Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Liza Arjanto

Cinta Rain

Sastra | Wednesday, 24 Nov 2021, 00:04 WIB
Sumber foto : https://pixabay.com/id/photos/gadis-kesedihan-kesendirian-sedih-3421489/

“Aku mencintainya.”

Aku terperangah menantap wajah sendu di hadapanku. Keningku berkerut. Dengan hati-hati aku berbisik, “ Bukankah kau sudah melukainya? Bahkan berulang-ulang kali?”

“Ya. Aku tahu.” Wajah Rain semakin sendu. “Tapi aku tak bisa berpaling darinya.” Aku menatap Rain lagi. Mencari celah keraguan dari wajah manis itu.

“ Tapi ini konyol, Rain.” Aku mengingatkan. Rain hanya menganggukkan kepala. “Lelaki itu bahkan sudah tidak mau menghubungimu lagi. Dia sudah pergi, Rain.”

“Aku tahu... Aku tahu! Tapi aku tak bisa melupakannya. Seluruh atmosfer hidupku dipenuhi bayangan dirinya. Aku terjebak di dalamnya. Aku tak bisa berpaling, meski ribuan kali kucoba. Nyatanya aku semakin terjerumus dalam lembah cintanya.” Rain tersedu.

“Lantas, mengapa dulu kau melukainya?”

“Dulu aku emosi. Ok?” Mata indah Rain kembali menatapku. Berkaca-kaca penuh rasa sesal. Aku terdiam.

“Mintalah maaf padanya,” saranku kemudian.

“Kau tahu, aku sudah melakukannya. Aku sudah meminta maaf padanya.”

“Andre memaafkanmu?”

“Entahlah, kurasa ia masih marah padaku.” Rain kembali berkaca-kaca. “Aku memang terlalu. Berulangkali aku membuatnya marah. Mengabaikan larangannya. Padahal ia hanya memintaku untuk menjadi lebih baik.”

“Sudahlah, Rain. Lupakan saja Andre. Masih banyak laki-laki lain...”

“Tapi tak ada yang seperti Andre !” potong Rain. “ Hanya Andre yang bisa mengerti dan memahamiku.”

“Tapi tak mungkin kau terus begini, Rain. Umurmu terus melaju. Tidak sayangkah kau dengan masa mudamu? “

Rain terdiam sejenak. Memainkan ujung cardigan yang membungkus tubuhnya. Kemudian memandangku dengan sorot yang sulit kuartikan.

“Aku tak yakin akan bisa mencintai lelaki yang lain. Andre adalah poros cintaku. Seluruh perasaaanku hanya terpusat padanya. Hanya dengannya aku yakin bisa mengakhiri kesendirianku ini.”

“Tapi...”

“Aku akan menunggunya. Selamanya... Jika memang harus begitu.” Wajah Rain tampak bersungguh-sungguh. Aku tahu, tak mungkin mengubah pendapat Rain. Kepalanya, adalah salah satu ciptaan Tuhan yang paling keras. Diam-diam aku merasa kasihan pada Andre. Alangkah malangnya Andre bila menikahi Rain. Rain akan menjadi istri yang sulit diatur. Aku menghela napas.

Rain dan Andre adalah pasangan yang aneh. Mereka selalu terjebak dalam pertengkaran-pertengkaran yang tak ada habisnya. Segala hal seakan layak untuk diperdebatkan.

Puncaknya adalah setahun yang lalu, saat Andre meminta Rain untuk tidak terlalu sering menghabiskan waktunya bersama anak-anak jalanan yang selama ini menjadi salah satu aktivitas favorit Rain. Rain marah besar. Ia menganggap Andre terlalu mengatur hidup dan mengekang kebebasannya. Ia meminta Andre untuk tidak menghubunginya lagi. Mereka putus. Sejak saat itu, Andre seolah menghilang dalam kehidupan Rain.

Pada mulanya hidup tanpa teguran Andre amat menyenangkan bagi Rain. Ia semakin asyik menjalani berbagai aktivitasnya. Sementara teman-teman kuliahnya sibuk mengerjakan tugas dan menyiapkan seminar, ia larut dalam kegiatan di luar kampus. Dari hari ke hari ia sibuk mengurus anak-anak jalanan dengan mendirikan rumah singgah, mengunjungi panti-panti jompo dan pusat-pusat rehabilitasi anak-anak bermasalah.

Semua kegiatan itu menimbulkan kehangatan dalam diri Rain. Ia merasa bahagia setiap kali melihat binar yang terbit mata anak-anak jalanan, saat mendengar ia membacakan sebuah buku cerita. Ia merasa hangat setiap kali menggenggam tangan-tangan keriput dan mendengar cerita-cerita tentang masa lalu para penghuni panti. Mereka menjadi sumber inspirasi yang tiada habisnya bagi Rain.

Akan tetapi, di dalam hatinya, sebuah ruang terasa hampa. Diam-diam ia merindukan kehadiran Andre. Teguran-tegurannya agar tidak terlambat makan, agar tidak bolos kuliah, tidak melupakan kebutuhan dirinya sendiri. Andre semacam rem bagi Rain. Ia memahami kebutuhan Rain untuk mengobati luka masa kecilnya yang hidup di panti asuhan dan jauh dari sentuhan kasih sayang.

Andre yang mengenalkannya pada dunia. Mendukungnya untuk tetap melanjutkan sekolah dan kuliah. Andre yang mengajarinya cara mencari uang melalui tulisan. Andre mengajarinya banyak hal. Dan Rain, kerap menganggapnya menjengkelkan. Ah, betapa Rain merindukan pertengkaran-pertengkaran itu.

Ia sudah berusaha menghubungi Andre. Mencari Andre di tempat kerjanya. Namun Andre menghilang. Bahkan keluarganya pun tak tahu di mana Andre berada. Andre membawa pergi kemarahan dan ... separuh hati Rain. Sejak itu, Rain tak pernah merasa utuh. Ia mulai memperhatikan hidupnya sendiri dan menjalaninya seperti keinginan Andre. Hidupnya menjadi lebih teratur dan sehat. Namun terasa hampa tanpa kehadiran Andre.

*

Bip bip . Bip bip

Andre, desisku. Dadaku berdebar kencang. Kuabaikan tatapan curiga Rain. Biarlah, biarkan ia menunggu, bisikku dalam hati. Sudah lama sekali aku tak menerima pesan dari Andre. Lelaki yang kucintai sepenuh hati.

Setelah deburan dadaku tak lagi gemuruh, aku meraih ponselku dan membuka pesan masuk. Dejavu. Andre hanya menuliskan bait-bait puisi yang selalu berhasil mengguncang jantungku. Sambil menahan senyum aku membaca bait-bait puisi itu,dan menahan gejolak yang membuat wajahku merona bahagia.

Puisi Tuk Rinai

rindu ini, Rinai

adalah rintik yang meluruh sepanjang tahun

tak kenal musim , tak kenal iklim

abai pada rotasi matahari dan bulan

(aku larut dalam penantian panjang tak berujung)

cinta ini, Rinai

adalah udara yang menapasi hidupku

tak kenal lelah, tak kenal menyerah

abai pada logika dan hukum alam

(aku membeku tanpa hadirmu di sisiku)

dirimu, Rinai

adalah pelangi yang menjelma dalam khayalku

pendaran warna yang menghangatkan relung terdalam hatiku

jawaban atas doa dan pintaku selama ini...

-Andre-

Ah, tidak sia-sia aku menggenggam cinta ini. Andre tidak melupakanku. Ia tetap mencintaiku, ia tetap memanggilku, Rinai. Ya, baginya aku adalah Rinai. T

Aku memandang Rain, dan Rain memandangku dengan pandangan yang sulit kuartikan. Aku mencoba tersenyum. Namun, aku tahu, aku gagal. Airmataku mengalir tanpa bisa kutahan. Aku tersedu.

“Oh, akhirnya.... akhirnya Rain, akhirnya Andre kembali. Tersenyumlah Rain. Hapus airmatamu. Kau lebih cantik tanpa airmata.”

Pelahan aku menghapus airmataku dan mencoba tersenyum. Memandang cermin yang memantulkan bayangan bahagia di wajahku. Wajah Rain.

TAMAT

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image