Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Syahrial, S.T

Upaya Melecut Minat Baca Anak

Eduaksi | Sunday, 21 Nov 2021, 13:34 WIB

Sekarang ini dapat dipastikan bahwa kita akan kesulitan mencari orang yang sedang membaca buku, baik di rumah sendiri apalagi di tempat umum. Paling-paling kita akan menemukan orang sedang membaca buku di perpustakaan saja, itu pun hanya beberapa orang saja. Ini bisa kita buktikan sendiri dengan datang ke perpustakaan sekolah. Saat jam istirahat hampir semua siswa disibukkan dengan urusan jajan ke kantin, tidak ada yang istirahat sambil membaca buku atau majalah atau koran di perpustakaan sekolah. Tetapi sebaliknya, kita dengan mudah menemukan hampir di seluruh pelosok Indonesia orang yang sedang merokok. Entah itu di rumah sendiri, di dalam kendaraan pribadi atau kendaraan umum, di tempat-tempat umum, bahkan sampai ke sekolah-sekolah. Tak heran industri rokok menang telak atas industri buku, karena orang lebih senang membeli rokok daripada membeli buku.

Jika kita ingin menelaahnya, terdapat beberapa alasan yang bisa kita temukan kenapa orang Indonesia kurang suka membaca. Yang pertama, membaca buku bukan suatu aktivitas yang praktis yang hasilnya langsung bisa dinikmati. Membaca tidak sama dengan makan hidangan cepat saji. Membaca merupakan suatu proses yang wajib dinikmati. Butuh kesabaran dalam membaca. Kadangkala hasil bacaan kita terhadap suatu buku akan kita rasakan bertahun- tahun sesudahnya. Sebaliknya orang Indonesia lebih suka sesuatu yang menghasilkan entah itu duit ataupun apapun dengan kilat.

Kedua, orang Indonesia memiliki jiwa sosial yang besar. Manusia Indonesia merupakan makhluk sosial yang sangat tergantung kepada lingkungannya. Orang Indonesia suka berkumpul serta ngobrol di warung kopi atau di cafe. Bisnis yang boleh dikatakan tidak ada matinya adalah warung kopi, karena setiap hari selalu saja ada orang yang sengaja datang ke sana bukan hanya untuk minum kopi, tetapi ajang kumpul-kumpul dengan teman sambil ngobrol dan minum kopi tentunya. Sebaliknya membaca buku menimbulkan individualisme. Kala kita membaca buku, majalah, novel, atau koran kita pasti dalam kondisi sendirian dengan bacaan di depan mata kita. Kita berhubungan dengan bacaan sementara itu bacaan merupakan barang mati. Ini berbeda dengan mentalitas orang Indonesia yang suka bergaul.

Ketiga, sistem pembelajaran Indonesia tidak mengharuskan siswa-siswi untuk membaca buku. Meskipun belakangan ini sering didengungkan kampanye lima belas menit membaca sebelum pelajaran dimulai, akan tetapi pada kenyataannya hal tersebut tidak berlangsung secara terus menerus, hanya sesaat terutama saat kampanye sedang digalakkan saja. Keadaan ini telah disinyalir penyair Taufiq Ismail dengan “Generasi Nol Buku”, generasi yang rabun membaca serta pincang mengarang. Bagi Taufiq, generasi nol buku telah berlangsung dari tahun 50-an dikala bangsa Indonesia mulai lepas dari penjajahan. Budaya membaca dipotong habis sebab dikira tidak efisien. Ilmu-ilmu eksakta dijunjung, sebaliknya ilmu sosial serta humaniora dianaktirikan.

Keempat, orang Indonesia lebih suka berbudaya lisan. Bicara lebih instan, lebih kilat, serta lebih mengena dibanding membaca ataupun menulis. Kadangkala untuk bicara banyak orang yang merasa tidak wajib untuk berpikir terlebih dahulu. Acara-acara talkshow, dialog, dan debat bertebaran di stasiun-stasiun tv Indonesia, ini semakin meyakinkan kita kalau kebanyakan masyarakat Indonesia masih berbudaya lisan.

Kelima, bagi sebagian besar masyarakat kita, membaca merupakan pekerjaan elit. Pemikiran ini rasanya tertanam dalam alam bawah sadar orang Indonesia. Selama beberapa abad orang yang hidup di bumi yang sekarang disebut sebagai Indonesia, hidup dalam penjajahan kolonial. Sebagian besar mereka waktu itu adalah rakyat jelata yang tidak berpendidikan. Hingga tidak heran, jika membaca berhubungan dengan kerutinan bangsa kulit putih ataupun kelompok sosial tertentu.

Berkaca dari kebiasaan di negeri maju peradabannya yang atensi warganya terhadap kegiatan membaca yang begitu besar, sepatutnya kita sadar dengan bermacam manfaat dari membaca. Dengan budaya membacanya mereka menjadi negara yang maju. Kebiasaan membacalah yang ternyata bisa meningkatkan kepekaan serta kebiasaan mereka untuk berpikir kritis, kreatif serta inovatif. Kegiatan membaca akan membukakan jendela pengetahuan yang luas, gerbang kearifan yang dalam serta lorong keahlian yang lebih lebar.

Begitu pentingnya upaya untuk meningkatkan budaya literasi bangsa ini, sampai-sampai pemerintah pada tahun 2015 lewat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) sudah meluncurkan program unggulan bernama Gerakan Literasi Bangsa (GLB) yang bertujuan buat meningkatkan budi pekerti anak muda lewat budaya literasi (membaca serta menulis). Ikhtiar pemerintah melahirkan kebijakan tersebut pasti merupakan keinginan yang baik. Hanya saja, pada saat suatu kebijakan diberlakukan sebatas formalitas serta program kerja saja, pasti hasilnya tidak akan optimal.

Pemerintah seharusnya terus mengawal sekaligus mengevaluasi program tersebut. Sehingga program bisa berjalan dengan optimal serta cocok dengan keadaan di lapangan. Misalnya, ada upaya pemerintah untuk mendesak serta mengintervensi lembaga-lembaga pemerintah serta swasta, yang mempunyai ruang tunggu agar menyediakan bahan bacaan, seperti di kantor kelurahan, kecamatan, puskesmas, perbankan, koperasi, kafe, rumah makan, ataupun lembaga-lembaga sejenis lain, yang meniscayakan pengunjungnya untuk menunggu. Sehingga, kala tempat-tempat tersebut difasilitasi ruang baca, hingga waktu menunggu dapat dimanfaatkan buat membaca.

Kegiatan belajar di kelas (dok. pribadi)

Bagaimana dengan budaya literasi di lingkungan sekolah? Seperti yang sudah dilansir oleh Kemendikbud dan Ristek melalui laman Direktorat Sekolah Menengah pertama, ada beberapa strategi yang dapat dilakukan pihak sekolah dalam membangun budaya literasi yang positif, yaitu : pertama mengkondisikan lingkungan fisik ramah literasi. Sekolah yang mendukung pengembangan budaya literasi sebaiknya memajang karya peserta didik di seluruh area sekolah, termasuk koridor, kantor kepala sekolah dan guru. Selain itu, karya-karya peserta didik diganti secara rutin untuk memberikan kesempatan kepada semua peserta didik. Selain itu, peserta didik dapat mengakses buku dan bahan bacaan lain di Sudut Baca di semua kelas, kantor, dan area lain di sekolah. Ruang pimpinan dengan pajangan karya peserta didik akan menunjukkan pengembangan budaya literasi.

Strategi yang kedua, mengupayakan lingkungan sosial dan afektif. Lingkungan sosial dan afektif dibangun melalui model komunikasi dan interaksi seluruh komponen sekolah. Hal itu dapat dikembangkan dengan pengakuan atas capaian peserta didik sepanjang tahun. Pemberian penghargaan dapat dilakukan saat upacara bendera setiap minggu untuk menghargai kemajuan peserta didik di semua aspek. Prestasi yang dihargai bukan hanya akademis, tetapi juga sikap dan upaya peserta didik. Dengan demikian, setiap peserta didik mempunyai kesempatan untuk memperoleh penghargaan sekolah. Sekolah bisa menyelenggarakan festival buku, lomba poster, mendongeng, karnaval tokoh buku cerita, dan sebagainya.agar literasi dapat mewarnai semua perayaan penting di sekolah sepanjang tahun.

Strategi yang terakhir adalah mengupayakan sekolah sebagai lingkungan akademik yang literat. Lingkungan fisik, sosial, dan afektif berkaitan erat dengan lingkungan akademis. Ini dapat dilihat dari perencanaan dan pelaksanaan gerakan literasi di sekolah. Sekolah sebaiknya memberikan alokasi waktu yang cukup banyak untuk pembelajaran literasi. Salah satunya dengan menjalankan kegiatan membaca dalam hati dan/atau guru membacakan buku dengan nyaring selama 15 menit sebelum pelajaran berlangsung. Untuk menunjang kemampuan guru dan staf, mereka perlu diberikan kesempatan untuk mengikuti program pelatihan peningkatan pemahaman tentang program literasi, pelaksanaan, dan keterlaksanaannya.

Di sekolah kewajiban membaca novel serta berlatih menulis pastinya tidak bertujuan menjadikan tiap siswa jadi sastrawan. Keahlian membaca serta menulis dibutuhkan di tiap profesi yang nantinya akan dipilih oleh anak. Membaca novel sastra atau karya fiksi lainnya akan mengasah serta meningkatkan budaya secara universal. Berlatih menulis mempersiapkan orang agar dapat menulis di bidangnya masing-masing. Tidak hanya itu, terdapat banyak manfaat yang diperoleh anak bila ia mempunyai keahlian membaca serta menulis, antara lain: dengan membaca serta menulis, keahlian berbahasa anak diasah sehingga ia akan pandai berbicara baik lisan maupun tulisan. Bila keahlian berbahasa baik, hingga anak akan terampil membuat diskusi ataupun obrolan dengan bahasa yang santun serta struktur yang pas. Banyak membaca akan mendorong anak untuk berpikir logis serta kreatif. Sedangkan kemampuan menulis akan menolong anak untuk mengusir permasalahan yang dihadapinya melalui tulisan. Menulis berguna untuk meningkatkan kecerdasan fisik dan daya ingat anak, yang diawali dengan kebiasaan mencatat. Anak dengan kebiasaan menulis pribadi (buku harian) lebih gampang menanggulangi trauma emosional, melenyapkan pikiran buruk, sakit hati, serta rasa khawatir.

Sekarang, bagaimana orang tua dapat menumbuhkan minat membaca dan menulis sehingga semua kemampuan di atas dapat dikuasai anak dengan baik. Jadilah teladan terlebih dahulu dalam hal membaca. Jika orangtua atau guru gemar membaca, anak akan lebih mudah untuk meniru kebiasaan kita. Banyak anak-anak yang doyan melahap novel atau buku-buku tebal lainnya karena mereka memiliki orang tuanya yang hobi membaca novel atau orang tua mereka memiliki perpustakaan pribadi di rumahnya.

Sejak usia dini sering-seringlah mengajak anak pergi ke toko buku dan doronglah mereka untuk membeli buku yang sesuai dengan usia dan minat mereka. Wajibkan mereka untuk membacanya dan mintalah mereka menceritakan ulang buku yang mereka baca. Jika anak belum bisa membaca, maka orang tua bisa memulai dengan membacakan cerita. Memberikan pertanyaan dan meminta mereka untuk menceritakan kembali cerita yang Anda bacakan, mengapa tidak? Jangan paksa anak menulis sebelum mereka siap. Jika anak sudah mau mulai menulis, jangan buru-buru dinilai dulu. Yang paling penting adalah hargai kemauan anak untuk mulai menulis. Jangan lupa berikan reward berupa pujian untuk setiap karya yang telah mereka hasilkan agar mereka terpacu untuk menulis dengan lebih baik lagi. Sediakan buku tulis yang agak tebal untuk dijadikan buku rahasia atau buku harian atau jurnal pribadi. Minta mereka untuk menuliskan peristiwa atau pengalaman istimewa yang terjadi pada hari itu. Untuk mengawali tidak harus setiap hari dan tidak harus tulisan yang panjang. Ajak anak untuk menyediakan waktunya 10-15 menit untuk menulis dalam bukunya. Jika anak sudah mulai menikmati, maka intensitas menulis dan panjang tulisan dapat ditingkatkan.

Bagi anak yang sudah remaja atau dewasa, mereka bisa mulai berlatih menulis pada blog pribadi. Entah itu hanya berupa status atau pun sekadar curhat. Tapi, dalam hal ini orangtua tetap harus mewanti-wanti agar anak tidak menulis sesuatu yang sifatnya menyinggung perasaan orang lain atau mencemarkan nama baik orang lain. Dorong anak untuk berlatih dan terus berlatih. Semakin sering menulis, maka kemampuan anak akan semakin dipertajam dan akan menghasilkan tulisan yang lebih berbobot. Kumpulan tulisan yang dibuat oleh anak yang lebih besar dapat dikumpulkan dan dijilid menjadi sebuah buku. Atau jika sudah mulai menggunakan komputer, file kumpulan tulisan tersebut dapat dibawa ke percetakan dan dijadikan buku dengan layout yang menarik. Hal itu pasti akan membuat mereka bangga dengan hasil karyanya sendiri.

Anak-anak yang gemar menulis (dan membaca) menjadi murid-murid yang lebih unggul dan berprestasi dalam hampir di semua mata pelajaran karena mereka memiliki pemahaman akan pengetahuan faktual yang jauh lebih baik. Anak-anak yang suka menulis sejak kecil, ketika mereka dewasa dapat menulis dengan lebih teliti, sehingga mereka mampu untuk menjadi penulis ulung. Mari mulai mendorong anak-anak Anda untuk lebih banyak membaca dan menulis.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image