Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Lenia Lulu Heriyanto

Keyakinan yang Terkucilkan: Resensi Novel Maryam Karya Okky Madasari

Sastra | Friday, 29 Jul 2022, 18:48 WIB
Cover baru novel Maryam karya Okky Madasari

Judul buku : Maryam (Sampul Baru)

Pengarang : Okky Madasari

Penerbit : Gramedia Pustaka Utama

Tahun terbit : Mei 2021, cetakan kelima

Dimensi buku : Panjang 20cm, lebar 13.5cm

Tebal halaman : 280 halaman

Harga buku : Rp80.000

"Sesat atau bukan biarlah menjadi urusan Tuhan."

"Bagaimana pun jalan yang diberikan, kita harusnya bersyukur saat ini."

"Cinta lahir dari kenyamanan dan kebahagiaan. Bukan sebaliknya.”

“... dewasa tidak hanya karena usia, tapi juga karena derita.”

Kutipan di atas berhasil memikat hatiku ketika membaca novel Maryam. Sebab, memiliki makna mendalam. Melalui tulisan ini, aku akan berbagi cerita seberes membaca karya Okky Madasari yang berhasil memenangkan Kusala Sastra Khatulistiwa tahun 2012. Mulai dari kesan pertama hingga alasan kenapa novel Maryam harus dibaca.

Kesan Pertama

Pertama kali mendengar ada novel Maryam itu ketika disinggung saat perkuliahan. Ya, cuma sebatas tahu kalau novel Maryam itu ada. Lalu, iseng mencarinya di Gramedia Digital. Muncullah sampul bergradasi biru muda dengan merah muda yang menarik atensiku, ada sosok perempuan menggambarkan Maryam. Kupikir novel ini mengisahkan tentang romansa remaja, tapi terpatahkan ketika aku membaca jaket buku. Sebab, novel ini tentang mereka yang terusir karena iman di negeri yang penuh keindahan.

Sinopsis

Memeluk keyakinan yang berbeda dengan orang kebanyakan membuat hidup Maryam sering dikunjungi prahara. Bukan hanya Maryam, pun keluarganya dan orang-orang yang satu iman dengannya. Layaknya dalam bermasyarakat, jika ada yang berbeda dari kebiasaan orang banyak akan dianggap aneh dan tidak benar. Mereka sering dijuluki sesat karena dianggap Islam yang menyimpang, biasa disebut orang Ahmadi alias memeluk keyakinan Ahmadiyah. Maryam sejak kuliah merantau ke Surabaya dan tinggal dengan sesama Ahmadi, Pak Zul dan Bu Zul. Orang-orang Ahmadi rutin mengadakan pengajian, dari situlah Maryam bertemu dengan Gamal. Bisa dibilang tumbuh benih-benih cinta antara keduanya. Nahas, Gamal yang sibuk penelitian sebulan selama di Banten berubah. Bukan karena bertemu perempuan lain, melainkan imannya diuji. Gamal berkata jika apa yang selama ini diyakini adalah sesat, pun ia memilih meninggalkan keluarganya.

Dengan luka di hati, Maryam setelah lulus memutuskan kerja di Jakarta. Lagi-lagi jauh dari keluarganya, hal inilah yang membuat Maryam jauh dari orang-orang Ahmadi. Hingga bertemu dengan Alam yang mirip dengan Gamal. Alam pun menjadi suaminya, tetapi bukan seorang Ahmadi. Orang tua Maryam, Pak Khoiruddin dan Bu Khoiruddin kecewa atas pilihan Maryam. Pernikahan Maryam pun tak melulu diselimuti bahagia. Ada mertua yang belum sepenuhnya menerima masa lalu Maryam sebagai Ahmadi dan suaminya yang mengutamakan ibunya.

Maryam pun memutuskan menggugat cerai Alam dan kembali ke rumah orang tuanya di Lombok. Nahas, orang tuanya terusir dari kampung karena seorang Ahmadi. Dengan penuh kemalangan Maryam mencari keluarganya, rumahnya, hidupnya yang terkucilkan di tanah sendiri. Dari situlah cerita mereka memeluk keyakinan yang terkucilkan dimulai.

Kelebihan

Novel Maryam berhasil mengangkat cerita tentang kaum minoritas yang hidup berdampingan dengan kaum mayoritas. Alur campuran yang digunakan tidak terlalu membingungkan karena meleburnya cerita masa lalu dan masa kini. Secara keseluruhan PUEBI aman, ada beberapa kata yang menggunakan gaya selingkung. Pun bahasanya mudah dipahami dalam sekali baca. Kisah romansa Maryam dan suaminya adalah adegan yang kutunggu-tunggu walaupun hanya diceritakan sedikit. Penulis sukses membuatku tidak bisa menebak akhir dari cerita Maryam.

Kekurangan

Saat membaca novel Maryam, ada beberapa hal yang mengganggu. Dalam narasi penulis menggunakan sudut pandang orang ketiga, kata ganti ‘ia’, akan tetapi aku menemukan satu dua atau lebih yang tertulis ‘dia’. Paling menggangguku ketika membaca kata yang dipisahkan tanda hubung, padahal tidak harus memakainya. Misalnya, mema-sak, meng-antar, akhir-nya, dll. Bukan dalam ketiga kata itu saja aku menemukannya, tetapi banyak. Pun panjangnya narasi dan minim dialog membuatku bosan.

Aku merasa sangat asing ketika bertemu Ahmadi dan Ahmadiyah dalam novel Maryam. Kupikir akan ada penjelasan, tapi ternyata tidak. Karakter orang-orang Ahmadi dalam cerita ini sangat berpegang teguh dengan iman mereka. Ketika terkucilkan dan dianggap sesat, mereka bahu membahu memberikan semangat, kalimat penenang, hingga membuat mereka bisa bertahan. Aku melihat dalam novel ini orang Ahmadi sebagai tertindas dan orang Islam sebagai penindas. Kesimpulan itu aku dapat setelah membaca novel Maryam yang dipenuhi konflik akan keyakinan yang dipercaya mereka. Entahlah, intinya menceritakan kaum minoritas yang dikucilkan kaum mayoritas.

Hasil Membaca Novel Maryam

Setiap novel pastinya bernilai, dalam novel Maryam mengajarkan kita untuk tidak menaruh harap yang terlalu besar kepada orang lain. Pun hati-hati bercerita tentang segala hal yang belum menjadi nyata. Mengingatkan jika kekerasan tidak dibenarkan apapun alasannya.

Lima Alasan Kenapa Harus Baca Novel Maryam

Aku mau membuatmu tertarik dengan Novel Maryam melalui alasan-alasan yang kutulis di bawah, kalau belum tertarik berarti Maryam bukan seleramu.

1. Kalau kamu suka cerita yang penuh konflik, mungkin novel Maryam cocok menjadi temanmu.

2. Kalau kamu ingin sesuatu yang ‘beda’, Maryam lah jawabannya.

3. Kalau kamu bosan membaca cerita yang itu-itu saja, berkenalanlah dengan Maryam.

4. Kalau kamu kepo rasanya menjadi minoritas, kepoin saja Maryam.

5. Kalau kamu pengin baca novel yang tidak terlalu tebal, bacalah Maryam.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image