Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ajeng Paramita

Pak Menteri Nadiem, Pelecehan Seksual Juga Banyak Terjadi di Dunia Seni!

Curhat | Thursday, 25 Nov 2021, 19:15 WIB

Minggu-minggu belakangan marak dibicarakan Peraturan Menteri tentang perlindungan korban pelecehan seksual di lingkungan pendidikan dalam rangka melindungi para mahasiswa/i dari dosen-dosen predator yaitu dosen-dosen yang suka menggunakan kekuasaannya sebagai pengajar untuk menjamah mahasiswa/i yang masih murni/remaja. Kalau mereka tidak mau, maka nilainya bisa jelek atau bahkan tidak lulus kuliah.

Karena itu mari kita dukung Pak Menteri Nadim Makarim dengan peraturan menteri yang melindungi mahasiswa/i dari pelecehan yang merendahkan, menghina dan menimbulkan trauma yang panjang bagi korbannya. Harapannya semoga dengan adanya payung hukum, para guru dosen predator tidak lagi beraksi di lingkungan pendidikan yang seharusnya jadi teladan!

Nah, tapi soal pelecehan seksual bukan hanya terjadi dalam lingkungan pendidikan tapi tak kalah banyak di lingngkungan kesenian yang juga dibawa naungan Kemendikbud. Alangkah baiknya kalau Permen tersebut diberlakukan juga di lingkungan kesenian yang juga tak kalah banyak kasus pelecehan seksualnya.

Ingatlah yang namanya pelecehan itu beda dengan suka sama suka. Pelecehan itu tatkala orang dipaksa dengan kekuasaan atau material untuk melakukan apa yang korban tidak disetujui

Misalnya kalau seniman senior meniduri seniman yunior dengan janji diberi les musik maka kelakukan seniman senior itu biadab dan dianggap pelecehan. Atau seniman yunior melobi seniman senior dengan bobok bareng lalu difoto terus mengancam kalau keinginannya tidak dipenuhi maka kelakuan seniman yunior tersebut bukan pelecehan tapi pemerasan berkedok hub seksual.

Di lingkungan kesenian, pelecehan semacam itu terjadi secara tidak kentara karena tertutup gaya hidup yang bebas. Padahal korban-korbannya melakukannya dengan terpaksa karena ada paksaan lewat alat politik berupa akses ke konser, media dan iming-iming tampil di luar negeri. Gaya hidup bebas telah mendorong para seniman dari desa yang lugu berubah tidak bermoral dan semakin rusak ketika diberi buku-buku pemikiran yang pada dasarnya tujuannya juga tidak seperti diceritakan para seniman senior itu! Lalu apa bedanya kelakukan semacam itu dengan pelacuran dengan ongkos sekedar meminjami sebuah buku atau gitar?!

Pak Menteri Nadiem yang terhormat! Pelecehan seksual dan pelacuran dalam rumah bordil kesenian liberal (dalam makna yang telah disalah gunakan) itu telah menimbulkan banyak korban termasuk anak-anak yang tidak jelas status orang tuanya serta anak-anak yang kehilangan orang tua karena orang tuanya direbut pelakor yang menganggap merebut suami/istri orang sebagai prestasi dalam persaingan adu bagus adu ayu adu pinter dan adu besar nafsunya. Betapa kasihan para filsuf liberal karena hasil pemikirannya disalahgunakan untuk merusak moral padahal aslinya untuk membenahi politik dan ekonomi negara! Singkatnya, filsafat dan seni sudah jadi gaya hidup untuk nidurin anak orang secara tidak bertanggung jawab!

Nasib anak-anak itu secara legal sangat menyedihkan! Nasib janda dan duda yang hancur karena direbut pelakor juga tak kalah sengsara!

Sebagai contoh adalah kasus penyair SS dengan mahasiswi U* yang sampai melahirkan anak yang tidak jelas ayahnya siapa. Kasus itu sampai sekarang buntu di kejaksaan. Padahal prakteknya SS telah menyalah-gunakan kekuasaannya sebagai seniman senior untuk menggagahi mahasiwi padahal seharusnya justru melindungi. Di situ mahasiswi tak bisa bertahan setelah diberi berbusa-busa syair dan alkohol. Pak jaksa dan pak polisi, bayangkan jika mahasiswi itu adalah anak perempuan anda! Apakah anda masih bilang itu hubungan suka sama suka?! Melahirkan anak ditinggal pergi begitu saja....

Kasus lain adalah cerita perupa AK dengan penyayi F yang juga membuahkan anak. Kasus ini sudah ramai dibicarakan di warung-warung Jogja Solo tapi semua bungkam karena seniman AK punya pengaruh kuat dengan lembaga dan kafenya yang didatangi banyak pesohor dari ibu kota dan mancanegara. Para aktivis feminis yang harusnya melindungi korban dan anaknya dari AK juga diam seribu bahasa karena para feminis ini juga teman atau bahkan anak ideologisasi AK. Singkat kata, para aktivis itu lebih berjuang berdasarkan teman atau lawan daripada kebenaran menurut ideologi yang diyakini!

Lalu bagaimana dengan nasib dan status anak dari hubungan di luar nikah mereka? Bukankah itu pelanggaran moral dan juga hukum? Ingat ya, di negara paling liberal sekali pun hukum itu dijunjung tinggi! Bahkan walau anak itu dilahirkan di Jerman, mereka masih warga negara Indonesia yang terikat dengan hukum Indonesia! Kasus ini adalah kasus berlapis: sebagai pengkhiatanan karena ada perselingkungan, pelecehan karena ada relasi kekuasaaan yang tidak imbang dan hukum karena ada anak yang lahir tanpa status ayah yang legal.

Tapi tidak semua skandal seks di lingkungan kesenian dilakukan oleh laki-lali pada perempuan, tapi juga oleh perempuan terhadap lalu-laki dan perempuan sekaligus. Misalnya yang dilakukan sosok kurator AS yang menjadi pelakor seorang musisi yang menjadi idolanya sejak mahasiswa di U*M. AS rela merebut idolanya dari perempuan lain dan tak peduli dengan anak-anaknya dan mantan istrinya yang depresi dan mau bunuh diri.

Jika AS ingin menggunakan ideologi feminis yang dianutnya sebagai dalih untuk menjadi pelakor, dia akan dihujat para aktivis feminis sejati dari seluruh dunia karena apa yang dia lakukan sesungguhnya menyalahi feminisme yang bertujuan memperjuangkan harkat dan martabat perempuan dan bukan menjadikan perempuan lain sebagai korban dari ambisi pribadinya dengan dalih kebebasan. Tapi seperti para pelaku lainnya AS juga orang kuat sehingga banyak orang-orang yang bergantung dan memilih diam seribu bahasa menyaksikan perempuan korban AS jatuh jadi singleparen dan anak-anaknya harus kehilangan figur ayah di usia yang masih dini.

Pak Menteri Nadiem, besar harapan saya agar masalah ini diperhatikan secara seksama karena orang-orang di lingkungan kesenian sudah tidak lagi bisa diharapkan. Mereka telah jatuh ke dalam ketergantungan begitu rupa dan hanya berpangku tangan menyaksikan sebagian dari mereka bersikap menghalalkan segala cara. Hebatnya lagi, para predator tersebut adalah orang-orang yang sering mendapatkan dana dari Kemendigbud dan lembaga donor asing yang membuat mereka semakin berkuasa. Karena itu, mereka perlu diaudit secara keuangan, moral dan integritasnya karena berbahaya bagi negara dan warganya.

Saya juga seorang korban, dan tak ada teman bicara,

Ajeng

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image