Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Prof. Dr. Budiharjo, M.Si

Bersikap Objektif terhadap Ibu Kota Nusantara

Info Terkini | 2022-07-26 09:43:30

Hal paling sulit saat ini adalah bersikap objektif terhadap segala sesuatu. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), objektif adalah adjektiva (kata sifat) mengenai keadaan sebenarnya tanpa dipengaruhi pendapat atau pandangan pribadi. Seringkali, karena pandangan politik yang berbeda, kita kehilangan penilaian objektif.

Ibu Kota Nusantara (IKN) telah ditetapkan melalui UU Nomor 3 Tahun 2022 tentang IKN. UU tersebut ditandatangani dan diundangkan pada 15 Februari 2022. Dengan Undang-Undang ini dibentuk Ibu Kota Nusantara sebagai Ibu Kota Negara; dan Otorita Ibu Kota Nusantara sebagai lembaga setingkat kementerian yang menyelenggarakan Pemerintahan Daerah Khusus Ibu Kota Nusantara. Ini menjadi UU yang sangat singkat dan cepat disahkan. Pembahasan drafnya tidak lebih dari satu bulan, dan kemudian sudah sah menjadi UU. Pembentukannya pun tanpa melibatkan publik sebagai pemilik kedaulatan nasional.

Upaya memindahkan ibu kota bukan kali ini saja, melainkan sudah diwacanakan sejak Presiden Soekarno. Bapak Proklamator saat itu menyebut pemindahan ibukota saat meresmikan Palangka Raya sebagai ibu kota Provinsi Kalimantan Tengah pada 1957. Saat itu, Bung Karno ingin merancangnya menjadi ibu kota negara. Hal itu menurut Bung Karno sudah tertuang dalam masterplan yang ia buat sendiri dalam pembangunan kota tersebut pada masa kemerdekaan. Dengan gaya retorikanya, Bung Karno kembali menyebut Palangka Raya sebagai calon ibu kota negara pada Seminar TNI-AD I di Bandung pada 1965.

Era Orde Baru pun tidak lepas dari wacana pemindahan ibu kota. Soeharto menerima gagasan pemindahan dengan mengusulkan Jonggol sebagai ibu kota negara. Namun, gagasan itu tidak pernah terlaksana hingga Soeharto akhirnya lengser ke prabon.

Era SBY ramai kembali soal pemindahan ibu kota. Pada Oktober 2010, SBY menawarkan tiga opsi untuk mengatasi kemacetan di Ibu Kota Jakarta. Pertama, mempertahankan Jakarta sebagai ibu kota maupun pusat pemerintahan dengan pembenahan total. Kedua, Jakarta tetap menjadi ibu kota, tetapi pusat pemerintahan dipindahkan ke daerah lain. Presiden waktu itu mencontohkan Malaysia, yang beribu kota di Kuala Lumpur tapi pusat pemerintahannya di Putrajaya. Ketiga, membangun ibu kota baru, seperti Canberra (Australia) dan Ankara (Turki). Opsi itu muncul kembali setelah Jakarta dilanda banjir besar pada 2013. Namun, hingga SBY pensiun, ketiga opsi tersebut tidak ada yang terlaksana satu pun.

Dari wacana-wacana yang pernah ada, satu yang bisa dibuktikan adalah pemindahan ibukota memang menjadi rencana yang sudah lama. Perjalanannya begitu panjang dan menjadi upaya berbagai rezim penguasa untuk menjadikan Indonesia sebagai negara maju yang dihormati banyak bangsa.

Berbagai Problematika IKN

Pemindahan ibukota tentunya tidak semudah yang kita kira. Ada banyak problem yang dihadapi, mulai dari UU itu sendiri, pembentukan badan otorita setingkat menteri yang bertentangan dengan konsep kepemimpinan nasional hingga pembiayaan. Merujuk pada Kementerian Keuangan, skema pendanaan IKN dari APBN, skema kerja sama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU), BUMN, swasta, filantropi, crowd funding dan dukungan internasional. Ini tentu menjadi hal luar biasa dengan skema pembiayaan yang merangkul semua potensi yang dimiliki.

Hal positif dari dampak pembangunan IKN adalah membawa kemajuan daerah di wilayah Kabupaten Penajam Paser Utara dan sebagian Kabupaten Kutai Kertanegara, Kalimantan Timur. Pembangunan akan menghubungkan, menghidupkan dan membawa kemajuan di seluruh daerah IKN itu sendiri.

Tapi, apakah semuanya berdampak positif? Tentu tidak demikian. Dari sisi pembiayaan bisa dikritisi bagaimana ancaman kedaulatan negara jika pembiayaan dari asing atau berdasarkan crowd funding. Potensi penyalahgunaan dan korupsi dari sisi ini begitu besar. Jika tidak diawasi, maka pembangunan IKN bisa saja terbengkalai atau menelan biaya lebih besar lagi dari rencana semula.

Secara geologis, perusakan ekosistem dan lingkungan hidup menjadi ancaman lain. Kalimantan merupakan salah satu paru-paru dunia dengan luas hutan lebih dari 40 juta hektar. Laju deforestasi di Kalimantan sangat cepat karena banyak hal, seperti pembakaran yang disengaja, pertambangan, pembukaan lahan dan sebagainya.

Dengan adanya IKN, maka deforestasi di Kalimantan akan semakin tidak terbendung. Ini tentu menjadi ancaman. Terlebih, pembangunan IKN yang tidak melibatkan masyarakat adat, tentu sangat menyakitkan dan berdampak buruk bagi mata pencaharian mereka.

Bersikap Objektif

Pemerintah tentu harus lebih meyakinkan publik bahwa pembangunan IKN ini memang untuk kepentingan kedaulatan bangsa dan negara. Di tengah pembahasan UU yang begitu cepat dan tanpa partisipasi publik, tentunya memicu kecurigaan sesama anak bangsa. Pemerintah harus memastikan bahwa IKN bukan untuk kepentingan sekelompok pemodal.

Masyarakat pun jangan terlalu cepat menelan informasi palsu (hoaks), tendensius, dan tanpa dasar seputar IKN. Saat ini, hoaks tentang IKN begitu massif di media sosial. Tentunya akan semakin memanaskan suhu politik jelang Pilpres 2024. Kita selayaknya bersikap objektif bahwa pemindahan ibu kota memang sudah lama diwacanakan.

Tentu biaya besar dan effort yang luar biasa membutuhkan sinergi antar kelompok masyarakat. Tanpa itu semua, IKN bisa saja menjadi project mangkrak dan menjadi bahan bakar memecah belah masyarakat. Tentu ini bukan keinginan kita semua. (*)

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image