Bagaimana Kita Menyikapi RUU KUHP?
Politik | 2022-07-22 11:24:08Rancangan undang-undang yang mendapat perhatian publik pada saat ini adalah RUU Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). KUHP yang sekarang diberlakukan merupakan KUHP yang berasal dari hukum kolonial Belanda, yakni Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie. Pengesahannya diterapkan melalui Staatsblad Tahun 1915 nomor 732 dan mulai berlangsung sejak tanggal 1 Januari 1918. Oleh sebab itu, muncul inisiasi untuk membuat KUHP yang lebih Indonesia dan kekinian.
Namun, perjalanan pergulatan RUU ini kian melelahkan. Berbagai versi dengan ribuan kontroversi membuat pembahasannya menghabiskan puluhan tahun. Kita akui ada kemajuan dan terobosan dalam rancangan ini, namun itu bukan berarti RUU ini tidak memiliki cacat. Beberapa pasal krusial adalah terkait banyaknya ancaman pidana terhadap masyarakat yang menyatakan pendapat, lebih khusus kepada Presiden dan lembaga negara.
Sejatinya, RUU KUHP harus sesuai dengan konteks Indonesia sebagai negara hukum dan demokratis. Indonesia bukan negara yang dipimpin oleh raja atau ratu. Penjatuhan pidana terhadap kelompok masyarakat yang kritis tidak harus berakhir dengan penjara. Raja atau ratu adalah simbol negara yang tidak dipilih melalui proses demokrasi. Sedangkan, Indonesia menyelenggarakan Pemilu setiap lima tahun sekali untuk memilih siapa putra/putri bangsa terbaik yang layak menjadi kepala negara.
Karena dipilih oleh rakyat melalui proses demokrasi, maka sejatinya rakyat tidak boleh dipidana hanya karena bersikap kritis. Apakah penghinaan termasuk kategori kritis? Maka, definisi penghinaan yang sangat rawan disalahgunakan dan bersifat karet bisa ditarik sesuai kepentingan yang berkuasa. Seharusnya, kritis atau penghinaan paling keras sekalipun, harus dilindungi negara atas nama kepentingan masyarakat yang diungkapkan melalui hak berekspresi dan hak demokrasi.
Pasal karet yang sudah terbukti dan membawa banyak korban adalah UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Betapa banyak masyarakat yang takut menyampaikan pendapat mereka, khususnya di media sosial, karena adanya ancaman UU ITE tersebut. UU ini telah banyak memangsa banyak korban salah sasaran dan kemudian memaksa negara mengeluarkan semacam prosedur penggunaannya karena sifat “karetnya”. UU ini pula yang membuat indeks demokrasi negara kita mengalami penurunan.
Problem dari UU ITE dan pasal penghinaan dalam RUU KUHP, seringkali bukan karena pemahaman publik yang tidak mampu membedakan kritik dan penghinaan, tapi karena aparat hukum yang lebih berpihak pada penguasa. Keberpihakan ini yang kemudian membuat aparat tidak bisa membedakan mana kritik, mana penghinaan.
Analoginya, jika masyarakat melakukan kritik terhadap pejabat negara yang koruptif, apakah konstruksinya bisa dijerat dengan pasal penghinaan? Padahal tindakan korupsi bertentangan dengan UUD 1945 dan tindakan melawan hukum.
Sekeras-kerasnya kritik hingga berbau penghinaan, tentunya itu harus dimaknai sebagai vitamin bagi penguasa. Jika memang penguasa salah langkah, maka sangat tidak layak jika kemudian masyarakat yang menyampaikannya harus berakhir di penjara.
Jika kemudian Presiden yang terpilih di Pemilu selanjutnya adalah seorang otoriter sejati, maka bisa dibayangkan bagaimana kehidupan demokrasi di Indonesia. Setelah adanya UU KUHP ini, maka sejatinya pasal penghinaan terhadap Presiden adalah wajah bengis kekuasaan.
Seorang otoriter memiliki senjata yang pas untuk membungkam kebebasan berekspresi. Lalu, bagaimana seharusnya kita bersikap? Sejatinya, kita harus memperjuangkan demokrasi kita yang diraih melalui jalan darah dan air mata. Pembonsaian demokrasi dan kebebasan berekspresi tidak boleh dibiarkan. (*)
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.