anak-anak yang telah diperdagangkan setiap tahunnya di Indonesia. Data tersebut dikeluarkan pada tahun 2003. Sementara, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat ada 4.000 kasus perdagangan anak di Indonesia pada tahun 2007. Sebagian besar kasus ada di Batam (400 kasus), diikuti Indramayu, Sukoharjo dan Jakarta. Lembaga Pemberdayaan Wanita yang berkedudukan di Jawa Barat melaporkan 43,5% dari korban perdagangan manusia masih berusia sangat belia, yakni 14 tahun.

Perempuan dan wanita Indonesia diperdagangkan untuk tujuan seksual dan dikirim ke Malaysia, Singapura dan Hongkong. Selain itu, ada pula data yang menunjukkan wanita asal Cina, Thailand dan Eropa Timur diperdagangkan di Indonesia untuk tujuan seksual, tidak jelas pula batasan usia anak yang diperdagangkan. Tren baru perdagangan melibatkan anak perempuan yang diperjualbelikan ke wilayah pembalakan ilegal. Kalimantan Barat dikenal sebagai wilayah di mana perempuan (dengan rentang usia 13-17 tahun) diperdagangkan secara internal dengan janji pekerjaan sebagai pelayan atau pembantu, namun kemudian dipaksa untuk masuk ke tempat pelacuran di dekat pertambangan emas dan bisnis penebangan ilegal (illegal logging).

Dari uraian tersebut, tentu harus mendapat perhatian dari pemangku kebijakan agar perlindungan anak memadai dan benar-benar dilakukan demi kepentingan terbaik bagi anak. (*)

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image