Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Atropal Asparina

Fenomena Supranatural Perspektif Filsafat Barat

Eduaksi | Thursday, 25 Nov 2021, 14:50 WIB
Salah satu poster film The Medium, film horor Thailand yang disebut sangat sukses di Indonesia dan beberapa negara Asia lainnya.

Terdapat sekurang-kurangnya dua variabel kata yang penting dijelaskan terlebih dahulu dari judul di atas: “Supranatural” dan “Filsafat”. Kata supranatural dalam kamus seperti Oxford Dictionary dijelaskan sebagai attributed to some force beyond scientific understanding or the laws of nature; like ghosts. Artinya, sesuatu yang dikaitkan dengan kekuatan di luar pemahaman ilmiah atau hukum alam. Secara lebih sederhana, “supra/super” bermakna “atas (above)” dan “natural” bermakna sesuatu yang alami atau wajar.

Namun kata “nature” sebagaimana penjelasan Robert Boyle dalam Selected Philosophical Papers of Robert Boyle, ternyata tidak sederhana juga pemaknaannya. Kadang yang disebut nature, “natural” adalah alam ini yang di dalamnya ada manusia yang terdiri dari jiwa dan raga. Kadang juga yang disebut natural adalah apa adanya, seperti ketika kita melihat gambar dengan tiga sisi yang terhubung, disebut segitiga, atau melihat air sebagai zat cair. Kadang juga yang disebut natural adalah lebih kepada sebuah prinsip gerak (motion), seperti batu atau air yang jatuh dari atas ke bawah, api yang menyala ke atas, sehingga bisa dibedakan dari batu yang dilempar ke atas atau air yang dipompa sebagai tidak natural. Kadang juga berkaitan dengan selisih kekuatan (agregate of power), seperti bahwa adalah alami jika kakek-kakek lebih lemah dari pada pemuda, atau yang sakit lebih lemah dari pada yang sehat. Kadang juga yang disebut natural adalah sebagaimana adanya ciptaan Tuhan atau kehendak Dewa.

Di luar atau di atas kelima persepsi kita tentang apa yang disebut natural itu, disebutlah supranatural. Meskipun kata Supra Naturam telah disebut sejak abad ke-4 M oleh kalangan Neoplatonisme, namun pada tahun 1200-an oleh Thomas Aquinas (1225-1274 M) kata supranaturalis mendapat konsep yang cukup jelas. Aquinas membagi keajaiban (miracle) dalam tiga kategori, 1) above nature, 2) beyond nature, dan 3) against nature. Tapi kemudian, kata supranatural harus menunggu sampai akhir abad tengah untuk lebih populer dan “mati” di era modern sampai bangkit lagi di era post-modern. Mengapa demikian? Di sanalah perspektif filsafat Barat mendapat tempat untuk memberi penjelasan.

Sebelum Neoplatonis, perdebatan yang mendekati makna dan maksud supranatural adalah perdebatan tentang Wujud yang memuncak sejak Socrates (469-366 SM), Plato (427-347 SM), dan Aristoteles (384-322 SM). Plotinus (204-270 M)—sebagai pencetus aliran Neoplatonisme—mempunyai kecenderungan terhadap kesatuan wujud antara “Yang Fana” dan “Yang Esa.” Hal tersebut menjadikan gagasan tentang wujud dari Yunani Kuno, dikawinkan dengan ajaran mistik yang bersumber dari India dan Persia. Semua itu kemudian berpengaruh pada keyakinan kekuatan-kekuatan di luar “Yang Fana” atau “natural”, termasuk di luar kemampuan manusia itu sendiri. Ditambah, kelahiran dan kejayaan agama Kristiani di Barat dan Islam di Timur, menjadikan term supranatural lamat-lamat terus hadir di bawah term metafisika dan mistik.

Sejak Plotinus, sampai pada era filsuf Muslim seperti al-Kindi (801-873 M), al-Farabi (872-951 M), Abu Hasan al-Asy’ari (873-935 M), Ibnu Sina (980-1037 M), al-Ghazali (1058-1111) dan Ibnu Rusyd (1126-1198 M), perhatian pada “metafisika”, “mistik”, dan hal-hal “supranatural” terbilang sangat tinggi, sehingga membuahkan keakraban tersendiri di alam pikiran manusia pada abad tengah.

Metafisika, Mistik dan Supranatural: Persamaan dan Perbedaan

Istilah metafisika, mistik dan supranatural mempunyai makna dasar serupa, yakni di luar, melampaui, di atas, alam fisik (metafisika) dan natural (supranatural) sehingga dirasakan kemisteriusannya (mistik). Namun, setiap istilah dalam sebuah cabang keilmuan, selalu mempunyai kekhususan orientasi dan spektrumnya sendiri-sendiri.

Metafisika adalah cabang dalam ilmu filsafat yang berkaitan dengan proses analitis atas hakikat fundamental keberadaan wujud-wujud dan realitas. Jadi, secara umum metafisika tidak hanya asal membahas hal immaterial, tapi juga pada tataran ontologi dari sesuatu yang disebut “ada”. Nah, cabang filsafat yang disebut bisa berdiri sendiri pada akhir abad klasik ini, selalu diasosiasikan kepada Aristoteles.

Sedangkan mistik atau mistisisme adalah subsistem yang ada di hampir setiap ajaran agama dan sistem religi untuk memenuhi hasrat manusia mengalami dan merasakan emosi dekat atau sampai “bersatu” dengan Tuhan. Oleh karenanya, dengan orientasi dan spektrum makna demikian, maka dunia tasawwuf atau jalan suluk sering disebut dunia “mistik” atau “mistisisme”.

Adapun supranatural seolah mewadahi hal di luar fisik, hal di luar natural (dan normal), mewadahi secara umum saja, sehingga semua hal-hal ghaib, mukjizati, klenik, dukun, paranormal, dst, masuk pada konteks supranatural. Sangat mungkin, inilah kenapa, hal-hal yang terkait supranatural lebih keras dan terdepan mendapat stigma berupa tidak ilmiah, tidak baik, sampai meaningless (tidak berguna), meski di waktu bersamaan, lebih dekat dengan manusia secara umum, dibanding metafisika dan mistik yang lebih elite.

Mati dan Bangkitnya “Supranatural” Perspektif Filsafat Barat

Pada masa David Hume (1711-1776) urusan supranatural, juga metafisika dan mistik, dikritik habis sebagai sesuatu yang hanya mengahalang-halangi pemikiran. Sampai-sampai Hume menyebutkan “the most lively thought is still inferior to the dullest sensation” sebagai kritik kerasnya pada teori-konsep rasionalisme terlebih metafisika, mistik dan supranatural. Bagi Hume, sebaiknya pemikiran dialamatkan pada dunia empiris yang jelas-jelas kegunaannya.

Gagasan Hume yang sering disebut empirisisme radikal, kemudian disambut oleh Auguste Comte (1798-1857) dengan prinsip positivisme. Melalui fondasi kedua tokoh itulah, secara kasar dapat disebutkan, bangunan modern dapat berdiri kokoh dan angkuhnya. Minat yang besar pada sains yang empiris dan terukur juga skeptis terhadap rasionalisme murni, agama, metafisika, mistik, apalagi supranatural, menjadikan abad modern cepat berkembang secara sporadis dan meninggalkan banyak hal.

Pada tahun 1920-an, Lingkar Wina, menegaskan lagi logic of sciences yang dianggap penting untuk lebih memajukan sains yang disebut positivisme logis. Masa ini, suatu proposisi (pernyataan ilmiah) bisa disebut ilmiah jika meaningfull (berguna) dalam arti bisa dibuktikan secara konkret (verifiability). Sebaliknya, proposisi yang tidak bisa dibuktikan secara konkret, seperti soal metafisika, mistik, apalagi supranatural, akan dimasukkan pada proposisi yang meaningless (tidak berguna).

Perkembangan logic of sciences pada awal abad 20, terus semakin pesat. Baru pada masa Thomas Khun (1922-1996) dengan teorinya Shifting Paradigm hal-hal yang dianggap meaningless mendapat kemungkinan baru untuk menjadi salah satu paradigma berpikir. Terlebih pasca Khun, ada Imre Lakatos (1922-1974) dengan teorinya Reaserch Programms, muncul juga Jurgen Habermas (1929-2019) yang membagi rumpun-rumpun ilmiah pada IPA, Humaniora dan IPS, atau David B. Resnik (1962-sekarang) dengan Etika Ilmiahnya, menjadikan ruang-ruang yang sebelumnya mati, seperti metafisika, mistik dan supranatural kembali mendapat tempat di alam pikir manusia yang sebelumnya—manusia modern—menolaknya. Oleh para peneliti, masa kesadaran baru ini sering disebut post-modern.

Termasuk hal-hal supranatural kemudian terekspresikan lewat media film, terutama film horor. Penggambaran realitas yang kompleks tidak mungkin sepenuhnya diwakili dan terjelaskan oleh sistem ilmiah, apalagi yang dalam konteks tertentu sangat spesifik. Maka, lahirnya era postmo yang mengakui kembali variabel-variabel yang sebelumnya ditolak seperti metafisika, mistik, dan supranatural, ikut menggerakan laju-laju kreatif dalam bidang lainnya, seperti kesenian.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image