Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Historia Jakarta 34

Bagaimana Kabarmu, Marsinah?

Politik | Tuesday, 19 Jul 2022, 22:02 WIB

oleh: Fahlefi Kayla

Hak Asasi Manusia dijabarkan sebagai hak dasar dan universal yang berlaku bagi semua manusia. Teorinya semua manusia memiliki martabat dan hak yang sama di seluruh dunia. Hak asasi manusia dilindungi dengan Hukum dan Undang-Undang, baik dalam ruang lingkup nasional maupun internasional. Hak Asasi Manusia tercipta dan dikembangkan setelah berakhirnya Perang Dunia II, serta mencapai puncaknya saat disahkannya deklarasi Hak Asasi Manusia Universal oleh Majelis Umum PBB pada tahun 1948 di Paris, Perancis.

Berbicara tentang HAM ini sangat tidak asing jika mendengar berbagai kasus dari hukum kemanusiaan ini. Seperti kita ketahui sebelumnya bahwa di Indonesia juga pernah mengalami kasus yang melenceng tentang Hak Asasi Manusia. Kasus si buruh yang mempunyai jiwa pantang menyerah ini bernama Marsinah, si gadis asal kabupaten Nganjuk telah tewas tertembak di jenis kelaminnya dengan kasus yang sampai detik ini masih belum terkuak. Marsinah adalah seorang aktivis dan buruh pabrik pada masa Orde Baru, bekerja pada PT. Catur Putra Surya (CPS) Porong, Sidoarjo, Jawa Timur. Sebelum tewas ia sempat menghilang selama 3 hari.

Marsinah melawan saat kekerasan aparat negara yang menjalar lebih cepat daripada wabah flu. Buruh perempuan yang rajin mengkliping berita koran itu, nyawanya harus melayang saat ia menginjak usia yang terhitung masih teramat muda, 24 tahun. Satu bulan sebelum Marsinah tewas terbunuh, Presiden Soeharto menghadiri Rapat Pertemuan Hak Asasi Manusia di Thailand. Dalam forum tersebut, Soeharto menyatakan RUU Hak Asasi Manusia yang dicanangkan PBB tidak bisa diterapkan di negara-negara Asia. Dikarenakan, Jenderal tangan besi itu menjelaskan, di Asia warga tak bisa bebas mengkritik pemimpinnya, yang sangat berbeda dengan kebudayaan negara luar (barat). Dan, dia memiliki perangkat Surat Keputusan Bakorstanas No.02/Satnas/XII/1990 dan Keputusan Menteri Tenaga Kerja No.342/Men/1986, yang artinya jika ada perselisihan antara buruh dengan pengusaha, maka yang berhak memediasi adalah militer. Maka tak heran, jika para pekerja yang kritis dan mencolok gerakan pemberontakan harus kuat menghadapi intimidasi dan penangkapan.

Para pekerja di pabrik arloji di Siring, Porong, Jawa Timur, Buruh PT CPS digaji Rp1.700/bulan. Padahal, berdasarkan KepMen-nya, diatur bahwa UMR Jawa Timur ialah Rp2.250. Pemprov Surabaya meneruskan aturan itu dalam bentuk Surat Edaran Gubernur KDH Tingkat I, Jawa Timur, yang isinya meminta agar para pengusaha menaikkan gaji buruh 20% dari gaji sebelumnya yang mereka terima. Akan tetapi, pabrik tersebut menolak untuk mengeluarkan upah sebesar yang ditentukan, dikarenakan pabrik itu akan hanya mau mengakomodasi kenaikan upah dalam tunjangan, bukan upah pokok. Lebih buruk lagi, jika salah satu pekerja itu tidak masuk bekerja yang disebakan karena sakit maupun melahirkan, tunjangannya akan dipotong. Sangat keji bukan? Bahkan, kasus penolakan kenaikan upah ini sangat berpengaruh kepada masyarakat setempat yang hanya mengandalkan uang dari hasil kerja mereka. Sialnya, negosiasi antara buruh dengan perusahaan mengalami kebuntuan. Karena itu, buruh PT CPS menggelar mogok kerja pada 3 Mei 1993. Ada 150 dari 200 buruh perusahaan itu yang mogok kerja.

"Tidak usah kerja, teman-teman tidak usah masuk. Biar Pak Yudi sendiri yang bekerja.” Kata Marsinah, yang dimaksud Pak Yudi itu, tidak lain adalah direktur besar pada PT CPS, Yudi Susanto. Lalu, mereka membawa 12 tuntutan. Mulai dari menuntut hak kenaikan upah 20% hingga membubarkan organisasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) di tingkat pabrik. SPSI adalah satu-satunya organisasi buruh yang dinyatakan legal oleh rezim otoriter Soeharto. “Sementara bagi SPSI, serikat buruh adalah mitra bagi perusahaan. Satu kondisi yang sebenarnya terjadi karena SPSI disetir oleh kekuasaan Orde Baru," Ujar Bianto, dalam wawancara yang menjelaskan bahwa kala itu reputasi SPSI buruk dan nyaris selalu berseberangan dengan kebutuhan kolektif buruh.

Marsinah Ambil Alih Komando

Pada hari pertama mogok kerja, Yudo Prakoso, koordinator aksi, ditangkap dan dibawa ke Kantor Koramil Porong. Ia ditangkap dikarenakan harus diinterogasi, karena telah mengorganisasi pemogokan dan dituduh melakukan protes dengan cara yang mirip aksi Partai Komunis Indonesia (PKI). Pada saat hari pertama mogok kerja itu, sangat tidak terpengaruh oleh Prakoso, yang disibukkan dengan pemanggilan oleh aparat militer. Akhirnya, si Marsinah itulah yang mengambil alih komando untuk memegang kendali memimpin protes para buruh. Keesokan harinya, pada tanggal 4 Mei 1993, aksi mogok kerja kembali digelar lagi meskipun ujuk rasa ini tidak sama sekali berpengaruh kepada Pihak manajemen PT CPS.

Pabrik itu bernegosiasi dengan 15 orang perwakilan buruh. Dalam perundingan, hadir pula petugas dari Dinas Tenaga Kerja, Petugas Kecamatan Siring, serta perwakilan polisi, dan Koramil. Pelibatan aparat negara dalam perundingan itu menimbulkan kecanggungan. Meski begitu, semua tuntutan akhirnya dikabulkan, akan kecuali membubarkan SPSI di tingkat pabrik. Pimpinan perusahaan menganggap hal itu menjadi kewenangan internal SPSI. Di Kodim Sidoarjo, Prakoso juga diminta untuk mencatat nama-nama buruh yang terlibat dalam perencanaan 12 tuntutan dan aksi mogok kerja. Setelah perundingan tersebut, keesokan harinya, 12 buruh yang ikut dalam unjuk rasa mogok kerja itu mendapatkan surat yang sama untuk hadir menghadap Pasi Intel Kapten Sugeng. Tetapi ada yang janggal, surat panggilan itu berasal dari kantor Kelurahan Siring yang ditandatangani sekretaris desa bernama Abdul Rozak. Mereka dikumpulkan di ruang data Kodim Sidoarjo oleh seorang Perwira Seksi Intel Kodim, Kamadi. Tanpa basa-basi, Kamadi meminta Prakoso dan 12 buruh lain mengundurkan diri dari PT CPS. Alasannya, tenaga mereka sudah tak dibutuhkan lagi oleh perusahaan.

Kamadi dan Sugeng menyiapkan surat pengunduran diri yang menyatakan 12 buruh itu telah melakukan rapat ilegal untuk merencanakan 12 tuntutan dan aksi mogok kerja. Mereka dianggap telah menghasut buruh lainnya untuk ikut protes. Berada dalam tekanan, akhirnya 12 buruh itu menandatangani surat pengunduran diri tersebut. PHK itu tak dilakukan pihak perusahaan melainkan oleh aparat Kodim Sidoarjo!

Emosi Marsinah semakin memuncak ketika tahu rekannya dipaksa mengundurkan diri. Dia meminta salinan surat pengunduran diri tersebut dan surat kesepakatan dengan manajemen PT CPS. Sebab, dalam surat kesepakatan itu, 12 tuntutan buruh diterima termasuk poin tentang pengusaha dilarang melakukan mutasi, intimidasi, dan melakukan PHK karyawan setelah aksi mogok kerja.

"Aku akan menuntut Kodim dengan bantuan saudaraku yang ada di Surabaya," Kata Marsinah merujuk koleganya yang bekerja di Kejaksaan Surabaya. Pada tanggal 6 Mei 1993, sehari setelah para buruh dipanggil ke Kodim, kebetulan bertepatan dengan libur nasional untuk memperingati Hari Raya Waisak. Dan, keesokan harinya, buruh kembali bekerja, namun tidak ada satupun yang melihat Marsinah. Beberapa rekannya mengira, Marsinah pulang kampung ke Nganjuk. Pada tanggal 8 Mei 1993, Marsinah ditemukan sudah tak bernyawa di sebuah gubuk pematang sawah di Desa Jagong, Nganjuk.

Jenazahnya divisum Rumah Sakit Umum Daerah Nganjuk pimpinan Dr. Jekti Wibowo. Hasil dari visum tersebut adanya luka robek tak teratur sepanjang 3 cm dalam tubuh Marsinah. Bahkan, luka itu menjalar mulai dari dinding kiri lubang kemaluannya (labium minora), sampai ke dalam rongga perut. Di dalam tubuhnya ditemukan serpihan tulang dan tulang panggul bagian depan hancur. Selain itu, selaput dara Marsinah robek. Kandung kencing dan usus bagian bawahnya memar. Rongga perutnya mengalami pendarahan kurang lebih satu liter. Benar-benar sangat mengerikan, di kejadian ini siapa yang tega merenggut jiwa gadis pemberani ini?

Setelah dimakamkan, tubuh Marsinah diotopsi kembali. Visum kedua dilakukan tim dokter dari RSUD Dr. Soetomo Surabaya. Menurut hasil visum, tulang panggul bagian depan hancur. Tulang kemaluan kiri patah berkeping-keping. Tulang kemaluan kanan patah. Tulang usus kanan patah sampai terpisah. Tulang selangkangan kanan patah seluruhnya. Labia minora kiri robek dan ada serpihan tulang. Ada luka di bagian dalam alat kelamin sepanjang 3cm dan juga pendarahan di dalam rongga perut.

Disiksa Militer untuk Akui Bunuh Marsinah

Tanpa surat penangkapan, aparat militer berbaju preman mencokok dua satpam dan tujuh pimpinan PT CPS. Penangkapan itu dibumbui tindakan kekerasan, semua diseret paksa dan kepala Karyono Wongso, Kabag Produksi PT CPS, ditetak aparat militer dengan gagang pistol. Mereka digelandang ke Markas Detasemen Intel (Den Intel) Kodam V Brawijaya Wonocolo. Berdasarkan laporan yang dikemukan Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) bertajuk Ke Arah Ratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan: Kajian Kasus-Kasus Penyiksaan Belum-Terselesaikan (1995), satpam dan pihak manajemen PT CPS itu disekap selama 19 hari di Kodam V Brawijaya. Tak ada satupun keluarga mereka yang tahu.

Ada satupun pekerja Bambang Wuryantoyo, 38 tahun, bekerja di bagian pengawas umum PT CPS, yang disiksa dan ditelanjangi. Kemaluannya disetrum berulangkali. Saat diinterogasi, kakinya ditindih kaki meja. Kemaluan dan perutnya disundut rokok. Rekan Soeprapto yang juga berprofesi sebagai satpam yang bernama Ahmad Sution Prayogi, 58 tahun, tak bisa mengunyah makanan selama lima hari. Sebab aparat Kodam V Brawijaya merontokkan giginya dengan cara menghajar tulang pipinya hingga berulang kali. Mutiari, 27 tahun, ketua bagian personalia PT CPS adalah satu-satunya perempuan dalam penyekapan di Kodam V Brawijaya itu. Dia dihantam kekerasan verbal. Mutiari diancam akan ditelanjangi dan disetrum. Dia juga diperdengarkan dan diperlihatkan orang lain yang sedang disiksa. Penyiksaan itu menyebabkan Mutiari kehilangan bayi yang sudah dikandungnya selama tiga bulan. Ia keguguran saat itu juga.

Penis Yudi Susanto, Direktur PT CPS, juga disetrum. Dia dipaksa mengepel lantai salah satu ruangan Kodam V Brawijaya dengan cara menjilatnya menggunakan lidah. Di pelataran basis militer teritorial itu, Susanto diminta mencabut rumput dengan menggunakan mulut. Aparat militer pun tak segan meludah ke mulutnya, lalu Susanto diminta menelan ludah itu. Pernah juga Susanto muntah karena disuruh mengunyah kain lap kompor, lalu dia diminta cuci muka dengan air muntahnya sendiri.

Tujuan dari penyiksaan yang rutin tersebut itu agar satpam dan manajemen PT CPS mengakui telah merencanakan pembunuhan Marsinah yang telah tewas secara misterius. Padahal, aparat Kodam V Brawijaya sendirilah yang membuat skenario palsu strategi perencanaan dan eksekusi pembunuhan Marsinah itu. Pada 21 Oktober 1993, aparat Kodam V Brawijaya menyerahkan mereka ke Polda Jatim. Siksaan verbal maupun fisik juga mereka rasakan di Polda Jatim, meski dengan intensitas yang lebih rendah.

Proses dari persidangan para tersangka yang penuh kejanggalan itu sama sekali tidak membuat mereka lolos dari bebasnya dakwaan. Mereka tetap diputuskan bersalah dan divonis penjara oleh Pengadilan Negeri Surabaya dan Pengadilan Tinggi Surabaya, namun akan kecuali Yudi Susanto yang dibebaskan hakim Pengadilan Tinggi Surabaya. Namun, membuat Jaksa Penuntut Umum yang menolak putusan bebas terhadap Yudi Susanto kemudian mengajukan pemohonan Kasasi ke MA, permohonan Kasasi juga diajukan delapan terdakwa lainnya.

Ahli Forensik Bersaksi

Setelah delapan orang divonis masuk kedalam sel penjara, Abdul Mun’im Idries, dokter dari Instalasi Kedokteran Kehakiman (IKK) Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, turut ambil bagian sebagai saksi ahli. Dalam persidangan dia memaparkan kejanggalan barang bukti, kesaksian, dan hasil visum. Menurutnya, visum pertama tak sesuai standar pemeriksaan jenazah karena hanya bersifat parsial. Namun, dari sisi lain, Idries mengungkapkan bahwa barang bukti proses peradilan berupa balok, yang disinyalir ada sebuah kejanggalan.

Ukuran balok yang digunakan menyodok bagian kemaluan tubuh Marsinah sangat tidak sesuai dengan besar luka pada korban yaitu 3 cm. Menurutnya, satu luka pada bagian kelamin Marsinah tak sesuai dengan jumlah terduga pelaku yang berjumlah tiga orang itu. Lalu, ia menegaskan bahwa pendarahan dialami Marsinah tersebut, bukan penyebab kematiannya, melainkan tembakan-tembakan dari senjata api yang mengenai tubuhnya itu. "Melihat lubang kecil dengan kerusakan yang masif, apa kalau bukan luka tembak?" Ungkap Idries, dalam kejadian tersebut. "Lalu, pelakunya siapa yang punya akses senjata?," Lanjut Idries. “Kita kan enggak bebas memiliki senjata." Sambung Idries.

Pada tanggal 3 Mei 1995, Mahkamah Agung (MA) memvonis bahwa sembilan terdakwa tak terbukti melakukan perencanaan dan membunuh Marsinah. Hal itu tercatat dalam penelitian Iyut Qurniasari dan I.G. Krisnadi. Lalu, sembilan terdakwa yang telah disiksa habis-habisan itu, dibebaskan oleh pengadilan. Maka, dari itu kasus pembunuhan berencana ini masih belum terselesaikan. Sudah 27 tahun lamanya, hal ini masih menjadi pertanyaan yang masih belum ada jawaban. Apalagi, hal ini masih terus menjadi misteri siapa pelaku dari pembunuhan Marsinah si buruh cantik dan pemberani asal Nganjuk itu?

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image