Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Agustinur Saputri

Optimalisasi BPIH Demi Haji Berkualitas

Lomba | 2021-11-17 22:28:20
Sumber foto: Republika.co.id

Haji merupakan ibadah wajib bagi umat Islam yang dilaksanakan sekali seumur hidup dan membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Setiap tahunnya jumlah jamaah haji Indonesia terus meningkat, tapi tidak sebanding dengan ketersediaan kuota haji yang justru terbatas. Dari data yang dilansir dari situs Haji dan Umrah Kementerian Agama RI, hingga tahun 2021 terdapat sekitar 5 juta pendaftar haji, sedangkan kuota yang tersedia hanya sekitar 200 ribu saja. Implikasinya, daftar jamaah haji tunggu atau waiting list semakin panjang yang juga berakibat pada menumpuknya dana setoran haji.

Seiring waktu, biaya pelaksanaan ibadah haji semakin meningkat karena pengaruh inflasi, kenaikan biaya pesawat sebagai akibat dari naiknya biaya avtur, dan melemahnya nilai tukar rupiah. Ini menjadi salah satu tantangan yang dihadapi BPKH. Implikasinya, ada ancaman bahwa biaya haji yang telah disetor oleh jamaah kemungkinan tidak cukup untuk memenuhi biaya pelaksanaan ibadah haji. Oleh sebab itu, BPKH harus memutar otak untuk mengantisipasinya. Lantas strategi apa yang dapat dilakukan BPKH?

Salah satu tujuan yang ingin dicapai sesuai amanat UU No. 34/2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji adalah rasionalitas dan efisiensi penggunaan Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH), yang juga menjadi misi BPKH. Jika dikaitkan dengan tujuan ini, ada tiga strategi yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah kekurangan pembiayaan haji tersebut.

Pertama, langkah efisiensi, yaitu mengupayakan penghematan biaya operasional (direct dan indirect cost) BPIH dan mengevaluasi metode pengadaan pelayanan yang dapat menimbulkan inefisiensi biaya operasional. Penerimaan setoran awal juga dianggap belum rasional karena tidak ada kebijakan dan pola penyesuaian besarannya. Selain itu, BPKH juga dapat melakukan inisiasi kontrak jangka panjang dengan penyedia transportasi atau akomodasi di Arab Saudi, demi mendapatkan biaya yang lebih murah dibandingkan dengan kontrak setiap tahunnya.

Kedua, langkah rasional, yaitu menyesuaikan setoran awal jamaah haji secara bertahap sesuai dengan tingkat inflasi dan kenaikan biaya. Langkah ini juga termasuk upaya meyakinkan pemerintah untuk dapat membiayai seluruh biaya yang menjadi kewajiban pemerintah melalui APBN dalam penyelenggaraan ibadah haji, misalnya biaya petugas, pembimbing dan kesehatan, operasional kementerian, serta biaya lainnya.

Ketiga, langkah optimalisasi investasi. Sebagaimana dalam UU No. 34/2014, cakupan investasi keuangan haji BPKH menjadi lebih luas jika dibandingkan dengan sebelumnya. Sekarang BPKH dapat berinvestasi pada surat berharga syariah, emas, investasi langsung, dan investasi lainnya. Dalam upaya optimalisasi investasi, BPKH lambat laun mengurangi porsi alokasi penempatan dana haji di perbankan syariah dengan mengalihkannya ke instrumen investasi yang lebih bonafide. Menurut publikasi BPKH di tahun 2020 yang berjudul “Apa & Bagaimana Investasi Keuangan Haji BPKH”, sebelumnya alokasi dana haji di perbankan syariah mencapai 50 persen dari total dana kelola dan rencananya di tahun 2021 alokasi tersebut cukup 30 persen, sedangkan 70 persen sisanya akan dialokasikan ke berbagai instrumen investasi syariah yang sesuai aturan. Menurut Muhammad Akhyar Adnan, salah satu anggota dewan pengawas BPKH, pada hakekatnya manfaat dari optimalisasi investasi ini akan bermuara ke tiga hal, yaitu untuk (1) subsidi jamaah yang berangkat; (2) dikembalikan atau dibagi dengan jamaah tunggu; dan (3) biaya operasional BPKH, maksimal 5 persen dari total nilai manfaat tahun sebelumnya, setelah mendapat persetujuan DPR. Strategi ini diharapkan dapat memberikan imbal hasil yang lebih optimal untuk memenuhi kekurangan biaya pelaksanaan ibadah haji.

Hasil dari optimalisasi BPIH ini adalah pada akhirnya jamaah dapat merasakan manfaat ekonomis dari biaya haji yang tetap stabil dengan kualitas pelayanan yang semakin meningkat. Sebenarnya, biaya haji yang harus dikeluarkan oleh setiap jamaah berbeda dengan biaya haji riil per orangnya. Menurut Kementerian Agama RI, biaya haji per orang untuk jamaah haji regular tahun 2017 adalah sebesar 34,73 juta, lalu meningkat di tahun 2018 menjadi Rp 35,23 juta. Faktanya, di tahun 2017 jamaah ‘hanya’ membayar sekitar 56 persen dari total biaya haji karena sisanya, sekitar Rp 26,77 juta yang merupakan biaya tidak langsung, disubsidi oleh pemerintah. Lalu di tahun 2018, biaya haji riil per orang adalah sebesar Rp 66 juta yang juga disubsidi oleh pemerintah sebesar Rp 31 juta. Contoh lainnya yang dikutip dari pernyataan Muhammad Akhyar Adnan, di tahun 2019 BPIH mencapai 70 juta. Lagi-lagi pemerintah berbaik hati memberikan subsidi sebesar setengah dari total BPIH atau sekitar Rp 34,76 juta.

Dari gambaran di atas, sudah sepatutnya para jamaah bersyukur karena telah menikmati subsidi yang besar. Pemerintah dan BPKH pun layak diberi apresiasi atas kontribusinya untuk kemaslahatan umat. Namun faktanya, rahasia terkait BPIH ini tidak banyak diketahui oleh para jamaah haji, baik yang berangkat maupun yang menunggu, bahkan oleh masyarakat umum. Ke depannya, melalui tulisan ini diharapkan akan semakin banyak masyarakat luas yang memahaminya agar tidak ada lagi isu-isu yang menggiring kepada fitnah belaka.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image