Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Tatang Hidayat

Perjuangan KH. Choer Affandi, Ulama Legendaris Pesantren Miftahul Huda Manonjaya

Agama | Thursday, 04 Aug 2022, 09:42 WIB
KH. Choer Affandi Sedang Mengajar Santri (Sumber Gambar : Dokumentasi Pribadi Prof. Dr. Syahidin, M. Pd.)

Oleh : Tatang Hidayat (Wakil Rois PPM Miftahul Khoir Bandung Periode 2014/2015) & Syahidin (Guru Besar Universitas Pendidikan Indonesia)

Raden Tumenggung Wiradadaha III dipanggil Dalem Sawidak, berkedudukan di Leuwiloa, Sukaraja. Ia disebut Dalem Sawidak, yang artinya enam puluh, karena beliau memiliki banyak sekali putra-putri keturunannya sampai enam puluh. Dalem Sawidak adalah keturunan ketiga dari bupati jalur Sukapura (Tasikmalaya) yaitu keturunan Raden Ngabehi Wirawangsa, bergelar Raden Tumenggung Wiradadaha I dipanggil Dalem Pasir Begajing selaku bupati pertama dinasti Wiradadaha. Setelah beliau wafat, digantikan Raden Djajamanggala, bergelar Raden Tumenggung Wiradadaha II dipanggil Dalem Tamela, berkedudukan di Leuwiloa, Sukaraja (1674) (Lestari, Hamijaya, & Kaniawati, 2014: 2).

Dulu setelah kesultanan Sumedang Larang menjadi lemah dengan masuknya Laskar Mataram dibawah Panembahan Senapati di wilayah Priangan Timur, 1595, Raden Suryadiwangsa I sebagai Adipati Galuh Islam berganti kiblat kesultanan dan tunduk kepada Kesultanan Mataram Islam. Hubungan pun dipererat dengan dinikahkannya Raden Suryadiwangsa I dengan seorang putri Panembahan Senopati yang kemudian melahirkan salah seorang putranya, Raden Ngabehi Wirawangsa yang kemudian menjadi cikal bakal Dinasti Wiradadaha (Lestari et al., 2014:2).

Gelar Ngabehi yang tercatat dalam sejarah Sukapura jelas menunjukkan adanya hubungan darah dengan Mataram, karena dalam sejarah Mataram, gelar Ngabehi hanya diberikan kepada keturunan Sultan Mataram walaupun hubungan darah hanya dari pihak ibu. Para bupati Sukapura adalah keturunan Raden Ngabehi Wirawangsa, bergelar Raden Tumenggung Wiradadaha I dipanggil Dalem Pasir Begajing selaku bupati pertama dinasti Wiradadaha (Lestari et al., 2014:2-3).

Choer Affandi lahir pada hari Senin, 12 September 1923 M di Kampung Palumbungan, Ddesa Cigugur, Kecematan Cigugur, Kabupaten Ciamis. Beliau merupakan anak dari pasangan Raden Mas Abdullah bin Hasan Ruba’ bin Nawawi bin Musadan bin Singawijaya bin Mohammad Alfi bin Mohammad Zen bin Syarifudin bin Tirtapraja bin Wiradadaha III (Dalem Sawidak) yang masih mempunyai keturunan Raja Mataram Islam (Lestari et al., 2014). Raden Mas Abdullah masih memiliki darah Mataram dan juga keturunan menak Sukapura dari Dalem Sawidak ke-33 (Teguh, 2018).

Adapun ibunya yakni Siti Aminah binti Marhalan mempunyai keturunan dari Wali Godog Garut. Choer Affandi merupakan anak kedua dari tiga bersaudara, beliau mempunya kaka yang bernama Husein (Darajat), dan seorang adik perempuan yang bernama Husnah (Emih) (Fattah, 2013:6 ; Lestari et al., 2014:188).

Dalam diri Choer Affandi mengalir darah bangsawan dan darah ulama yang tentunya sangat dominan dalam membentuk kepribadian beliau, hal ini terbukti dengan sikap beliau yang sangat tertarik terhadap ilmu-ilmu agama dan ilmu pengetahuan (Murtado, 2015).

Masa Belajar Menjadi Santri Kelana

Ayah Choer Affandi adalah seorang pegawai Belanda, hal itu menyebabkan kekhawatiran tersendiri bagi neneknya yang bernama Haesusi terhadap diri beliau, sehingga setelah beliau menamatkan pendidikan umum di HIS (Hollandcsh Inlandsche School) pada tahun 1936 M (Fattah, 2013:6-7). Stelah menamatkan sekolah dasar, atas permintaan neneknya dari pihak ayah, ia tidak melanjutkan ke sekolah umum, tapi belajar di pesantren mengikuti jejak kakek buyutnya yang mendalami ilmu agama, yaitu Kiai Alfi Hasan.

Tahun 1936, pada usia 13 tahun, ia mulai menimba ilmu di pesantren. Bertahun-tahun Choer Affandi belajar rupa-rupa ilmu agama kepada banyak kiai di berbagai pesantren di Jawa Barat dan di Jawa Tengah (Teguh, 2018).

Neneknya membujuk Choer Affandi untuk mengaji di Pesantren K.H. Abdul Hamid. Disana Onong Husen (Nama Choer Affandi saat kecil) belajar mengaji selama kurun waktu enam bulan. Kemudian beliau pulang ke Cigugur dan mengaji di Pesantren Cipancur Cigugur. Selesai dari sana, beliau pergi mengaji ke daerah Sukamanah, tepatnya di Pesantren K.H. Zainal Musthafa (Fattah, 2013:6-7).

Sewaktu Onong mengaji di Pesantren Sukamanah, beliau diikut sertakan sebagai santri yang diharuskan ikut terhadap seorang santri yang bernama H. Masluh sebagai santrinya. H. Masluh adalah santri yang dimukimkan atau sudah mendapat restu K.H. Zainal Musthafa untuk membuka pesantren, maka dengan segala kepatuhan dan ketaatan beliau terhadap sang guru, berangkatlah Onong beserta rombongan mengikuti H. Masluh.

Pesantren baru yang dibuka oleh H. Masluh bernama Legok Ringgit dan di pesantren inilah Onong kecil mendaftarkan dirinya dengan nama Choer Affandi. Dimana Pesantren Legok Ringgit berjarak kurang lebih 500 meter dari pesantren Sukamanah kesebelah timur (Fattah, 2013:7).

Masluh juga mengangkat Choer Affandi sebagai anaknya beserta santri lain seperti Sadili dan Jahuri yang berasal dari Karawang, Rois dari Bogor, dan Ruhiyat dari Tasikmalaya. Tidak hanya itu, sikap keta’ẓiman Choer Affandi juga terlihat ketika beliau diperintahkan untuk belajar mengaji di Pesantren Pani’is pimpinan K.H. Shobir pada tahun 1940 M yang berada di Desa Cigadog Leuwisari selama enam bulan untuk belajar ilmu Ushūl Fiqh.

Setelah belajar di Pesantren Pani’is kemudian beliau pulang kembali ke Legok Ringgit. Setelah itu beliau diperintahkan juga untuk belajar mengaji di Pesantren Tunagan di bawah pimpinan K.H. Dimyati yang berada di Tasikmalaya untuk mempelajari ilmu astronomi yang ada pada kitab Taqrībul Maqṣod. Setelah itu beliau pulang kembali ke Pesantren Legok Ringgit (Fattah, 2013:8).

Sepulang dari pesantren Tunagan tepatnya pada tahun 1941 M, Choer Affandi kemudian diperintahkan untuk belajar mengaji tentang ilmu hisab atau ilmu falaq di Pesantren Jembatan Lima Jakarta pimpinan K.H. Mansur sampai bulan Desember 1941 M, dari Pesantren Jembatan Lima, beliau tidak langsung pulang ke Pesantren Legok Ringgit melainkan berangkat ke Pesantren Gunung Puyuh di Sukabumi pimpinan KH. Ahmad Sanusi untuk mempelajari ilmu hadis dan tafsir.

Adapun ilmu logika dan faraid dari K.H. Mahfudz di Pesantren Tipar yang masih di Sukabumi (Fattah, 2013:9). Ilmu Tasawuf ia pelajari dari Rd. Haji Didi Abdul Majid di Pesantren Wanasuka, Ciamis. Dan kepada Kiai Sayuti ia belajar Ilmu Kemakrifatan di Pesantren Grenggeng di Kebumen, Jawa Tengah.(Teguh, 2018).

Perjalanan beliau dilakukan tidak terlepas dari perintah sang guru, sepulang dari Sukabumi tepatnya pada bulan Maret 1942 M, beliau meminta pertimbangan H. Masluh untuk membuka pesantren di daerah asalnya yaitu di Cigugur. Pada tahun itu juga beliau mendirikan Pesantren Wanasuka di daerah asalnya tersebut (Fattah, 2013:9).

Walaupun sudah menjadi pimpinan atau sudah mempunyai pesantren yang lumayan besar, keinginan belajar dan mencari ilmu agama yang lebih masih diperlihatkan oleh Choer Affandi dengan mengaji kepada Kiai Abdul Hamid dan K.H. Didi Abdul Majid, yang dilakukan seminggu sekali. Sehingga dari ketekunan dan kepintaran yang beliau miliki hingga pada akhirnya beliau menjadi wakil kedua ulama tersebut dalam memberikan pelajaran kepada mustami yang menghadiri pengajian (Fattah, 2013:9).

Mama Choer (Sebutan lain KH. Choer Affandi) adalah santri dari menantu Mama Kudang sekaligus santrinya dan juga santri dari Mama Cintawana seperti halnya Mama Cipasung, Sukahideng, Sukamanah. Mama Choer memiliki ikatan tabaruk kepada Mama Kudang. Secara geneologis antara keduanya memiliki ikatan keilmuan yang kuat (Mubarak, 2020:179).

Sejarah Berdirinya Pesantren Miftahul Huda Manonjaya Tasikmalaya (7 Agustus 1967)

Sejarah berdirinya Pesantren Miftahul Huda Manonjaya diawali dari pengalaman K.H. Choer Affandi dengan Islam Politik yang dimulai ketika ia sedang nyantri di Pesantren Sukamanah pimpinan K.H. Zainal Musthafa, dan Pesantren Gunung Puyuh Pimpinan K.H. Ahmad Sanusi. Di kedua pesantren ini, beliau dididik Rūḥ al-Jihād oleh gurunya sejak mulai mengaji kitab Ajurūmiyah hingga fundamental tauhid.

Gelora jihad pun muncul di saat ia mendengar perlakukan tidak manusiawi tentara Jepang terhadap K.H. Zainal Musthafa, ketika terjadi pemberontakan Pesantren Sukamanah pimpinan gurunya terhadap Jepang. Meskipun beliau tidak secara langsung ikut serta dalam pemberontakan tersebut, Jepang pun mencurigainya dan berusaha menangkapnya. Hanya saja, beliau mampu menghindari sergapan-sergapan militer Jepang. Namun, ajaran guru-gurunya dan gerakan anti-kolonialnya sangat kuat berpengaruh pada diri K.H. Choer Affandi, sehingga menumbuhkembangkan jiwa pemberontakan dan semangat ideologi Negara Islam (Sulasman, 2015).

Jiwa anti-kolonial ini pulalah yang mendorong K.H. Choer Affandi untuk bergabung dengan Hizbullah, sayap militer yang banyak diisi oleh kalangan kiai dan santri untuk melawan Belanda di kala Netherlands-Indies Civil Administration (NICA) dan Belanda berkehendak menjajah kembali Indonesia. Pasca Perjanjian Renville (17 Januari 1948), sebagian besar wilayah Indonesia, termasuk Jawa, diklaim sebagai bagian dari Belanda.

Pusat pemerintahan Indonesia pun pindah ke Yogyakarta. Semua pasukan militer Republik Indonesia (RI) dan faksi-faksi para-militer diperintahkan untuk melakukan longmarch ke Yogyakarta. Sehingga menyebabkan Jawa Barat mengalami kekosongan kepemimpinan. Pada saat itulah, gerakan gerilya Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) menguat di beberapa daerah, terutama di Jawa Barat, yang salah satunya bersikukuh untuk mempertahankan wilayah-wilayah Indonesia dari tentara Inggris dan Belanda. Mereka pun bergerilya pada wilayah-wilayah yang ditinggalkan pasukan militer RI (Sabirin, 2003).

Pasca Konferensi Meja Bundar (KMB) tanggal 27 Desember 1949, sebagian besar Jawa kemudian diakui lagi sebagai bagian dari Indonesia dan Pemerintah Pusat di Jakarta meminta DI/TII untuk melebur ke dalam Tentara Rakyat Indonesia (TRI). Sebagian anggota DI/TII menolak untuk mengembalikan wilayah-wilayah yang dikuasainya ke dalam pangkuan Pemerintah Pusat. Maka terjadilah peperangan antara DI/TII dan Tentara Negara Indonesia (TNI) yang berlangsung dari tahun 1949-1962.

Pada waktu itu, K.H. Choer Affandi merupakan salah satu petinggi DI/TII yang cukup dekat dengan Kartosuwiryo, karena merupakan salah satu alumni Institute Suffah. Di kala pasukan DI/TII “kalah perang”, K.H. Choer Affandi turun gunung pada 1962 ketika terjadi peristiwa operasi Pasukan Gabungan Rakyat Berantas Tentara Islam (Pagar Betis) di bawah komando A.H. Nasution. Beliau menyerahkan diri kepada Pemerintah RI serta dapat diterima dan mendapatkan perlakukan yang baik dari Pemerintah RI. Waktu turun gunung beliau masih tercatat sebagai tentara aktif dan masih di gaji oleh pemerintah (Sulasman, 2015).

Setelah beliau turun gunung, akhirnya metode perjuangan beliau berubah lewat pendidikan dengan mendirikan pesantren (Agussandi, 2013). Sementara itu dari hasil penerangan beberapa sumber, kedatangan K.H. Choer Affandi ke daerah Manonjaya adalah karena beliau mengikuti anjuran yang diberikan oleh gurunya, selain karena adanya mustami atau alumni yang pernah mengikuti pengajian di Pesantren Wanasuka (Brata, 2001).

Awalnya pesantren ini terletak di tengah-tengah kampung Gobong Sari desa Cisitukaler kurang lebih 1 kilo meter arah barat daya dari lokasi sekarang ini. Saat itu pesantren sudah memiliki sebuah madrasah dan dua asama putra dan putri, karena tidak ada lahan kosong yang tersedia untuk membangun asrama yang lain. Oleh karena itu, K.H. Choer Affandi tidak mampu mengawasi santrinya dari pengaruh eksternal, dan atas petunjuk seorang guru yakni K.H. Raden Didi Abdul Majid, K.H. Choer Affandi memilih lokasi yang sekarang. Sebenarnya, beliau ditawari untuk mendirikan 3 pesantren oleh para dermawan, namun setelah ṣalat istikharah, beliau memutuskan ke lokasi yang sekarang (Adeng, 2011).

Pesantren Miftahul Huda didirikan pada 7 Agustus 1967 oleh K.H. Choer Affandi (Fauzianti, Suresman, & Asyafah, 2015). Ini merupakan simbol peralihan perjuangan dari mengangkat senjata menjadi jihad bil fikroh. Sejak berdirinya pada tahun 1967, Pesantren Miftahul Huda telah membawa dampak sosial keagamaan bagi masyarakat Manonjaya, Kabupaten Tasikmalaya. Inilah yang menjadikan pesantren Miftahul Huda sebagai pusat perkembangan Islam di kawasan Manonjaya saat ini.

KH. Choer Affandi bersama Syahidin Sedang Melihat Pembangunan Pesantren Miftahul Huda (Sumber Gambar : Dokumentasi Pribadi Prof. Dr. Syahidin, M. Pd.)

Hal itu bisa dilihat dari berbagai kegiatan sosio-religius yang telah dilaksanakan sejak berdirinya pesantren hingga saat ini (Agussandi, 2013). Seiring perkembangannya, saat ini Pesantren Miftahul Huda Manonjaya merupakan pondok pesantren salafiyah terbesar di Jawa Barat. Pesantren Miftahul Huda memiliki tiga peranan penting, yaitu sebagai lembaga pendidikan Islam, pengembangan sumber daya manusia dan pengembangan masyarakat (Adeng, 2011).

Sementara itu, hal yang menarik dan menjadi keunikan dari Pesantren Miftahul Huda sebagai hasil didikan K.H. Choer Affandi ada dalam strategi manajemen komunikasi yang diterapkan dalam pengembangan sumber daya manusia, yakni dengan manajemen komando imāmah jamā’ah yang dalam aplikasinya menggunakan doktrin ideologi tauhid sebagai falsafah dan ta’at serta patuh pada imam sebagai doktrin operasional (Prasanti, 2017).

Jejak Persahabatan KH. Choer Affandi Dengan Tokoh-Tokoh Ulama Pejuang

Uwa Ajengan – nama yang seringkali digunakan – teman yang seangkatan dengannya adalah KH. EZ. Muttaqien, KH. Ibrahim Husen, KH. Ishaq Farid, KH. Yusuf Taujuri dan KH. Sholeh Iskandar. Mereka adalah murid Pesantren Tinggi Al-Ittihadiyyatul Islamiyyah (AII) di Gunung Puyung, Sukabumi, Jawa Barat pimpinan KH. Ahmad Sanusi. Selama hidup pun, KH. Choer Affandi sering bersilaturahim dengan ulama-ulama besar lainnya seperti dengan KH. Abdullah Syafi’i (Pesantren Asy Syafi’iyyah Jakarta), KH. Noer Ali (Tambun, Bekasi), KH. Sholeh Iskandar (Pesantren Darul Falah Bogor), Buya Hamka (Al-Azhar Jakarta) dan ulama-ulama lainnya (Lestari et al., 2014:48-51).

Kembalinya Sang Permata

Bulan November tahun 1994 KH. Choer Affandi dirawat di Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung. Saat itu banyak para tokoh yang menjenguk beliau, salah satunya ada KH. Abdullah Gymnastiar (Aa Gym) Pimpinan Pesantren Daruut Tauhiid Bandung yang sekaligus pernah nyantri juga kepada KH. Choer Affandi. Di sisi lain, saat itu kebetulan adalah salah seorang mahasiswa S2 Pendidikan Umum IKIP Bandung yakni Syahidin yang sedang melaksanakan penelitian tesis di Pesantren Miftahul Huda Manonjaya dengan judul Komunikasi Kyai-Santri di Pondok Pesantren Miftahul Huda Manonjaya Tasikmalaya Dalam Membina Kepribadian : Suatu Upaya Pengembangan Pola Komunikasi Guru-Murid Dalam Pendidikan Umum (Syahidin, 1994).

Selama penelitian lapangan, Syahidin diberikan kemuliaan dan kesempatan berharga bisa bertemu langsung dan selalu mengikuti Uwa Ajengan (Sebutan Syahidin kepada KH. Choer Affandi) selama di Pesantren. Sementara itu, asbab Syahidin pula saat itu Uwa Ajengan bisa mengisi salah satu agenda Tabligh Akbar di IKIP Bandung. Ketika Uwa Ajengan dirawat di Rumah Sakit Hasan Sadikin, otomatis Syahidin ikut menjenguk dan Uwa Ajengan masih sempat menanyakan bagaimana perkembangan tesisnya.

Namun takdir berkata lain, ketika beberapa hari ujian sidang tesis mau dilaksanakan, Uwa Ajengan kembali ke rahmatullah pada hari Jum’at, 26 November 1994 di Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung. Pasca Uwa Ajengan wafat dan sidang tesis dilaksanakan, tidak heran ketika salah satu penguji bertanya kepada Syahidin bagaimanakah sosok Uwa Ajengan yang menjadi sosok sentral dalam tesisnya, maka mengalirlah air mata Syahidin, karena begitu berat menyampaikan sosok yang begitu agung yang baru saja wafat dan belum sempat membaca tesisnya.

Oleh karena itu, tulisan ini dibuat mudah-mudah menjadi salah satu ikhtiar untuk mengobati kerinduan akan sosok Uwa Ajengan yang sudah lama meninggalkan kita. Tulisan ini dibuat bertepatan saat milad Pondok Pesantren Miftahul Huda Manonjaya ke 53 (7 Agustus 1967 – 7 Agustus 2020) yang merupakan salah satu jejak dari amal dakwah Uwa Ajengan yang masih ada dan dirasakan manfaatnya sampai hari ini serta mudah-mudahan akan terus dirasakan manfaatnya untuk menjadi pelita di tengah-tengah umat hingga akhir zaman.

Sampai saat ini Pesantren Miftahul Huda masih bertahan di tengah semakin banyaknya lembaga pendidikan modern yang didirikan. Keberjalanan Pesantren Miftahul Huda tentunya tidak bisa dilepaskan dari tokoh pendirinya yakni K.H. Choer Affandi (Hidayat & Syahidin, 2019)

Penerus Perjuangan KH. Choer Affandi

Setelah KH. Choer Affandi wafat, maka perjuangan beliau dilanjutkan oleh keturunannya untuk mengembangkan pesantren, khususnya Pesantren Miftahul Huda. Diantara keturunan-keturunan beliau ada yang menjadi dewan kiai, anwar muda yaitu suatu organisasi yang terdiri dari putra putri dan cucu pendiri pesantren Miftahul Huda (Hasanudin, 2017).

Berdasarkan penuturan orang-orang terdekat beliau, dapat dipahami bahwa beliau merupakan sosok murabbi, muhajjir dan mujahid. Beliau merupakan sosok ulama legendaris yang mendidik santrinya penuh dengan totalitas, beliau mendidik santri dengan tegas bagaikan militer, itu semua dilakukan demi mencontohkan sikap disiplin.

Di sisi lain, beliau pun lembut terhadap keluarga, bahkan beliau tidak segan-segan lebih mementingkan urusan santrinya daripada keluarganya. Beliau merupakan sosok yang mampu memberi ghiroh untuk senantiasa menjaga ruhūl jihad agar tetap melakat pada keluarga dan santrinya (Lukman Dkk, 2016).

(Bersambung...)

Daftar Pustaka

Adeng. (2011). Sejarah Pesantren Miftahul Huda Manonjaya Tasikmalaya. Jurnal Patanjala, 3(1), 18–32.

Agussandi, I. M. (2013). Perkembangan Pondok Pesantren Miftahul Huda dan Dampaknya Terhadap Kehidupan Sosial Keagamaan Masyarakat Kabupaten Tasikmalaya (1980-2009). Jurnal Penelitian Pendidikan, 2(2).

Brata, Y. R. (2001). Sejarah Berdirinya Pesantren Miftahul Huda Kecamatan Manonjaya Kabupaten Tasikmalaya. Jurnal Artefak, 1(1), 50–68.

Fattah, A. (2013). Uwa Ajengan. Ciamis: Glauh Nurani.

Fauzianti, I., Suresman, E., & Asyafah, A. (2015). Model Pembelajaran Tauhid di Pondok Pesantren Miftahul Huda Manonjaya Tasikmalaya. Tarbawy, 2(2), 115–122.

Hasanudin, S. (2017). Mekanisme Religio-Politik Pesantren: Mobilisasi Jaringan Hamida dalam Politik Elektoral Tasikmalaya. Masyarakat Jurnal Sosiologi, 22(1), 53–80.

Hidayat, T., & Syahidin. (2019). Education Values Based On The Thinking Of KH. Choer Affandi And Their Relevance To The Modern Education (The Study of The Legendary Islamic Scholar of Pondok Pesantren Miftahul Huda Manonjaya, Tasikmalaya). Tadris: Jurnal Pendidikan Islam, 14(1), 27–39.

Lestari, F., Hamijaya, N. A., & Kaniawati, N. (2014). H. UU Ruzhanul Ulum, S.E. Cucu KH. Choer Affandi - Bupati DI (Perjalanan Santri Menjadi Bupati Tasikmalaya). Bandung: Pusbangter.

Lukman Dkk, A. (2016). Biografi : Mengenal Sosok K.H. Choer Affandi Ulama Legendaris Pondok Pesantren Miftahul Huda Manonjaya Tasikmalaya. Majalah Suara Ulama.

Mubarak, A. Z. (2020). Mama Kudang : Sejarha, Pemikiran, Jaringan Ulama dan Keistimewaan Ulama Kharismatik Tasikmalaya. Depok: Penerbit Ganding Pustaka.

Murtado, A. (2015). Biografi dan Pemikiran KH. Choer Affandi Dalam Dunia Pendidikan. Tasikmalaya.

Prasanti, D. (2017). Strategi Komunikasi Pengembangan Sumber Daya Manusia Pndok Pesantren Salafi (Studi Kasus tentang Komunikasi Pengembangan SDM Pondok Pesantren Miftahul Huda Tasikmalaya). Jurnal Nomosleca, 3(1), 482–402.

Sabirin, B. I. E. R. (2003). Lajur Kanan Sebuah Jalan Dinamika Pemikiran Dan Aksi Bintang Bulan Studi Kasus Gerakan Darul Islam 1940 - 1962 (Tesis). Depok: Universitas Indonesia.

Sulasman. (2015). Peasceful Jihad dan Pendidikan Deradikalisasi Agama. Walisongo, 23(1), 151–176.

Syahidin. (1994). Komunikasi Kyai-Santri di Pondok Pesantren Miftahul Huda Manonjaya (Tesis). Bandung: Program Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia.

Teguh, I. (2018). KH. Choer Affandi : Santri Kelana Diantara Perang dan Damai. Retrieved August 7, 2020, from https://tirto.id/kh-choer-affandi-santri-kelana-di-antara-perang-dan-damai-cHad

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image