Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Azzah Kania Budianto

Salah Kaprah Antara Gender dan Jenis Kelamin

Edukasi | 2022-07-20 07:57:47
Surabaya, 4 Juni 2022. Disunting 28 Juni 2022.

Istilah ‘gender’ dan ‘jenis kelamin’ seringkali dianggap sebagai sinonim kata. ‘Gender’ sering dipakai untuk menggantikan ‘jenis kelamin’, begitu pula sebaliknya. Pun dalam KBBI, gender didefinisikan sebagai jenis kelamin. Meski begitu, tahukah kalian bahwa kedua istilah tersebut merujuk ke dua hal yang berbeda?

Definisi 'gender' dalam KBBI daring. Dokumen pribadi penulis.

Dalam bahasa Indonesia, keduanya memang tidak memiliki perbedaan yang jelas. Sering kali kita dengar bahwa jenis kelamin itu terbagi atas ‘perempuan’ dan ‘laki-laki’, sama halnya dengan gender. Padahal dalam bahasa Inggris, dua hal tersebut berbeda: sex and gender. Kurangnya istilah di bahasa Indonesia untuk mendeskripsikan perbedaan dari dua kata bahasa Inggris tersebut berkontribusi dalam ketidakpahaman masyarakat dengan perbedaan jenis kelamin dan gender.

Sex—dalam bahasa Indonesia berarti jenis kelamin atau seks—merujuk pada perbedaan biologis, dan biasa digolongkan menjadi male (kromosom XY) dan female (kromosom XX) saja; meskipun pada kenyataannya, biologi bukanlah hal simpel. Dilansir dari artikel ilmiah “Dasar Biologis Variasi Jenis Kelamin, Gender, dan Orientasi Seksual” yang ditulis oleh Artaria (2016), banyak variasi-variasi seks yang bisa saja muncul, yang menyebabkan seseorang memiliki kromosom yang bukan XX maupun XY. Sehingga, orang-orang yang memiliki kromosom non-XX maupun non-XY ini tentu tidak bisa digolongkan sebagai male maupun female karena perbedaan struktur kromosomnya.

Di sisi lain, gender merupakan perbedaan peran sosial. Perlu diingat bahwa perbedaan peran sosial antara satu manusia dengan manusia lain sangatlah subjektif, karena hal ini sangat dipengaruhi oleh norma dan budaya di lingkungan masyarakat masing-masing.

Lalu, apakah maksud dari perbedaan peran sosial sebagai definisi ‘gender’? Dalam pemikiran tradisional, terdapat peran yang dikaitkan dengan perempuan; seperti mengurus rumah tangga dan anak. Sedangkan peran laki-laki adalah bekerja. Tetapi, tidak semua kelompok masyarakat menganut pemahaman itu, loh!

Sebagai contoh, suku Bugis adalah suatu kelompok masyarakat yang mempercayai eksistensi lima gender. Menurut catatan seorang antropolog Australia bernama Sharyn Davies, lima gender di suku tersebut adalah makkunrai, oloané, calabai, calalai, dan bissu. Kelima identitas gender ini memiliki peran masing-masing di masyarakat Bugis, yang tentunya juga berbeda-beda. Contoh lain adalah adanya gender ketiga di budaya Native Hawaiian, yang disebut māhū.

Penting untuk diingat bahwa keragaman identitas gender maupun variasi jenis kelamin yang ada bukanlah alasan untuk mendiskriminasi orang lain, ya! Sebagai manusia, kita harus saling toleransi dan saling menghargai.

Dengan ditulisnya artikel ini, semoga para pembaca menjadi lebih paham atas perbedaan istilah ‘jenis kelamin’ dan ‘gender’, dan dapat meluruskan kekeliruan umum ini. Apabila tertarik, penulis sangat menyarankan pembaca untuk membaca artikel, buku, dan situs yang digunakan oleh penulis sebagai acuan penulisan. Informasi-informasi lain mengenai identitas gender di Bugis maupun Native Hawaiian juga bisa dicari di situs pencarian Google.

Referensi:

Artaria, M. D. (2016). Dasar Biologis Variasi Jenis Kelamin, Gender, dan Orientasi Seksual. Biokultur, 5(2), 157-165.

Davies, S. G. (2007). Challenging gender norms : Five Genders among Bugis in Indonesia. Belmont, CA: Thomson Wadsworth.

gender. 2016. Pada KBBI Daring. Diambil 4 Juni 2022, dari https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/gender.

Ravida, M. (2018). The Māhū. Pada Manoa Now. Diambil 4 Juni 2022, dari https://www.manoanow.org/kaleo/special_issues/the-m-h/article_ba191154-0dd9-11e8-ba11-bbb0d1090a78.html.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Terpopuler di

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image