Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ade Sudaryat

Menumbuhkan dan Merawat Kembali Cinta Kasih

Agama | Monday, 18 Jul 2022, 07:48 WIB

Mengapa mesti menumbukan dan merawat kembali cinta kasih? Apakah cinta kasih di kalangan kita pada saat ini sudah tidak tumbuh dan tidak terawat?

Jika cinta kasih yang dimaksud sebatas asmara yang berujung kepada pemenuhan kebutuhan hubungan biologis, sampai hari ini, bahkan sampai dunia ini berakhir akan tetap ada. Selama manusia ada, selama lelaki dan perempuan ada, maka selama itu pula cinta asmara, tuntutan pemenuhan kebutuhan hubungan biologis dengan berbagi pernak-perniknya akan tetap ada.

Namun jika yang dimaksudkan cinta kasih itu dalam arti luas, mencintai Khaliq dan seluruh makhluk-Nya, kondisinya pada saat ini mesti kita renungkan dan mendapatkan perhatian kita bersama. Apakah pada saat ini kita sudah benar-benar mencitai Sang Khaliq?

Secara seremonial-spiritual kita bisa mengakui, kita mencintai Sang Khaliq. Buktinya kita masih taat melaksanakan perintah ibadah.

Bagi kita umat Islam masih mampu melaksanakan ibadah shalat, zakat, puasa, bahkan ibadah haji meskipun harus membayar dengan biaya mahal. Banyak orang yang sangat menikmati berbagai pelaksanaan seremonial-spiritual ini.

Uraian air mata ketika mendengar lantuan ayat suci menjadi penawar hati yang peri dan gelisah. Air mata tak terbendung ketika lantunan talbiyah bergema di tanah suci, juga air mata tak terbendung ketika melaksanakan ibadah shalat. Rasa cinta kepada Sang Khaliq begitu tumbuh subur di atas sajadah, di masjid, pada bulan suci, dan di tanah suci.

Hal tersebut merupakan suatu keberkahan dan keuntungan bagi para hamba yang melakukannya. Namun sayangnya, kita sering egois dan lupa, cinta kepada Sang Khaliq harus berimbas kepada cinta kasih kepada seluruh makhluk ciptaan-Nya.

Seseorang begitu menikmati deraian air mata ketika melantunkan ayat-ayat suci Al Qur’an, hatinya seolah-olah sedang menaiki tangga-tangga langit menuju Kemahasucian dan Kemahaagungan-Nya. Sayangnya ia egois. Hatinya keras tak begetar, air matanya mendadak kering tatkala mengetahui dan melihat tetangga dan saudaranya yang hidup dalam kubangan penderitaan seraya ia mampu menolongnya.

Padahal deraian air mata ketika melantukan ayat-ayat suci harus bermuara kepada semakin tinggi dan mulianya nilai-nilai kemanusiaan, kemuliaan akhlak. Ayat-ayat suci yang dilantukan dan dihayati harus bermuara kepada meningkatnya cinta kasih antar sesama yang diwujudkan dalam bentuk persaudaraan, sikap toleran, saling memaafkan, tolong-menolong, dan perilaku mulia lainnya. Pun demikian dengan seremonial-spiritual lainnya seperti ibadah shalat, haji, puasa, dan zakat.

Cinta kasih menyayangi seluruh makhluk Allah, memperbaiki jalinan keserasian hidup antar sesama dan lingkungan hidup, saling menjaga, saling merawat, dan saling menghargai merupakan penyeimbang dan bukti cinta kita kepada Sang Khaliq. Al Qur’an mengistilahkannya dengan hablu minannaas.

Pada saat ini, sebagian sisi hablu minannaas kita sedang terganggu, sedang sakit. Kini tengah terjadi ketidakseimbangan antara hablu minallah dan hablu minannas. Padahal ketidakseimbangan ini akan melahirkan kehinaan dan rusaknya tatanan kehidupan di muka bumi (Q. S. Ali Imran : 112).

Berbagai tindakan yang tidak manusiawi sedang melanda kehidupan, bahkan dilakukan orang – orang terhormat, orang-orang yang dianggap mulia, orang-orang berpendidikan tinggi, bahkan dilakukan orang-orang yang senantiasa memakai simbol-simbol agama dan kesalehan.

Kasus tercorengnya pondok pesantren yang mencuat akhir-akhir ini membuktikan betapa cinta kasih di sekitar kita sedang tumbuh layu. Pun demikian di lembaga pendidikan lainnya seperti sekolah dan perguruan tinggi.

Cinta kasih guru, dosen, ustadz kepada santri, siswa, dan mahasiswa sedang tumbuh layu, tergantikan dengan cinta kasih dalam arti sempit. Kita sangat miris sekali, siswi, santriwati, dan mahasiswi hanya dijadikan objek pelampiasan cinta kasih dalam arti sempit, dirudapaksa oknum pendidik yang seharusnya menjadi pengayom dan pengantar mereka kepada kegemilangan hidup di masa depan.

Kita miris sekali, baru pertama kali dalam sejarah kepesantrenan, lembaga pendidikan keagamaan yang dahulu dianggap lembaga pendidikan penyelamat akhlak anak bangsa dikepung polisi yang akan menangkap seorang “ustadz” pelaku tindakan asusila kepada santriwatinya. Lebih miris lagi, para simpatisan dan pihak pesantren berusaha melindunginya.

Kita pun miris melihat kasus baku tembak antar polisi yang mengundang teka-teki, opini, dan syak wasangka dari berbagai pihak. Sejatinya polisi itu saling melindungi, pengayom tumbuhnya cinta kasih antar anak bangsa, bukan malah saling melukai.

Kita juga miris melihat pejabat negara yang pura-pura melakukan cinta kasih, membantu rakyat yang tengah kesulitan, namun ujung-ujungnya meminta dukungan suara bagi anaknya, sanak saudaranya agar kelak menjadi anggota legislatif atau terpilih menjadi pejabat publik.

Tumbuh layunya cinta kasih antar sesama manusia berimbas pula kepada pertumbuhan cinta kasih kepada makhluk selain manusia. Diakui atau tidak, cinta kasih kita terhadap lingkungan sudah hampir tidak terawat lagi. Kaidahnya sederhana, jika kepada sesama manusia saja sudah tidak saling memberikan cinta kasih, apalagi kepada makhluk selain manusia.

Bukti yang paling sederhana, betapa rendahnya cinta kasih kita terhadap kebersihan lingkungan. Kita bisa seenaknya melukai tanah, sungai, laut, dan hutan kita dengan berbagai tindakan yang merusak keasrian dan kelestariannya.

Sudah saatnya kita menumbuhkan kembali cinta kasih secara luas. Sejatinya kita harus menumbuhkan rasa cinta tanpa hitungan apapun. Kita tak perlu menghitung secara matematis, untung-rugi, dan balasan dari cinta kasih yang kita berikan kepada siapapun.

Allah Yang Mahakasih tak akan membiarkan perbuatan cinta kasih yang dilakukan hamba-Nya. Selama tulus dalam melakukannya, sekecil apapun cinta kasih yang diberikan hamba-Nya, Ia akan senantiasa membalasnya dengan cinta kasih yang lebih besar dan lebih berharga.

Mari kita berupaya merawat dan menumbuhkan kembali cinta kasih dalam kehidupan kita sebagai wujud cinta kita kepada Allah, Pencipta dan Pemilik kehidupan. Kita harus mampu merawat kehidupan di muka bumi ini dengan penuh cinta kasih, saling menyayangi, bersikap toleran, saling melindungi, saling memaafkan, dan tolong menolong. Dengan cara seperti ini, keberkahan hidup, dan cinta kasih dari seluruh makhluk-Nya akan dapat kita raih.

“Orang-orang yang saling mengasihi akan dikasihani Zat Yang Maha Penyayang, berikan kasih sayang kepada penduduk bumi (seluruh makhluk), maka akan mengasihimu seluruh makhluk yang ada di langit (para malaikat)” (H. R. Abu Daud, Sunan Abu Daud, Juz IV : 285, Bab fi al Rahmat, hadits nomor 4941).

Kita pun harus mampu menumbuhkan rasa cinta kasih sejati di hati. Seperti sudah disebutkan, kita harus mampu mengendalikan hitungan matematis, untung-rugi, ketika kita memberikan cinta kasih kepada sesama. Kita harus terus berupaya keras merawat ketulusan dan keyakinan bahwa cinta kasih kepada sesama merupakan wujud dari cinta kita kepada Sang Khaliq.

“Cinta itu tak berhitung, bukan nalar // Nalar itu mengejar untung // Setelah pamrih tiada // cinta pertaruhkan semua // dan tak tuntut suatu apa.” Nalar itu menuntut, cinta itu memberi. (Haidar Bagir, 2015 : 66, Belajar Hidup dari Rumi, Serpihan-serpihan Puisi Penerang Jiwa)

Kehidupan yang dilandasi dengan penuh cinta kasih, bukan saja akan melahirkan dan mengalirkan kata-kata puitis yang indah, namun akan meraih keindahan hidup sejati menuju kehidupan nan abadi.

“Aku tak tulis apa-apa dari cinta. Aku hanya menulis sesuatu dari keindahanmu. Cinta hanya mengalirkan kata-kata.” Demikian kata Jalaluddin Rumi.

Ilustrasi :Simbol Cinta (sumber gambar : republika.co.id)

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image