Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Melda Riani

Sejarah Lahirnya BPKH: Ikhtiar Demi Kemaslahatan Umat

Lomba | 2021-11-17 22:36:26
Foto: republika

Penyelenggaraan haji di Tanah Air adalah sebuah sejarah panjang. Dari masa dimana fasilitas masih seadanya dan waktu perjalanan yang tak sebentar hanya demi satu tujuan; menjalankan perintah rukun Islam ke lima.

Hamka dalam novelnya ‘Di Bawah Lindungan Ka’bah’ menggambarkan perjalanan empat belas hari di atas kapal untuk mencapai tujuan Pelabuhan Jeddah dari Pelabuhan Belawan, Medan. Itu di tahun 1927. Hingga sampai setengah abad setelahnya, jemaah haji Indonesia masih menggunakan kapal jika hendak ke Mekkah.

Berpuluh tahun setelahnya, penyelenggaraan haji semakin diperbaiki. Secara resmi, penyelenggaraan haji yang dikelola pemerintah Indonesia dimulai pada 1951, enam tahun setelah negara ini merdeka. Pemerintah mengambil alih penyelenggaraan haji secara menyeluruh serta memberhentikan keterlibatan pihak swasta melalui Keppres No. 53 Tahun 1951. Satu tahun kemudian, pemerintah membentuk PT Pelayaran Muslim yang menjadi satu-satunya panitia penyelenggara haji serta mulai memberlakukan sistem kuota.

Delapan tahun setelah itu, aturan tentang penyelenggaraan Urusan Haji dikeluarkan lewat Peraturan Presiden RI Nomor 3 Tahun 1960. Sebagai penerapannya, pemerintah membentuk Panitia Negara Urusan Haji (Panuhad) yang kemudian berubah nama menjadi Panitia Pemberangkatan dan Pemulangan Haji (PPPH). Namun, pada 1964, PPPH dibubarkan dan tugasnya diambil alih oleh pemerintah melalui Dirjen Urusan Haji (DUHA). Pada saat bersamaan, biaya haji naik lima kali lipat sebagai dampak dari guncangan ekonomi yang terjadi.

Proses penyelenggaraan perjalanan haji selama 16 tahun sejak Perpres tentang penyelenggaraan Urusan Haji dikeluarkan, hanya dilakukan oleh pemerintah. Baru pada 1985, pemerintah kembali mengikutsertakan pihak swasta. Melalui UU Nomor 17 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji, yang merupakan undang-undang pertama terkait haji, pemerintah membuktikan bahwa masyarakat diikutsertakan dalam penyelenggaraan ibadah haji dan tidak terjadinya monopoli penyelenggaraan ibadah haji oleh pemerintah.

Lewat UU itu juga, kuota dibagi menjadi Haji Reguler dan Haji Khusus. Dalam buku ‘Apa dan Bagaimana Investasi Keuangan Haji BPKH’ (2020: 18) dijelaskan bahwa pendaftaran haji regular saat itu dilakukan melalui Sistem Informasi dan Komputerisasi Haji Terpadu. Setoran awal yang diberikan adalah sebesar Rp5 juta yang disimpan dalam tabungan atas nama jemaah haji dan naik menjadi Rp20 juta di tahun 2001.

Di tahun yang sama, sebagai mandat UU Nomor 17/1999, dibentuk Badan Pengelola Dana Abadi Umat berdasarkan Kepres RI Nomor 22 Tahun 2001. Dana Abadi Umat (DAU) merupakan dana yang diperoleh dari hasil efisiensi biaya penyelenggaraan ibadah haji dan dari sumber lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pengelolaan Dana Abadi Umat dimaksudkan untuk lebih memberdaya guna dan berhasil guna demi kemaslahatan umat.

Setelah hampir satu dekade, payung hukum tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dirasa masih perlu disempurnakan karena belum membahas secara detail berbagai aspek, seperti pelayanan, pembinaan dan perlindungan kepada jemaah haji serta sistem pengelolaan yang lebih profesional. Sehingga, pada tahun 2008, dilakukanlah amandemen UU 17/1999 menjadi UU No 13 Tahun 2008 Tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji yang menjelaskan peran dan kewajiban pemerintah, pengawasan dari komisi independen, pengelolaan dana haji dan lain-lain.

Berpedoman dari UU itulah, maka disusun regulasi khusus yang mengatur tentang pengelolaan keuangan haji. Pertimbangannya, jumlah warga negara Indonesia yang mendaftar haji terus meningkat dari tahun ke tahun sementara kuota terbatas, sehingga jumlah jemaah haji tunggu menjadi meningkat. Kondisi itu tentu saja mengakibatkan menumpuknya akumulasi dana haji yang jika dikelola bisa meningkatkan nilai manfaat guna mendukung peyelenggaraan ibadah haji yang lebih berkualitas.

Berdasarkan itu, keluarlah UU No. 34 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji. Turunan dari UU itu, terbit Perpres 110 tahun 2017 mengenai Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) yang menjadi dasar dibentuknya BPKH.

source: https://bpkh.go.id/

Berkaca dari sejarah lahir serta visinya di masa depan, BPKH bercita-cita menjadi lembaga pengelola keuangan terpercaya serta bisa memberikan nilai manfaat optimal bagi jemaah haji dan kemaslahatan umat. Tertuang dalam rencana strategis BPKH 2018 - 2022, dimana ada tiga kata kunci dalam meraih visi tersebut. Yakni, terpercaya, nilai manfaat serta jemaah haji dan kemaslahatan umat.

Terpercaya dalam arti memiliki visi menjadi lembaga pengelola keuangan yang paling dipercaya. Hal itu tentu mutlak karena dana haji adalah dana jemaah yang dititip sehingga harus dimanfaatkan dengan sangat hati-hati dan jangan sampai hilang apalagi diselewengkan.

Nilai manfaat berarti memberikan manfaat yang optimal bagi jemaah haji dan kemaslahatan umat. BPKH harus mampu memberikan imbal hasil yang tinggi dengan mengalokasikan keuangan haji pada tingkat di atas rata-rata namun tetap berisiko rendah. Sementara jemaah haji dan kemaslahatan umat dimaksudkan agar BPKH dapat ikut meningkatkan pelayanan ibadah haji dan kemaslahatan umat.

Terkait kemaslahatan umat tersebut, di samping untuk mendukung pelayanan ibadah haji, BPKH juga memiliki misi mensejahterakan umat Islam melalui perbaikan sarana ibadah, pendidikan dakwah, kesehatan umat, dukungan bagi organisasi Islam serta pemberdayaan ekonomi umat.

Cita-cita yang sebagian telah diwujudkan melalui sejumlah ikhtiar itu diharapkan bisa meningkat nilai manfaatnya setiap tahun, sehingga kemaslahatan umat Islam juga meningkat. Adapun total dana haji per akhir Mei 2021 sebesar Rp150 triliun dengan nilai manfaat sebesar Rp7,43 triliun. Kepala BPKH, Anggito Abimanyu menegaskan, ikhtiar untuk membangun kepercayaan publik terus dilakukan semaksimal mungkin dengan pengelolaan dana secara profesional, transparan dan memastikan ada pertanggungjawaban publiknya. (Melda Riani)

#BPKHWritingCompetition

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Terpopuler di

 

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image