Mengenal Istilah 'Sesepuh Bangsa'
Agama | 2021-11-23 12:19:14Bagi kaum milenial yang bangga dengan ke-milenial-annya, harap diingat bersama-sama bahwa kita mempunyai sesepuh, lebih tepatnya sesepuh bangsa. Beruntungnya kita mempunyai sesepuh yang tidak sedikit beserta rupa-rupa keahlian yang mengagumkan. Mereka ibarat payung-payung yang bisa meneduhi siapa saja dari hujan atau panas. Berkat para sesepuh yang mulia itu, kita tidak perlu berpusing ria memulai berbagai hal dari nol. Seperti mengahdapi arus era serba-digital.
Salah satu dosa terbesar manusia milenial menurut saya adalah culangung atau sering tidak menganggap mempunyai sesepuh. Akibatnya, ada tata-titi dan undak-usuk atau tata krama yang kita abaikan. Seolah makhluk milenial ini adalah yang paling tahu segalanya, paling canggih, paling berhak, paling modern dan kreatif, dari pada sesepuh-sesepuh yang kerap dianggap kolot dan terbelakang-tertinggal, hanya karena mereka tidak âsegilaâ kita pada dunia internet.
Terdapat hal-hal yang memang tidak mungkin dirasionalisasi sepenuhnya dari cara pandang maupun teknis atau prosedur para sesepuh dalam menghadapi arus era ini--terlebih sebentar lagi menyongsong era 5G. Apalagi jika cakupan makna rasional yang dimaksud kaum milenial adalah yang tidak sama sekali melibatkan variabel ilahiah. Karenaya, bangunan-bangunan para sesepuh penting kita pelajari sebelum terlebih dahulu kita sukai atau benci secara sangat emosional dan tanpa pernah tahu sabab musababnya.
Buya Syafiâi dan Mbah Nun
Sekali lagi, bangsa sebesar dan sehebat Indonesia ini, telah sedang juga akan mempunyai sesepuh bangsa yang memayungi yang meretas jalan-jalan seperti mustahil awalnya menjadi mungkin. Di antara sekian banyak itu, atas dasar pilihan subjektif yang bersumber dari pembacaan serta proses belajar yang teramat sangat terbatas dan sedikit, dalam tulisan ini akan dikedepankan dua sesepuh bangsa: Ahmad Syafii Maarif (Buya Syafii) dan Emha Ainun Najib (Cak Nun atau sekarang Mbah Nun). Sekali lagi, terbatasnya hanya pada dua tokoh ini, bukan dimaksudkan bahwa sesepuh bangsa ini hanya beliau berdua, bukan. Begitu banyak sesepuh bangsa ini yang masih membersamai kita hari ini. Namun keterbatasan saya sebagai penulislah, yang hanya memfokuskan pada dua sesepuh bangsa ini.
Kedua sesepuh yang mulia ini, adalah figur yang sangat produktif dalam menulis terutama soal keislaman di dunia internet. Baik Buya Syafii atau Mbah Nun sudah menulis ribuan artikel, puluhan sampai seratus buku dan masih beraktivitas kaliber nasional sampai internasional. Uniknya, ide keislaman keduanya tidak hanya keislaman saja, tapi juga menyentuh sisi kebudayaan, kemanusiaan, dan kebangsaan.
Sifat multidisiplin-multidimensi kedua sesepuh kita ini, secara umum akan menyulitkan kita untuk mengidentifikasi untuk sekadar menyapa, dengan atau sebagai apa. Apakah ustaz, ulama, kiai, cendekiawan, aktivis, budayawan, penulis, negarawan, seniman, atau apa? Sebab setiap pilihan sebutan itu, selalu akan dirasa ada sesuatu lain yang tidak ter-cover atau ter-jamâu dalam pilihan sebutan itu. oleh karena itulah, saya lebih memilih menyebut dengan kata âsesepuhâ atau âsesepuh bangsaâ.
Tanpa sedikit pun hendak merendahkanânaudzu billahi min dzalikâbagi saya orang kampung, kata sesepuh adalah yang paling tepat dialamatkan pada seseorang yang selain sangat dihormati dan dipercaya juga terbukti memberikan dampak nyata lewat pengalaman panjangnya. Mungkin secara semantik, kata sesepuh juga mencakup makna yang dikandung oleh âdatukâ, âtetuaâ, âsintuaâ, âpuakâ dan lain sebagainya. Medan sematik itu kemudian terkristalisasi lewat sapaan akrab namun penuh penghormatan masyarakat berupa âBuyaâ pada Ahmad Syafii Maarif menjadi hanya Buya Syafii dan âMbahâ kepada Emha Ainun Najib menjadi hanya Mbah Nun.
Buya Syafii lahir pada 31 Mei 1935 (sekarang berusia 86 tahun) di Sumpurkudus, Sijungjung, Sumatera Barat. Mbah Nun lahir pada 27 Mei 1953 (sekarang berusia 68 tahun) di Jombang, Jawa Timur. Perjalanan hidup Buya Syafii telah lengkap disampaikan dalam buku autobiografinya yang berjudul Titik-titik Kisar di Perjalananku: Autobiografi Ahmad Syafii Maarif dan sampai sekarang terus menulis di kolom Resonansi Republika dan media lainnya. Sedangkan perjalanan hidup Mbah Nun, telah dituliskan juga secara autobiografis dalam kolom Kebon di caknun.com, dan terus juga produktif menulis atau âmemberikanâ diskusi di kanal Youtube sampai detik ini.
Difusi gagasan yang otentik dari sesepuh kita ini, sejatinya berjalan dengan snagat baik. Buya Syafii menjadi inspirasi dibentuknya Maarif Institute sedangkan Mbah Nun adalah inisiator gerakan Maiyah. Keduanyaâbaik Maarif Institute dan Maiyahâtelah bergerak di level internasional tanpa meninggalkan local wisdom sebagai identitas bangsa Indonesia. Meski demikian, apresiasi terhadap keduanyaâbaik kepada sesepuh secara langsung atau kepada gerakan yang terinspirasi dari keduanyaâmasih terbilang jauh ketimbang apa yang telah dilakukan keduanya.
Pada tulisan berikutnya, secara berkala saya akan menunjukkan bagaimana kedua sesepuh kita menghadapi dunia serba-digital atau lebih khususnya menghadapi keislaman dalam dunia internet. Untuk sumber Buya Syafii saya ambil dan pelajari dari sebagian tulisannya di Kolom Resonansi juga beberapa buku penting beliau. Adapun Mbah Nun saya ambil dan berusaha pelajari dari kolom Kebon di caknun.com. Bersambung.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.