Asuransi: Bisnis Dengan Tingkat Spekulasi (Gharar) Tinggi
Agama | 2022-07-25 13:27:52ASURANSI: BISNIS DENGAN TINGKAT SPEKULASI (GHARAR) TINGGI
“Kalau terjadi kecelakaan, Bapak akan mendapat tanggungan sekian. Seandainya meninggal dunia, Bapak akan mendapat tanggungan sekian”, terang si sales asuransi jiwa dari seberang telepon, nyerocos tak henti.
“Sekiranya Bapak sakit nanti akan mendapat biaya ganti rawat inap, biaya pengobatan, dan obat” ujar si sales asuransi kesehatan yang datang ke kantor.
Tak jarang mereka setengah memaksa untuk mau bergabung di asuransi. Bahkan, katanya akad bisa dilakukan via telepon, tanpa si calon peserta membaca syarat dan ketentuan ataupun melakukan tanda tangan kontrak. Intinya, si sales selalu menyampaikan hal yang muluk-muluk dan menggiurkan. Apalagi asuransi jiwa, orang yang sudah meninggal kan tidak membutuhkan apa-apa lagi, untuk apa dikasih uang banyak.
Intinya, orang bergabung di asuransi atas dasar kemungkinan: seandainya terjadi kecelakaan, kalau meninggal, sekiranya sakit, seandainya terjadi kebakaran, kalau barang hilang atau rusak, seumpama begini, umpama begitu, dan seterusnya. Hanya kalau-kalau terjadi, tapi seringnya tidak terjadi; kecuali kematian yang memang pasti akan terjadi pada setiap manusia.
Sejarah Asuransi Konvensional
Asuransi muncul pertama kali di Italia pada abad ke-14 M berupa asuransi jasa angkutan kapal laut. Setelah itu, ketika terjadi kebakaran hebat di London yang menghanguskan hampir 13 ribu rumah dan 100 gereja (1666 M), muncul pula asuransi kebakaran. Pada abad ke-18 M, asuransi kebakaran muncul di Jerman, Perancis, dan Amerika. Lalu pada abad ke-19 M, asuransi mulai masuk ke negara-negara dunia Islam.
Hukum Asuransi
Keputusan para ulama Islam sedunia di bawah Organisasi Konferensi Islam (OKI) dalam konferensi II di Jeddah tahun 1985, “Transaksi asuransi dengan premi tertentu yang diselenggarakan oleh perusahaan asuransi merupakan transaksi dengan tingkat gharar (spekulasi) tinggi. Hal ini membuat hukum transaksi batal (menurut syariat). Oleh karena itu, transaksi ini diharamkan oleh Islam”.
Keputusan tersebut berdasarkan hal-hal berikut:
1. Pihak tertanggung, pada saat melakukan akad tidak tahu berapa jumlah uang (premi) yang harus ia bayar, karena jika terjadi kerugian yang dipertanggungkan setelah pembayaran premi pertama, maka akad langsung berakhir dan pihak tertanggung memperoleh ganti rugi. Dan jika tidak terjadi kerugian, maka pihak tertanggung terus membayar premi hingga waktu yang telah disepakati.
Pada saat akad dilakukan, pihak penanggung juga tidak tahu berapa jumlah uang yang akan ia berikan jika terjadi risiko yang ditanggungkan. Bisa jadi pihak penanggung memberikan seperti yang disepakati dalam polis, dan bisa jadi dia tidak memberikan apapun kepada pihak tertanggung jika risiko tidak terjadi.
Tingkat spekulasi dalam polis asuransi ini sangat tinggi. Sabda Nabi, “Nahaa rasuulullaahi shallallaahu ‘alaihi wasallam ‘an bai’il gharari” (bahwa Rasulullah saw melarang jual-beli gharar) HR Muslim.
2. Polis asuransi termasuk judi (qimar). Bisa jadi pihak tertanggung baru membayar premi pertama dan terjadi kerugian yang dipertanggungkan, maka pihak tertanggung memperoleh uang dari pihak penanggung jauh lebih besar daripada yang telah ia bayarkan. Pihak tertanggung beruntung dan pihak penanggung merugi. Sebaliknya, jika premi dibayarkan sampai waktu yang telah ditetapkan dalam perjanjian dan tidak terjadi kerugian, maka pihak tertanggung merugi dan pihak penanggung beruntung. Inilah hakikat judi: jika satu pihak beruntung maka pihak lain merugi. Allah SWT telah mengharamkan judi (Al Maidah: 90).
3. Polis asuransi termasuk dalam akad tukar-menukar uang dengan uang (sharf), karena pada saat tertanggung menerima uang ganti rugi, berarti ia memberikan uang dalam bentuk premi dan mendapatkan uang dalam bentuk ganti rugi. Juga terjadi perbedaan waktu (tidak tunai), yaitu uang premi telah diserahkan beberapa waktu yang lalu , namun ganti rugi baru diterima di kemudian hari. Dengan demikian, polis asuransi termasuk riba ba’i (riba fadhl dan riba nasi’ah). Padahal, dalam syariat Islam jika tukar-menukar uang dengan uang harus dengan nominal yang sama dan tunai.
sumber: https://reindo.co.id
Pengecualian
Asuransi yang dibolehkan adalah asuransi kesehatan yang diterbitkan langsung oleh badan penyelenggara pengobatan (rumah sakit) yang bersangkutan, asuransi takaful (syariah), dan BPJS. Mengenai hal ini, akan dibahas pada tulisan berikutnya.
Sumber referensi: Dr. Erwandi Tarmizi, MA, Harta Haram Muamalat Kontemporer, PT Berkat Mulia Insani, Bogor, 2021 (cetakan ke-24).
Catatan: Apabila ada kekeliruan, silakan untuk diluruskan.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.