Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Nabila Eka putri

Indonesia Merespon Akuisisi Tiongkok atas Laut Cina Selatan

Politik | Thursday, 25 Nov 2021, 17:02 WIB

Fakta bahwa Laut Cina Selatan menyimpan banyak kekayaan alam yang melimpah di dalamnya jarang sekali diketahui publik. Hamparan perairan seluas 3.500.000 km² yang menjadi bagian dari Samudera Pasifik ini membentang dari Selat Malaka hingga Selat Taiwan. Laut ini dikenal juga sebagai salah satu jalur perdagangan tersibuk di dunia (Kristine, 2014, 1-12). Laut Cina Selatan digambarkan sebagai Maritime Superhighway untuk menggambarkan wilayahnya yang strategis dimana hampir separuh Supertank dari berbagai negara melewati jalur ini untuk berbagai keperluan baik perdagangan maupun keamanan. Wilayah Laut Cina Selatan merupakan Semi-Enclosed Sea yaitu wilayah perairan yang berbatasan langsung dengan lebih dari satu negara dalam satu alur yang sempit sehingga terjadi singgungan Zona Ekonomi dan Wilayah teritorial antar negara (Pamungkas, 2016, 1). Hal inilah yang menyebabkan sering terjadinya percikan konflik antar negara yang berbatasan langsung dengan Laut Cina Selatan. Sengketa yang melibatkan negara anggota ASEAN dengan Cina ini memperebutkan dua pulau utama yang berada di Laut Cina Selatan yaitu Kepulauan Spratly dan Paracel. Perebutan Kepulauan Spratly yang di dalamnya terdapat 7 pulau oleh Tiongkok melawan Vietnam, Filipina, Malaysia, Brunei dan Taiwan. Akan tetapi, hanya konflik Tiongkok dengan Vietnam yang masih berbuntut panjang hingga saat ini. Sedangkan, perebutan Kepulauan Paracel yang memiliki 30 pulau di dalamnya diperebutkan Tiongkok melawan Taiwan dan Vietnam (Rochim, 2017, 1).

Namun, Apa yang sebenarnya tersimpan dalam Laut Cina Selatan sehingga banyak negara memperebutkannya? Pada sebuah sumber disebutkan bahwa Laut Cina Selatan menyimpan 213 Miliar barel minyak bumi serta 900 Triliun kaki kubik gas alam. Persediaan sumber daya alam ini diperkirakan sanggup dieksplorasi hingga 30 tahun lamanya. Bukan hanya itu, Laut Cina Selatan juga menyumbang hingga 10% total tangkapan ikan di dunia. Tak heran hal ini berhasil menarik perhatian negara pesisir bahkan hingga negara superpower, Tiongkok (Citradi, 2020). Sejalan dengan kebutuhan Tiongkok terhadap minyak bumi yang tinggi untuk digunakan bahan bakar industri. Tiongkok memutuskan untuk “mengadopsi” Laut Cina Selatan dengan mengklaim 80% bagian Laut Cina Selatan dengan bertameng Sembilan garis putus-putus atau Nine Dash Line yang diukur pemerintah Tiongkok dari lokasi Tiongkok dengan Laut Cina selatan serta menambahkan pernyataan pendukung berupa nilai historis Traditional Fishing Area yang dikatakan merupakan peninggalan nenek moyang Cina. (Alunaza, 2020).

Pada kasus ini, Indonesia menjadi Non-Claimant State yaitu negara yang tidak mengajukan klaim terhadap wilayah yang bersangkutan. Akan tetapi, klaim Tiongkok atas 80% bagian Laut Cina Selatan ini turut merampas wilayah Perairan Natuna Utara yang merupakan wilayah teritorial Indonesia. Perairan Natuna yang terletak di Kepulauan Riau ini menyumbang hingga 267.000 km² dari luas total Laut Cina Selatan, tidak hanya itu Perairan Natuna juga menyimpan kurang lebih 500 juta barel minyak bumi serta 222 triliun kaki kubik gas alam. Jumlah yang fantastis ini tentu saja memerlukan proteksi khusus dari pemerintah agar wilayah ini tidak direbut oleh negara lain. Memiliki visi dan misi yang sama dengan ASEAN, Amerika Serikat bekerjasama dengan negara Asia Tenggara untuk menyelesaikan konflik ini demi menekan potensi eskalasi konflik. "Tindakan Cina dalam mengakuisisi wilayah lepas pantai telah melanggar hukum internasional. Kami (Amerika Serikat) akan mendukung negara-negara Asia Tenggara dalam mempertahankan kedaulatan atas Laut Cina Selatan berdasar hukum internasional yang berlaku." Ungkap Menlu Amerika Serikat, Mike Pompeo (Suhartono & Antara, 2020). Di sisi lain, Indonesia yang dipercayai sebagai Regional Leader dan Founding Father ASEAN, secara tidak langsung memiliki tanggung jawab besar dalam mewujudkan dan mempertahankan keamanan dan kestabilan regional. Oleh karenanya, Indonesia berkolaborasi dengan ASEAN serta pihak AS untuk mengelaborasi upaya diplomatik dengan mengadakan KTT ASEAN pada bulan Juni 2020 dan dilanjutkan dengan diadakannya KTT ASEAN-Cina pada September 2020. (Sulistyani et al., 2021, 90-98). Sebagai wujud peran aktif Indonesia dalam memastikan keamanan dan stabilitas regional, Indonesia mengambil tindakan untuk meningkatkan proteksi wilayah terkait dengan mengerahkan TNI AL untuk melakukan penyisiran dan pemantauan terhadap potensi ancaman di Laut Cina Selatan pada bulan November 2020 . Pengadaan latihan gabungan tahunan bersama Filipina dan Amerika dengan menggandeng FPDA (Five Power Defence Arrangement) yang terdiri dari Singapura, Autralia, Inggris, dan Malaysia. Pengadaan latihan ini difokuskan untuk meningkatkan profesionalisme pasukan dalam mempertahankan stabilitas dan keamanan wilayah Laut Cina Selatan. Kemudian, upaya terakhir dengan mengerahkan BAKAMLA RI sebagai basis keamanan wilayah laut milik Republik Indonesia untuk melakukan patroli di wilayah Laut Cina Selatan.

Tindakan kolaboratif pemerintah Indonesia ini harus dilakukan sebagai bentuk proteksi atas wilayah kedaulatan Indonesia serta sebagai wujud penegakan hukum internasional yang berlaku. Kemudian secara khusus tindakan yang dilakukan ini merupakan peran aktif Indonesia dalam mewujudkan visi-misi organisasi PBB dan ASEAN dalam mempromosikan keamanan regional hingga kestabilan dunia dapat terwujud.

References

Alunaza, H. (2020, Oktober). Rivalitas China, AS dan ASEAN dalam Sengketa Laut China Selatan. https://www.untan.ac.id/rivalitas-china-as-dan-asean-dalam-sengketa-laut-china-selatan/

Citradi, T. (2020, Juli 3). Ada Harta Karun Apa yang Diperebutkan di Laut China Selatan? CNBC Indonesia. https://www.cnbcindonesia.com/news/20200703144957-4-170032/ada-harta-karun-apa-yang-diperebutkan-di-laut-china-selatan

Kristine, H. (2014). Kepentingan Indonesia Memprakarsai Code of Conduct (COC) of Parties di Laut Cina Selatan. UNEJ Journal, 1(1), 1-12. Google Scholars.

Pamungkas, W. A. (2016). TINJAUAN HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP REKLAMASI PULAU-PULAU YANG DIPERSENGKETAKAN DI LAUT CHINA SELATAN OLEH REPUBLIK RAKYAT TIONGKOK. Google Cendekia, 1(1), dan. https://media.neliti.com/media/publications/164567-ID-none.pdf

Rochim, A. (2017). Tugas Pengantar Ilmu Politik “Sengketa Laut Cina Selatan”. Google Scholars. https://www.academia.edu/34896495/Sengketa_Laut_Cina_Selatan?from=cover_pagehttps://www.academia.edu/34896495/Sengketa_Laut_Cina_Selatan?from=cover_page

Suhartono, A., & Antara. (2020, July 16). Sikap Indonesia Terkait Memanasnya Situasi di Laut China Selatan. iNews. https://www.inews.id/news/internasional/sikap-indonesia-terkait-memanasnya-situasi-di-laut-china-selatan

Sulistyani, Y. A., Pertiwi, A. C., & Sari, M. I. (2021, April). Indonesia’s Responses toward the South China Sea Dispute During Joko Widodo’s Admininstration. Jurnal Universitas Pertahanan, 90-98. Google Scholars.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image