Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Sandri Maulani

Mendidik dengan Hati

Guru Menulis | Thursday, 25 Nov 2021, 13:18 WIB

Dalam hidup ini kita tidak dapat terlepas dari faktor keberuntungan. Ada orang yang beruntung, ada juga orang yang kurang beruntung. Tidak terkecuali untuk mereka yang menggeluti profesi sebagai guru. Ada yang beruntung jadi pegawai negeri, ada juga yang tidak. Ada yang beruntung bisa mendapat tunjangan profesi, ada juga yang tidak. Dan ada yang beruntung ditempatkan di sekolah yang siswanya rajin dan pintar, ada juga yang tidak.

Ada suatu sekolah yang bisa disebut sekolah favorit memiliki siswa yang mayoritas rajin belajar dan punya bakat pintar dari lahir. Berada di sekolah seperti ini adalah suatu keberuntungan, bagaimana tidak? Tanpa harus bersusah payah memotivasi siswanya untuk belajar, tahu-tahu mendapat prestasi atas keberhasilan siswanya. Ada guru yang menjulang namanya karena keberuntungannya berada di sekolah semacam itu.

Namun sebaliknya, ada juga yang kurang beruntung. Karena berada di sekolah yang mayoritas siswanya kurang rajin belajar dan tidak punya bakat pintar dari lahir. Guru yang mengajar di sekolah semacam ini tentunya harus bekerja ekstra keras jika ingin memunculkan prestasi atas nama siswa yang ada di sekolah tersebut.

Jika seorang guru terlalu lama di sekolah yang ‘mudah’ akan berdampak menurunnya kemampuan profesional guru tersebut. Terbuai oleh prestasi demi prestasi yang diraih siswanya menyebabkan guru tersebut tidak ada keinginan untuk terus belajar. Bisa jadi dia berpikir, tanpa belajar pun saya sudah berprestasi. Demikian pula sebaliknya, jika guru terlalu lama di sekolah yang ‘sulit’ akan berdampak menurunnya motivasi untuk berprestasi. Karena sering siswanya tidak berprestasi menyebabkan guru tersebut menganggap kegagalan itu hal yang biasa saja.

Oleh karena itu, perlu adanya rotasi tempat mengajar bagi para guru, terutama guru yang mengajar di sekolah negeri. Sekolah pemerintah yang jumlahnya banyak menyebabkan mudahnya terjadi pertukaran tempat bertugas bagi para gurunya. Agar para guru itu tetap berkeinginan untuk terus belajar, dan termotivasi untuk membuat siswanya berprestasi.

Guru yang tadinya selalu dikelilingi siswa berprestasi tetapi sekarang tidak, akan timbul usaha dari guru tersebut untuk belajar bagaimana membuat siswa yang belum pernah berprestasi selama ini menjadi berprestasi. Dan guru yang tadinya dikelilingi siswa yang malas belajar tetapi sekarang malah dikelilingi siswa yang berprestasi akan menimbulkan usaha untuk belajar lebih banyak lagi agar tidak dipandang rendah oleh siswanya sendiri karena ketidak mampuannya mengajar.

Berada di sekolah yang siswanya banyak yang malas belajar bukanlah keinginan seorang guru. Jika bisa memilih, maka semua guru akan memilih sekolah yang siswanya rajin belajar. Tetapi jika takdir menentukan dia harus berada di sekolah yang kebanyakan siswanya malas belajar, maka seorang guru harus tetap mengerahkan segala kemampuannya untuk mendidik siswanya tersebut. Walaupun itu tidak semudah yang disebutkan, karena pasti banyak rintangan yang akan menghadangnya.

Banyak faktor yang menyebabkan mengapa satu sekolah mayoritas siswanya kurang rajin belajar. Secara umum faktor penyebab itu dapat digolongkan ke dalam dua kelompok. Pertama, faktor penyebab yang datang dari dalam sekolah itu sendiri, dan yang kedua faktor penyebab yang datang dari luar sekolah. Faktor penyebab dari luar sekolah dapat dibagi lagi menjadi dua, yaitu dari keluarga dan dari masyarakat sekitar.

Faktor penyebab dari dalam sekolah datangnya bisa itu dari guru dan pegawai, kawan-kawan satu sekolah, maupun situasi lingkungan sekolah itu sendiri. Bisa jadi siswa malas belajar karena tidak adanya teladan yang baik dari guru dan pegawai di sekolah itu. Melihat guru dan pegawai yang datang terlambat, guru mengajar asal-asalan, ada guru dan pegawai yang merokok di lingkungan sekolah dan lain-lain, akan menyebabkan para siswa tidak melihat adanya figur teladan yang patut dicontoh oleh mereka di sekolah itu. Atau seorang siswa melihat kawan-kawan satu sekolah yang kebanyakan santai, kurang peduli dengan tugas sekolah, banyak bermain game, dan lain-lain, akan menyebabkan siswa tersebut ikut-ikutan dengan situasi lingkungan sekolah seperti itu. Kalaupun dia mencoba untuk tidak ikut, mungkin siswa tersebut akan mengalami perundungan karena terlihat berbeda dari mayoritas siswa di sekolah itu. Atau bisa juga karena lingkungan sekolah tersebut tidak kondusif untuk disebut sebagai lingkungan belajar, misal suasananya hingar bingar karena dekat pasar, atau terasa panas karena dekat pabrik, atau dekat bau yang tidak sedap karena dekat tempat penumpukan sampah, dan lain sebagainya.

Sedangkan faktor dari luar sekolah terutama dari lingkungan keluarga juga bisa berpengaruh. Jika seorang siswa berasal dari keluarga yang ayah dan ibunya dari kalangan yang kurang berpendidikan, akan mempengaruhi siswa tersebut. Karena tidak adanya teladan yang baik dari orang tuanya sendiri tentang bersekolah. Kadang-kadang sering kita temui adanya orang tua yang kurang peduli tentang kebutuhan anaknya di sekolah, entah itu pakaian seragamnya yang sudah lusuh, uang sakunya yang tidak cukup, buku-buku pelajarannya tidak dibelikan, dan lain sebagainya. Jangan berharap seorang anak berprestasi di sekolah sementara di rumahnya sendiri orang tua dia tidak pernah mengarahkan anaknya untuk belajar.

Yang lebih parah lagi jika orang tua tidak memberikan teladan yang baik tentang kehidupan sosial keagamaan. Misalnya orang tua yang beragam Islam tetapi tidak menegakkan salat, entah itu di rumah maupun di masjid terdekat dengan rumah nya. Maka dapat dipastikan akan banyak kita temukan siswa-siswi muslim yang tidak melaksanakan salat pada saat salat Dzuhur dan Ashar di musala sekolah. Karena mereka beranggapan bahwa orang tuanya sendiri tidak pernah marah kalau mereka tidak salat.

Atau karena faktor masyarakat sekitar tempat siswa tinggal. Siswa yang berinteraksi dengan kawan-kawan di sekitar tempat tinggalnya, sedikit banyaknya akan terpengaruh dengan kebiasaan kawan-kawannya tersebut. Bergaul dengan orang yang sering nongkrong, main game, merokok, sampai minum minuman beralkohol akan membuat siswa tadi ikut juga melakukan apa yang dilakukan kawan-kawannya itu. Kalau sudah begitu, jangan ditanya lagi, pasti siswa tadi akan malas untuk belajar dan ke sekolah.

Sebagai seorang guru memang tidak akan dapat mengontrol semua gerak gerik siswanya. Apalagi jika jumlah siswanya ratusan orang. Sangat tidak mungkin mengendalikan semuanya. Apalagi jika mereka sudah tidak berada di lingkungan sekolah, entah itu di rumah atau di masyarakat. Namun demikian, dalam keterbatasan itu seorang guru tetap harus memberikan pendidikan bagi semua siswanya. Terutama saat mereka berada di lingkungan sekolah.

Mengajar di sekolah tidak melulu menyampaikan materi pelajaran ke siswa. Karena tugas utama guru adalah mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik. Dan yang paling berat dari tugas guru tersebut adalah mendidik. Karena mendidik berarti memelihara dan memberi latihan (ajaran, tuntunan, pimpinan) mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran. Makanya, seorang guru sesungguhnya tidak hanya dituntut untuk mengajar, akan tetapi juga harus mendidik. Itulah sebabnya, motto Kementerian Pendidikan adalah ungkapan yang pernah dinyatakan oleh Ki Hajar Dewantoro, seorang pendidik nasional, seorang guru bangsa, tut wuri handayani. Secara lengkap dinyatakannya: “ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani.”

Ungkapan ini memiliki makna yang sangat dalam bagi seorang guru. Sebab guru itu adalah di depan memberi contoh. Dia harus memiliki kepribadian yang baik sehingga bisa menjadi contoh bagi anak didiknya. Di dalam Al Qur’an dinyatakan: “Laqad kana fi Rasulillahi uswatun Hasanah”, artinya: “sesungguhnya di dalam diri rasul itu adalah contoh dan teladan yang baik”. Maka para alim ulama termasuk guru yang merupakan pewaris para Nabi atau waratsat al anbiya’ juga merupakan teladan yang baik.

Mendidik adalah proses membuka cakrawala siswa tentang sebuah pemahaman atas nilai-nilai kebenaran dalam kehidupan. Membuka cakrawala siswa haruslah dilakukan dengan sukarela baik dari guru maupun siswanya. Munculnya kesadaran untuk memberi dan menerima akan terjadi ketika adanya kebahagiaan dari guru dan siswa ketika melakukan proses pembelajaran di kelas. Sehingga apa yang disampaikan akan masuk ke otak siswa dengan senang hati tanpa paksaan.

Mendidik adalah proses transformasi ilmu kepada siswa agar mereka memiliki perubahan kearah kedewasaan dan kemandirian diri secara aktif. Proses transformasi tersebut tercermin dari perubahan perilaku, sikap mental dan akhlak dari anak didik. Menurut Sardiman (2005), "mendidik" dapat diartikan sebagai suatu usaha untuk mengantarkan anak didik ke arah kedewasaan baik secara jasmani maupun rohani. Oleh karena itu "mendidik" dikatakan sebagai upaya pembinaan pribadi, sikap mental dan akhlak anak didik. "Mendidik" tidak sekedar transfer of knowledge, tetapi juga transfer of values. "Mendidik" diartikan secara utuh, baik matra kognitif, psikomotorik maupun afektif, agar tumbuh sebagai manusia yang berpribadi.

Mendidik adalah proses timbal balik antara guru dengan siswa dalam menjadi manusia yang terbaik. Agar proses mendidik bisa berjalan dengan baik maka perlu adanya proses pembelajaran yang interaktif dan menarik. Pembelajaran di kelas hendaknya dibangun dalam prinsip rumah kedua bagi anak dengan menumbuhkan suasana yang menyenangkan bukan justru sebaliknya lebih terkesan membosankan. Keberhasilan pendidikan adalah keberhasilan guru dalam mendidik anak. Oleh karena itu peran guru sebagai pendidik sangatlah utama.

Guru yang baik adalah guru yang mengenali siswanya. Mengenali siswa bukan saja tau akan nama mereka saja namun yang paling penting adalah mengenali karakter dan potensi dari siswa sesuai perkembangannya. Seorang guru yang baik bisa membedakan si A dan si B. Dalam mendidik seorang guru harus jeli dengan perbedaan karakter yang dimiliki oleh masing-masing siswa.

Seringkali pembelajaran di kelas hanya mengarah pada kemampuan otak untuk menghafal namun seringkali kurang diimbangi dengan pemahaman dari apa yang dihafalkan. Siswa sering menghafal tanpa adanya penekanan pada pemahaman. Ketika ini terus dilakukan maka akan mengarah pada lahirnya manusia yang hanya tau akan teori tapi lemah akan praktik sebagai kenyataan dalam menjadi manusia yang mandiri. Oleh karena itu saatnyalah merubah cara mendidik yaitu ada penyeimbang dari apa yang dihafalkan juga harus dipahami.

Mendidiklah dengan hati agar pendidikan berhasil mengantarkan siswa menjadi manusia yang mandiri. Mendidik dengan hati menekankan pada prinsip panggilan jiwa sebagai dasar sebuah profesi guru yang disanjung tinggi. Mendidik dengan hati akan menyentuh aspek psikologis dari anak didik yang membuat proses pembelajaran di kelas penuh akan rasa kesadaran bukan menolak tentang apa yang diajarkan.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image