COP26 Hanya Sepakat Melawan Perubahan Iklim, Tidak Pendanaan Kerusakannya
Info Terkini | 2021-11-16 12:19:30Kecewa. Inilah yang dirasakan sejumlah Negara yang menghadiri KTT COP26 di Skotlandia. Pasalnya, masih ada pembahasan yang belum terselesaikan dengan tuntas dan menjadi PR bagi negara-negara yang terdampak langsung. Meski demikian, ketok palu sudah terjadi dan menandakan semua peserta telah menyetujui kesepakatan pleno.
Pembahasan tentang penghentian penggunaan batu bara dan pendanaan kerusakan akibat iklim menjadi pembahasan yang sebenarnya belum tuntas. Masih ada keluhan yang belum ditangani.
Penghentian penggunaan batu bara tidak sepenuhnya diterima oleh negara-negara pengguna batu bara, seperti India dan China. Kalimat â menghentikanâ diganti menjadi â mengurangiâ secara bertahap.
Dua negara tersebut bersikeras melemahkan keputusan akhir di dalam draft kesepakatan. Ini karena dua negara tersebut masih merasa penting dengan penggunaan batu bara untuk industri mereka meski berbahaya bagi perubahan iklim.
Dengan alasan industri, kalimat â mengurangi secara bertahapâ justru sangat mengkhawatirkan. Kemungkinan besar akan menjadi penggunaan batu bara yang tak pernah henti. Padahal batu bara menjadi penyumbang karbon atas kerusakan iklim.
Adapun masalah pendanaan kerusakan akibat iklim yang dibebankan kepada negara-negara maju, ternyata ditolak. Tidak ada yang bisa memutuskan pihak mana yang paling bertanggung jawab atas kerusakan iklim ini. Padahal Negara maju telah berjanji akan menggandakan dana untuk membantu Negara yang rentan akibat perubahan iklim yang sangat signifikan.
Dari dua pembahasan yang belum tuntas ini, setidaknya dapat ditarik alasannya. Yaitu tidak ada pihak yang mau dirugikan dan tidak ada pihak yang mau dihentikan bisnisnya. Alasan seperti ini tidak lagi mempedulikan pihak lain di luar kelompok mereka, meskipun pihak lain telah merasa dirugikan atau berpeluang dirugikan.
Sifat egois seperti ini memang nyata adanya. Bukan hanya menimpa individu saja, tetapi tataran Negara pun ada. Inilah salah satu ciri dari Negara kapitalis yang inginnya menang sendiri. Dalam sosialnya, masyarakat kapitalisme terkenal sangat individualis. Di pikirannya hanyalah ada materi dan materi.
Oleh karena itu dukungan untuk membantu mengurangi emisi karbon yang mempengaruhi kerusakan iklim, sejatinya adalah dukungan palsu atau sekadar dialog-dialog semata. Untuk aksi langsung, sangat kecil sekali kemungkinannya.
Sangat disayangkan jika keadaann ini terus menerus terjadi, bukan tidak mungkin kerusakan iklim sangat cepat sekali menuju ajalnya. Kalau sudah rusak, tidak ada lagi yang bisa diperbuat dan akan saling berlepas diri dalam pertanggungjawabannya.
Bahkan satu Negara dengan Negara lain akan saling menuduh atas kerusakan iklim yang terjadi. Mengatasnamakan kedaulatan Negara, maka tidak boleh antarnegara saling mengatur kebijakan di dalam Negara tersebut. Padahal laut dan udara sejatinya tidaklah ada batas permanen. Semua pasti akan mengalami dampak kerusakannya.
Oleh karena itu, perlu segera ada lembaga terkuat untuk menangani masalah universal seperti ini. Lembaga yang bisa mengatur dan memberi sanksi kepada pihak yang menyebabkan kerusakan atas hak-hak masyarakat umum. Lembaga yang tidak perlu takut atas kecaman pihak lain terhadap keputusan yang dibuatnya. Tentu lembaga ini adalah sebuah institusi Negara. Karena Negara adalah lembaga tertinggi dalam masyarakat.
Allahu aâ lam bish showab.
(Maulinda Rawitra Pradanti)
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.