Vespa, Hijrah, dan Brotherhood
Gaya Hidup | 2022-07-30 13:01:52Bagi anak komunitas motor, istilah brotherhood tentu tak asing. Sederhananya, brotherhood adalah ikatan batin selayaknya saudara antara satu anggota dengan aggota lainnya di komunitas motor. Gambaran nyata dan mudah dari konsep ini mungkin bisa dijumpai pada anak-anak scooter atau komunitas vespa. Siapa yang tak iri menyaksikan solidaritas antar pecinta motor tua itu? Saat sekelompok kecil anak scooter touring, mereka tak pernah cemas soal bekal, karena anak scooter lainnya di daerah manapun mereka singgah akan dengan senang hati menyambutnya.
Suatu pagi, saya iseng pinjam vespa seorang teman, pergi ke alun-alun di kotaku. Sebuah vespa tua, produksi tahun 1970 an. Suaranya cetar. Awalnya tak PeDe naik vespa tua dengan suara yang sedikit memekakan telinga itu, tetapi perasaan itu berangsur lenyap begitu pengendara vespa lainnya yang berpapasan mendadak membunyikan klakson, kode sapa hangat sesama komunitas scooter. Ada perasaan terharu, gembira. Padahal, gua bukan anak vespra, bro! Sejak itu, saya jadi tambah respek dengan anak-anak komunitas biker, wabilkhusus anak vespa.
Dari cerita teman saya sang empunya scooter, saya semakin yakin bahwa brotherhood tak sekadar jargon gagah-gagahan anak scooter, tetapi benar-benar diejawantahkan secara nyata. Pernah dia singgah di sebuah daerah saat touring berdua dengan teman scooternya, karena hari sudah malam. Tidak lama ada anak-anak vespa setempat yang tahu, lantas mereka menyambutnya hingga menginap di rumah salah satunya. Mereka tak peduli identitas wilayah dalam plat nomor polisi, sebuah vespa tua cukuplah menjadi simpul pengingat persaudaraan mereka. Sebuah ikatan brotherhood yang menakjubkan dan menggugah jiwa. Bayangkan, sebelumnya mereka tak saling mengenal, berbeda wilayah dan kebiasaan pula. Tetapi vespa tua telah mengikat mereka dalam kualitas ikatan selayaknya saudara. Dan ikatan brotherhood ini juga bisa dijumpai pada hampir semua komunitas biker.
Dari ikatan brothethood anak-anak scooter ini, imajinasi saya langsung menerobos lorong waktu, jatuh di sekitar tahun 622 di sebuah kota di Jazirah Arab: Yastrib. Itulah tahun di mana Nabi Muhammad Saw beserta para sahabat yang semakin tersudut oleh represi rezim Quraisy Mekah, memutuskan berhijrah ke Yastrib yang kelak berganti nama menjadi Madinah. Meski dakwah Nabi mendapatkan penolakan dari sebagian besar penduduk Mekah, namun tak ada yang membantah soal kualitas track record seorang Muhammad yang sejak kecil dikenal jujur dan amanah, berintegritas tinggi, tak pernah ada jejak kebohongan sekalipun.
Berita ini juga didengar penduduk Yastrib, lewat mulut pedagang ataupun mereka yang baru ritual haji di Mekah. Tetapi Yastrib saat itu telah lama berada dalam situasi perselisihan karena dua suku terbesarnya, Aus dan Khzraj, terlibat konflik panjang, lebih dari 100 tahun. Dan di beberapa tahun sebelum hijrahnya Nabi, ketegangan dua suku itu justru sedang meninggi, puncaknya adalah ketika terjadi perang Bu’as pda 2018 yang menyisakan kerugian besar di kedua pihak, pun banyak pemimpin keduanya yang tewas. Mereka akhirnya menginsafi dampak besar dari pertikaian berkepanjangan ini dan memutuskan memulai jalan rekonsiliasi. Sayangnya, mereka tak memiliki figur kuat yang adil dan amanah untuk menyatukan mereka. Maka gayung pun bersambut, berita soal Muhammad ibarat jawaban langit untuk mereka. Inilah sosok ratu adil yang mereka cari dan nanti-nanti. Aus dan Khazraj pun bersepakat, menjadikan Muhammad Saw sebagai titik temu.
Tahun 621, perwakilan dua suku melakukan misi diplomatik degan Nabi, sampai lahirlah perjanjian Aqabah 1 dan Aqabah 2. Mereka siap menjadikan Muhammad Saw sebagai pemimpin, dan menerima Islam sebagai agama mereka. Sebuah win-win solition yang indah, dakwah Islam boleh saja ditolak dan direpresi di Mekah, tetapi siapa sangka Islam lah yang mampu menyatukan Yastrib dari konflik dan peperangan berkepanjangan. Dua seteru bisa disatukan dalam damai melalui kepemimpinan Muhammad yang adil dan amanah.
Tidak cukup menyatukan Yastrib, Nabi akhirnya mempersatukan para pengikutnya dari Mekah dengan pengikut barunya di Yastrib ketika memutuskan hijrah pada 622. Orang-orang Islam yang terpojok di Mekah terpaksa meninggalkan tlatah kelahirannya untuk memulai kehidupan di tempat baru: Yastrib. Tidak hanya dipersatukan, orang-orang Mekah yang berhijrah (mujirin) dengan para penolongnya di Yastrib (anshar) ini bahkan dipersaudarakan dalam naungan Islam. Sebuah drama kemanusiaan yang mengharu biru pun terjadi. Para muhajirin yang telah kehilangan seluruh harta bendanya disambut dengan solidaritas tingkat dewa dari orang-orang anshar. Setiap keluarga Yastrib menyambut satu keluarga Mekah dengan hangatnya, menganggap mereka sebagai saudara.
“Saudaraku, sekarang rumahku adalah rumahmu, hartaku adalah hartamu, dan ambillah salah satu dari istriku jika kau menginginkannya”. Begitu kurang lebih sambutan penduduk Yastrib dalam bahasa kita. Membayangkan bagaimana orang yang telah nyaris kehilangan segalanya: keluarga, harta, rumah, dan bahkan tanah kelahiran, tetapi penduduk Yastrib menyambutnya para Muhajirin ini ke dalam pelukannya, seolah mereka adalah anggota keluarga yang telah kembali. Bagaimana mungkin, mereka yang bahkan tak saling kenal, berbeda suku dan wilayah, bisa dipersatukan dalam ikatan persaudaraan yang amat erat. Bagaimana mungkin penduduk Yastrib rela membagi rumah, harta, hingga istrinya untuk orag-orang Mekah dengan penuh kerelaan.
Tetapi hebatnya lagi, para Muhajirin ini juga tidak serta merta aji mumpung. Mentang-mentang diberi fasilitas dan kemudahan lantas menjadi serakah. Mereka tetap tahu diri, tahu batasan, mengerti kepatutan. Salah satu contoh yang fenomenal ada pada diri Abdurrahman bin Auf, seorang muhajirin yang notabene milyarder. Sebagai pengusaha, Abduurahman bin Auf juga harus merelakan seluruh kekayaannya ditinggalkan di Mekah, ia hijrah ke Yastrib dengan kondisi miskin, hanya berbalut pakaian yang dikenakannya. Keluarga kaya Yastrib yang dipasangkan untuk menyambutnya pun lantas menawarkan rumah, harta, dan fasilitasnya kepada Abdurrahman bin Auf. Tetapi apa yang terjadi? Sahabat Nabi ini pun menolaknya, ia hanya minta ditunjukkan di mana lokasi pusat bisnis Yastrib. Dengan jiwa bisnisnya, Abdurrahman memilih akan memulai usahanya kembali dari nol. Dan benar saja, beberapa tahun setelahnya, Abdurrahman kembali menjadi saudagar kaya raya.
Begitulah gambaran indahnya persaudaraan dengan pondasi iman. Nabi pun mengganti nama Yastrib menjadi Madinah, yang bisa bermakna sebagai kota, pusat peradaban. Karena dari persaudaraan itu pula kelak Madinah menjadi pusat peradaban baru yang bercahaya, sehingga dijuluki Madinatul Munawarah. Dan tonggal tersebut tidak bisa dilepaskan dari sosok Rasulullah yang sukses menyatukan dan mempersaudarakan mereka, sehingga disebut pula dengan kotanya Nabi (Madinatun Nabi). Maka dari sejarah hijrah, kita dipertontonkan dengan drama kemanusiaan yang membisukan lidah (speechless). Sulit dicarikan padanannya: sebuah kualitas brotherhood yang menakjubkan. []
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.