Menyoal Hoax Dana Haji
Lomba | 2021-11-17 18:18:52Satu hal yang selalu aktual ketika berbicara mengenai dana haji adalah hoax soal dana haji itu sendiri. Hoax lawas yang telah basi didaur ulang dengan konten, komposisi yang diperbaharui dan disebarkan dari jaringan sosial media dan pesan instan, kemudian bertebaran secara cepat dari satu mulut ke mulut yang lain. Bara dalam sekam ini kemudian membakar semakin ganas di kumpulan arisan, pos ronda hingga warung-warung kopi. Pemantik api paling cepat dalam berita palsu ini antara lain isu-isu untuk infrastruktur, dikorupsi hingga digunakan untuk menambal utang pemerintah. Produksi konten ini dengan cepat tereplikasi di pesan instan, media youtube hingga blog-blog anonim atau blog-blog tendensius.
Singkatnya, begitu api membakar kumpulan ilalang kering, bertepatan dengan agenda tiap tahun pemerintah giat-giatnya berbicara dana haji. Maka tangan-tangan tak tersentuh literasi kritis itu dengan mudah mengacungkan telunjuk tangannya keatas sembari menyalahkan. âPemerintah tak becusâ, âDana haji untuk bangun jembatan dan jalan tolâ,âAudit dana hajiâ hingga sederet tudingan mengenai pengelolaan dana haji yang tak mengenal istilah prudent dan transparansi. Pun, tak banyak yang bisa membedakan apa itu dana haji dan atau dana abadi umat. Masyarakat sepertinya lebih yakin dengan olahan-olahan hoax karena kecepatan penyebaran dan informasi daur ulang yang terus terlihat update dan tentu saja menyinggung hal paling sensitif mengenai haji yang berkaitan dengan harkat hidup umat Islam di Indonesia.
Mengapa masyarakat Indonesia dapat dengan mudah tersulut isu pengelolaan dana haji? Selain itu mengapa masyarakat seolah-olah tidak bisa membedakan antara dana haji atau dana abadi umat, dan bahkan mungkin tidak bisa membedakan antara Kementerian Agama dengan Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH)? Kesan opini dalam hoax selalu berusaha menggiring narasi tunggal bahwa masyarakat hanya peduli dengan soal dana haji yang telah ditabung bertahun-tahun. Begitu ada sumbu isu tersulut dengan konteks apapun, maka sebagian masyarakat akan dengan mudah bereaksi.
Konteks ini dapat dengan mudah dipahami bahwa sebagian masyarakat Indonesia yang tidak berpendidikan, mungkin tidak paham apa itu dana abadi umat dan apa itu audit WTP dari BPK. Masyarakat tipe ini hanya paham bahwa mereka menabung untuk berangkat haji, menyetor sejumlah uang ke bank dan kemudian menunggu untuk dipanggil. Begitu ada isu hoax maka mereka dengan sangat mudah tersulut untuk menyalahkan pemerintah.
Pertanyaan selanjutnya adalah apakah edukasi yang dilakukan BPKH dalam pengelolaan dana haji terlihat gagal? Belum tentu, bisa jadi ini karena desain strategi komunikasi yang belum menyentuh beberapa sasaran dan membutuhkan penyegaran strategi komunikasi yang terstruktur dengan baik. Komunikasi publik BPKH untuk menjelaskan soal transparan dana haji dengan kata-kata âWTPâ atau âBPKâ mungkin akan mudah dipahami oleh mereka yang berpendidikan sehingga bisa memahami postur pengawasan keuangan negara. Lalu bagaimana dengan masyarakat Indonesia yang lulusan SD, menjadi petani, pedagang pasar dan asoangan-asongan? Bukankah mereka juga menjadi penabung dana haji yang cukup besar, terutama di daerah-daerah pedesaan dan luar Pulau Jawa?
Itulah mengapa salah satu pekerjaan rumah BPKH adalah memetakan kembali desain strategi kampanye mengenai pengelolaan dana haji dengan memetakan kembali postur demografi dan literasi masyarakat Indonesia serta mendekatkan mereka dengan kampanye publik yang sesuai. Kampanye-kampanye soal WTP dan BPK mungkin sudah baik mengenai pada target masyarakat bertitle sarjana dan pekerja kerah putih. Langkah selanjutnya adalah pada masyarakat dengan profil tidak berpendidikan dan para pekerja kasar. Profil masyarakat seperti ini merupakan sasaran yang amat rentan termakan hoax dana haji dan bahkan cenderung menjadi influencer penyebar hoax paling cepat sehingga perlu dipetakan lebih mendalam.
Selain itu sejatinya juga profil masyarakat kelas bawah ini menjadi potensi BPKH untuk mengedukasi mereka karena ruang-ruang edukasi ini masih terus tersedia. BPKH harus keluar dari gaya strategi kampanye publik yang terkesan monoton, birokratis dan terkesan letterlijk. Gaya masyarakat kelas bawah tidak akan tersasar dengan kampanye model seperti ini, kalaupun mereka memegang gadget dan smartphone, bahasa-bahasa kampanye BPKH yang terlalu intelektual juga akan sulit dicerna.
Lalu bagaimana desain kampanye yang bisa menyasar profil demografi masyarakat seperti ini? BPKH harus mulai berpikir cara-cara anti-mainstream, kreatif dan tentunya bisa memanfaatkan jejaring-jejaring yang dimiliki Kementerian Agama. Penyuluh-penyuluh Kementerian Agama bisa secara massif dimanfaatkan untuk menjadi penyuluh pengelolaan dana haji dan dana abadi umat? Bukankah masyarakat sangat akrab dengan penyuluh agama dan juga mudin di Kantor Urusan Agama (KUA)? Model penyuluhannya pun juga jangan monoton seperti ceramah dan pengajian. Cobalah strategi kampanye kultural, misalnya BPKH dan Kemenag menggelar pertunjukan wayang pengelolaan dana haji dilakukan safari di pedesaan-pedesaan Jawa. Bisa juga dengan desain sendratari, tayub atau sejenisnya yang lebih dekat dengan kehidupan masyarakat kelas bawah.
Selain itu BPKH juga bisa melakukan kerjasama MBKM dengan Kemendikbud, mahasiswa-mahasiswa direkrut magang di BPKH dan dijadikan relawan untuk diterjunkan di desa-desa ataupun kawasan kumuh perkotaan untuk melakukan program berbasis Community Development sebagai ajang edukasi. Sehingga sasaran-sasaran kampanye publik BPKH bisa menyasar semua elemen masyarakat dari kelas atas yang berpendidikan hingga masyarakat kelas bawah.
Sekali lagi, penyegaran desain strategi kampanye ini penting mengingat setiap tahunnya hoax dana haji terus-menerus diproduksi dan menjadi tantangan bagi BPKH untuk terus-menerus melakukan terobosan kreatif dalam edukasi agar masyarakat Indonesia bisa tercerdaskan mengenai pengelolaan dana haji yang akuntabel dan transparan.
#BPKHWritingCompetition #BPKHDanaHaji #KementerianAgama
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.