Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Hamdani

Andai Permendikbud Kontroversi Itu Disempurnakan

Politik | Tuesday, 16 Nov 2021, 20:50 WIB
Foto Republika.co.id

Ibarat berada dipersimpangan jalan, antara menuju ke surga ataukah neraka. Begitulah tamsilan Permendikbud 30/2021 saat ini. Belum reda riuh gelombang pihak yang menolak kebijakan Mas Menteri Pendidikan Kebudayaan dan Ristek terkait aturan yang dikeluarkan pada dua pekan lalu. Penolakan dengan alasan tertentu, tidak saja datang dari politisi Senayan, juga dari Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Anggota Komisi X DPR RI Illiza Sa'aduddin Djamal, mewakili Fraksi PPP, merupakan salah satu politisi yang lantang bersuara meminta Mendikbudristek RI, Nadiem Makarim untuk meninjau kembali (evaluasi) Permendikbud No 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi yang telah ditekennya.

Interupsi Illiza terhadap peraturan tersebut bukan tanpa dasar. Bahkan politisi asal Aceh itu justru memiliki pandangan jauh kedepan, mengkuatirkan sesuatu yang buruk berpotensi terjadi di lingkungan perguruan tinggi. Alih-alih peraturan ini mencegah kekerasan seksual, malah membuka peluang terjadinya liberalisasi seksual yang bertentangan dengan Islam dan Undang-undang Dasar 1945.

Peluang terbukanya liberalisasi seks di kampus terdapat pada klausul yang membolehkan seks dilakukan dengan persetujuan. Artinya baru dimasukkan sebagai kekerasan seksual jika korban tidak setuju dengan apa yang terjadi padanya.

Diksi Kekerasan Seksual yang didefinisikan dalam Permendikbud 30/2021 masih bias dan kontradiktif dengan semangat menghapus kekerasan seksual di perguruan tinggi yang konon saat ini sedang marak terjadi. Sepertinya Kemendikbud tidak mengadopsi sama sekali perspektif umat Islam dalam memandang penyimpangan seksual yang juga tergolong kekerasan dalam bidang syahwat.

Jika diksi kekerasan ini kita lekatkan pada seksual sehingga membentuk frasa “kekerasan seksual”, maka yang dimaksud dengan kekerasan seksual adalah semua tindakan yang mengandung “unsur aniaya” yang berorientasi pada kasus seksual. Tentu definisi ini masih tergolong prematur khususnya bila dikaitkan dengan syariat.

Padahal Islam menempatkan penyimpangan seksual seperti LGBT, perzinahan (meski dilakukan secara suka sama suka), sebagai tindakan kekerasan seksual karena menimbulkan kezaliman dan kemaksiatan. Namun dalam Permendikbud No 30 Tahun 2021 justru tidak menyoalkan. Disinilah letak masalahnya, sehingga Illiza Sa'aduddin Djamal dan Fraksi PPP meminta untuk dilakukan evaluasi.

Apalagi sebagai negara Pancasila yang menjunjung tinggi nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa. Sejatinya itu menjadi filosofi dasar dalam membuat segala aturan dan kebijakan negara. Artinya seluruh perihal yang tidak sejalan dengan ajaran Tuhan, maka harus ditolak.

Saya sependapat dengan apa yang dikatakan Illiza, "Sebaiknya Permendikbud yang telah dikeluarkan itu dievaluasi kembali atau dicabut Karena peraturan ini secara tidak langsung dapat merusak standar moral mahasiswa dilingkungan perguruan tinggi".

Tidak hanya antarmahasiswa, bahkan dosen dan Tenaga Kependidikan (Tendik) yang setiap hari bergaul dan bertemu, rentan terjerumus dalam hubungan terlarang jika saja alasan suka sama suka tidak dipersoalkan. Sayangnya Permendikbud 30/2021 secara eksplisit bisa menerima perbuatan semacam itu. Bukankah itu zina?

Memang, kita akui setiap aturan yang dibuat bertujuan untuk kebaikan. Kita setuju bahwa kampus sebagai wadah pendidikan harus terbebas dari kekerasan seksual. Tetapi tolong maknai "kekerasan seksual" tersebut, juga dengan "tanpa persetujuan" secara rasional dan proposional. Itulah saya kira yang disuarakan oleh Illiza dan kawan-kawan Komisi X Fraksi PPP. (*)

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image