Pramuka DIY Antusias Belajar Berbusana Jawa
Info Terkini | 2022-07-22 15:51:19Sekitar 50 anggota Pramuka yang berasal dari 5 Kwartir Cabang se DIY antusias belajar berbusana Jawa dn sesorah dipandu Penyiar Jogja TV, Faizal Noor Singgih dengan materi Sesorah, dan Rr.Noor Dwi Artyandari di Ruang Pertemuan Unit I Auditorium Lantai 2 Museum Sono Budoyo Ngupasan Gondomanan, Rabu (20/7/2022).
Kasi Bahasa dan Sastra Disbud DIY, Setya Amrih Prasaja, SS menjelaskan kegiatan tersebut merupakan bagian dari agenda Pawiyatan Jawa yang diselenggarakan Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) DIY. Narasumber lain yang dihadirkan adalah Anggota DPRD DIY, DR.R.Stevanus C.Handoko, S.Kom.MM dengan materi Sosialisasi Pawiyatan Jawa, Musisi Band Genk Kobra, Joko Elysanto dengan materi Digitalisasi Aksara Jawa.
Setya Amrih Prasaja menambahkan, budaya Jawa dengan segala keunikannya dapat dipakai sebagai wahana pembentukan watak karakter bangsa. Untuk memahami budaya Jawa maka penguasaan bahasa Jawa adalah gerbang awalnya. Penguasaan bahasa Jawa tidak lepas dari pembelajaran aksara Jawa dan Teknik wicaranya. Pemahaman penggunaaan busana dan aksesorisnya menjadi pelengkap penguasaan budaya Jawa.
Noor Dwi Artyandari menjelaskan busana Jawa tak bisa lepas dari perjalanan sejarah Kerajaan Mataram. Setelah perjanjian Giyanti, Mataram menjadi dua kekuasaan yaitu Negari Kasultanan Yogyakarta dan Negara Kasunanan Surakarta. Yogyakarta mewarisi symbol-simbol kedaulatan isi Negari Mataram , sedangkan Surakarta mewaisi kraton sebagai wadah. Sehingga seni dan tradisi Mataram yang merupakan bagian dari isi diboyong Pangeran Mangkubumi ke Yogyakarta, sementara Surakarta menciptakan seni tradisi yang baru.
Pengaruh Mataram Islam terbawa dan dipertahankan pada masa kerajaan berikutnya. Maka tidak mengherankan jika dalam seni busana makna-makna Islam menjadi kontruksi pembentuknya.
Peserta dikenalkan tentang Jarik/ nyamping/ bebed, bagaimana perbedaan gagrak Yogyakarta dan Surakarta yang ditilik dari latar dan motifnya. Beberapa motif jarik yang digunakan diantaranya: motif Kawung, motif Parang, motif Semen dan motif Kastubo. Noor Dewi mengingatkan ada beberapa motif awisan/ yang dilarang karena alasan arti filodofi dan nilai sakral.
“Di dalam Kraton Yogyakarta motif awisan ini pada umumbya hanya dipakai oleh Sultan atau putra putri sultan. Misalnya motif Parang Rusak Barong dan motif Cemukiran yang menjadi simbol penguasa,” imbuh Noor Dewi.
Peserta juga diajak praktik mewiru kain, yang mengenakannya busana. Untuk pria jarikan lebih fleksibel agar tidak mengganggu gerak, langkahnya: dari kanan ke kiri, tangan kiri meletakkan wiron di tengah tubuh, sisi kiri jarik diletakkan di tubuh bagian kanan, sisi kanan jarik diletakkan di bagian tengah, mengikat dengan tali/ kendit, memakai lontong, disemat dengan peniti, memakai kamus/ epek, sisa kamus dotekan atau dimasukkan dalam lerep agar tidak menjuntai dan barulah memakai surjan atau buskap. Untuk wanita cara memakainya dari kiri ke kanan, sematkan ujung jarik sebelah kanan di pinggul, gubetan menuju badan bagian kanan, gubetan terakhir menempatkan wiru di depan paha kanan, wiru tidak tepat di depan badan tetapi sedikit ke kanan, mengikat dengan tali/ kendit, posisi ikatan sedikit di atas pinggul, memakai setagen searah dengan cara melilitkannya jarik agar tidak terbuka ujungnya, lilitan ke arah atas dengan selisih 2cm. Setagen disenat dengan peniti.
Selain diberi pemahaman berbusana, peserta dijelaskan tentang Wicara Jawa oleh Faisal Noor Singgih. Wicara Jawa ada tiga yaitu sebagai Panatacara, Pamedhar Sabda, Sesorah. Panatacara sering disebut Pranatacara atau MC, Pamedhar Sabda adalah yang bicara selain MC, sedangkan sesorah (pidato/orasi) ada ajakan menuju kebaikan. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam berbicara: ngapurancang, berdiri dengan kokoh, menyapu pandangan kepada semua audience.
“Kita diperkenankan membawa catatan berupa kertas jangan menggunakan HP. Agar lebih menghormati dipilih kertas yang bagus jangan asal kertas. Itu semua dimaksudkan untuk menjaga penampilan kita,” tandas Faisal.
Menurut Faisal, berbahasa Jawa terkait dengan patrap solah bawa dan basa, sehingga terkadang menimbulkan rasa takut berbahasa Jawa. Untuk menutup kekurangan tersebut dengan modal RAJIN yang merupakan kependekan dari ngapuRAncang, Jempol, dan ImmaN. Ngapurancang dilakukan dengan berdiri, tangan kanan memegang tangan kiri di depan tubuh di atas pusar. Jempol yaitu menggunakan ibu jari tangan kanan untuk menunjukkan atau mempersilakan. Inggih diucapkan diucapkan ketika saling bicara, Mangga diucapkan setelah selesai bicara, Maturnuwun diucapkan ketika menerima sesuatu atau di luang waktu, Nuwun sewu diucapkan ketika akan memulai sesuatu atau saat lewat di depan orang yang duduk dan memotong pembicaraan. Nyuwun tulung diucapkan ketika akan meminta tolong.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.