Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Devi Malika Azzahra

COP26, Antara Hipokrisi dan Basa-basi Rezim Kapitalis Global

Politik | Wednesday, 17 Nov 2021, 15:49 WIB

Oleh Devi Malika Azzahra, S.P (Pemerhati masalah lingkungan dan perubahan iklim, Freelance writer)

Menurut Intergovernmental Panel Climate Change (IPCC) dan banyak ilmuwan, suhu rata-rata bumi meningkat hampir dua kali lipat dibandingkan 50 tahun yang lalu dan kondisi ini tidak dapat dijelaskan hanya dengan siklus alam. Kontribusi gas-gas rumah kaca yang dihasilkan dari pembakaran bahan bakar fosil dinilai bertanggung jawab atas perkembangan situasi baru-baru ini. Gas-gas rumah kaca ini memerangkap panas di atmosfer kita termasuk karbon dioksida dan metana. Perangkap panas ini sangat mematikan bagi planet ini dan berdampak sangat buruk bagi umat manusia.

Di Indonesia, penyumbang besar dari emisi adalah deforestasi dan kebakaran hutan, terutama di lahan gambut. Deforestasi banyak terjadi di lahan gambut atau dataran rendah seperti di Sumatera dan Kalimantan. Tujuannya untuk membuka lahan untuk tanaman kelapa sawit dan kebutuhan pabrik kertas.

Dampak masalah emisi pada perubahan iklim di Indonesia adalah kenaikan suhu 1 derajat Celcius seiring tren global. Hasilnya seperti hujan ekstrem yang makin meningkat, mempengaruhi ekosistem laut, waktu tumbuhan berbunga dan berbuah juga dapat berubah, dan mengganggu kehidupan beberapa spesies. Jika naik 2 derajat yang akan terpengaruh lebih besar adalah sumber daya air, kekeringan, atau kejadian cuaca ekstrem.

Menurut Business Manager of World Resources Institute (WRI) Indonesia, Andika Putraditama, suhu bumi terus meningkat sejak tahun 1940. Hingga tahun 2019, hampir seluruh bagian bumi memiliki suhu lingkungan yang cenderung panas.

Konferensi Internasional PBB berupa KTT Perubahan Iklim Conference of the Parties (COP) ke-26 diselenggarakan di Glasgow, Inggris (31 Oktober—12 November 2021). Diperkirakan dihadiri lebih dari 190 pemimpin dunia bersama dengan puluhan ribu negosiator, perwakilan pemerintah, institusi pendidikan, dan pelaku bisnis.

Dalam dokumen COP26 Explanation yang ditandatangani PM Inggris Boris Johnson selaku tuan rumah COP26 menyatakan untuk menjaga suhu planet tetap terkendali–yakni membatasi kenaikannya hingga 1,5 derajat–ilmu pengetahuan menyatakan bahwa pada paruh kedua abad ini, kita harus memproduksi lebih sedikit karbon daripada yang kita keluarkan dari atmosfer. “Inilah yang dimaksud dengan mencapai net zero,” sebutnya.

Hipokrisi Rezim Kapitalis Global

Kapitalis mengubah CO2 menjadi produk dengan pasarnya sendiri yang disebut pasar karbon. Menurut laporan yang diterbitkan oleh Pointcarbon.com, emisi karbon meningkat dari 1,6 miliar ton pada tahun 2006 menjadi 2,7 miliar ton pada tahun 2007, yaitu meningkat sebesar 68%. Sementara itu, penjualan kuota CO2 meningkat signifikan pada periode yang sama. Pada tahun 2006 perdagangan bernilai $33 miliar, dan pada tahun 2007 sebesar $60 miliar, yaitu meningkat sebesar 80%.

Dengan demikian, perdagangan kuota CO2 terus tumbuh meskipun terjadi resesi global. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika perusahaan-perusahaan Barat yang bertanggung jawab atas polusi menyerukan sistem semacam ini yang menjamin hak untuk dapat secara bebas menghasilkan polusi dan memperdagangkannya.Akibatnya, bahkan ketika perusahaan berinvestasi dalam teknologi baru untuk mengurangi emisi karbon, total emisi karbon tidak akan menurun karena perusahaan yang memiliki kelebihan kuota CO2 akan menjualnya ke perusahaan lain yang akan menggunakannya untuk meningkatkan polusi. Terus begitu seperti lingkaran setan.

Inilah hipokrisi rezim kapitalis global, realitanya justru menunjukan bahwa setiap negara punya kepentingan memenangkan kepentingan masing-masing. Baik untuk menunda tenggat pencapaian emisi zero, menghalangi ekspansi industri negara lain, menawarkan teknologi hijau ataupun menolak penghapusan komitmen-komitmen sebelumnya. Faktanya juga bahwa negara industri yang menggagas KTT ini adalah penghasil terbesar emisi karbon untuk memuaskan nafsu materialistik mereka.

Senada dengan kepala Greenpeace Indonesia Leonard Simanjuntak mengatakan bahwa pihaknya melihat adanya lobi-lobi di menit akhir dalam pertemuan tersebut yang dilakukan negara-negara besar yang memiliki industri fosil, minyak, dan gas, seperti India, Arab Saudi dan Australia (nasional.kompas.com/21/11/15).

Gagal Diagnosis

Solusi-solusi yang digalakan oleh berbagai negara dalam sejumlah KTT selama ini faktanya gagal menangani secara efektif tantangan lingkungan yang terjadi karena kegagalan mendiagnosis dan mengobati akar penyebab krisis lingkungan global.

Faktor-faktor yang banyak disalahkan sebagai penyebab kenaikan emisi karbon hingga mengakibatkan bencana iklim hari ini adalah penggunaan bahan bakar fosil yang tinggi, penggundulan hutan massal, produksi daging yang tinggi, kebijakan pertanian yang berbahaya, tingkat produksi dan konsumsi manusia yang berlebihan, aliran air yang terkontaminasi berbagai industri dan pabrik, dan berton-ton sampah plastik, pakaian, dan produk limbah lainnya, pada kenyataannya itu semua hanya gejala bukan akar masalahnya. Walhasil kemajuan dalam mengatasi krisis lingkungan ini akan tetap negatif selama proses diagnosis masalah masih cacat.

Akar penyebab krisis lingkungan adalah ideologi dan sistem kapitalisme yang materialistis dan mendominasi politik, ekonomi, dan sosial semua negara saat ini.

Sistem yang terobsesi pada profit ini telah menciptakan pola konsumsi dan produksi yang tidak berkelanjutan pada banyak negara, demi mengamankan pendapatan dan keuntungan ekonomi, mengalahkan semua nilai kemanusiaan dan kebutuhan manusia, termasuk perlindungan lingkungan.

Mengkritik Kapitalisme dalam Pengelolaan Lingkungan

Ada paradigma mendasar dan memerlukan kajian sistemis dalam tata kelola lingkungan kita. Paradigma kapitalisme yang mengutamakan kepentingan korporasi adalah faktor yang menyulitkan niat untuk mewujudkan kelestarian lingkungan. Hasrat meraup keuntungan telah mengerdilkan kesadaran korporasi untuk memperhatikan lingkungan.

Alhasil, hutan digunduli, berganti kebun kelapa sawit, sumber daya alam dikeruk, reklamasi dengan dalih pembangunan masif, pengabaian analisis dampak lingkungan dalam pembangunan dan seabrek dosa kapitalis terhadap lingkungan lainnya. Jadi, selama negara masih memberikan peluang individu untuk menguasai aset-aset umum, selama itu pula masalah lingkungan senantiasa hadir.

Masalah lingkungan bukanlah masalah yang berdiri sendiri. Karenanya, butuh kebijakan holistik yang mampu menuntaskan masalah lingkungan hingga ke akar-akarnya. Dari tataran individu,masyarakat hingga negara. Sebab kerusakan lingkungan yang berdampak pada krisis iklim ini bersifat holistik.

Hal terpenting yakni bagaimana komitmen pemerintah dalam merumuskan regulasi yang ramah lingkungan, tidak semata-mata berhitung untung rugi dan aspek bisnis dan pembangunan. Selayaknya pemerintah melibatkan ahli lingkungan dalam melakukan proses pembangunan dan mereduksi praktik uji AMDAL abal-abal yang pro kapitalis.

Inilah mengapa masalah lingkungan butuh penanganan sistemis. Sebab paradigma yang tegak dalam pengelolaan lingkungan harus sesuai dengan sunatullah penciptaan lingkungan sebagai habitat seluruh makhluk. Untuk itu, penting merujuk pada Islam dalam mengelola lingkungan

Paradigma Islam

Kelestarian lingkungan adalah point penting dalam pembangunan. Dalam Islam, hal ini sangat diperhatika. Allah swt. berfirman, “ Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi sesudah (Allah) memperbaikinya ” (QS Al-A’raf:56). Rasulullah saw. sendiri senantiasa mengingatkan para sahabat untuk menjaga lingkungan. Saat hendak melakukan perang Rasulullah memerintahkan agar tidak menebangi pohon dan merusak lingkungan. Para sahabat sendiri menyadari hakikat firman Allah, “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia...(QS Ar-Ruum: 41).

Dalam tataran regulasi, Islam telah membagi konsep kepemilikan menjadi tiga yakni kepemilikan individu, umum dan negara. Hal ini menjadikan penguasa tak boleh menyerahkan pengelolaan kepemilikan umum kepada individu seperti pengelolaan hutan maupun ekosistem lainnya. Ini adalah tindakan preventif agar tidak terjadi eksploitasi lingkungan yang berdampak pada kerusakan.

Alhasil, penanganan lingkungan harus bersifat sistemis. Paradigma yang lahir dari kapitalisme tidak akan mampu mengurai masalah lingkungan. Konferensi-konferensi yang ada hanyalah basa-basi kapitalisme, sebab sistem ini ada untuk mewadahi seluruh kepentingan korporasi. Berharap pada sistem ini mengurai penyebab krisis iklim ibarat pungguk merindukan bulan. Mustahil!

https://www.bbc.com/indonesia/dunia-58146664

https://www.gatra.com/detail/news/449161/milenial/deforestasi-di-indonesia-jadi-penyumbang-emisi-terbesar-dalam-perubahan-iklim

https://nasional.kompas.com/read/2021/11/15/15450051/greenpeace-kecewa-hasil-cop26-duga-ada-lobi-lobi-di-menit-akhir?page=all

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image